----- Original Message ----
From: kk_heru [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, May 8, 2008 1:51:34 AM
Subject: [ppiindia] Kedudukan Lembaga Fatwa dan Kebatilan Pendapat




Para ulama salaf dalam beberapa kitab menyebut kedudukan "fatwa" mulzim
(wajib diikuti). Terutama menyangkut akidah seperti Ahmadiyah. Hanya
saja, di lapangan perlu kekuatan politik

Oleh: Thoriq *

"MUI sesat, bubarkan MUI," begitu kata sebagian orang. Bahkan
dalam laporan terbaru Mei 2008, Majalah Mingguan TEMPO, memintah para
ulama (dalam hal ini MUI) segera meminta maaf kepada penganut Ahmadiyah.
Boleh jadi, baru kali inilah dalam sejarah, sebuah media –bukan
otoritas ulama— meminta sebuah lembaga yang di dalamnya terhimpun
kalangan ahli hukum Islam & ulama-ulama fikih meminta maaf (dengan
bahasa lain mengaku salah) kepada Ahmadiyah yang oleh ijma' ulama
sedunia dinyatakan "sesat".

Umpatan, kecaman bahkan hujatan terhadap otoritas ulama memang marak
akhir-akhir ini. Lebih-lebih, setelah media massa (yang umumnya tak
paham hukum-hukum Islam) memberi tempat kepada mereka-mereka yang juga
tak paham hukum-hukum Islam "mengecam" MUI.

Ketidakpahaman media yang paling "mengerikan"
–lebih-lebih—mengangg ap, semua tokoh Islam adalah ahli dalam
hukum Islam (fikih). Bisa dipahami jika banyak polarisasi dan
kesemrawutan pendapat yang ujungnya akan membingungkan masyarakat. (Baca
juga tulisan, "Benarkah Semua Pendapat Boleh Diikuti?"
(www.hidayatullah. com, 02 Oktober 2006).

Sekedar contoh kecil. Sungguh musykil, ketika media massa berpijak pada
pendapat kepada Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma'arif, Dr. Musdah Mulia
bahkan termasuk nama seperti Adnan Buyung Nasution dan Ade Armando.

Dengan segala rasa hormat, dan permintaan maaf saya kepada nama-nama
yang saya sebut tadi, semua orang paham siapa dan apa latar belakang
mereka. Buya Ahmad Syafii, begitu para simpatisannya memanggil, memang
bekas pemimpin Muhammadiyah. Namun beliau adalah ahli dibidang sejarah
Islam. Bukan fikih. Musdah Mulia sarjana S1 nya bidang Adab dari IAIN
Alauddin, Ujung Pandang . Sementara S2 dan S3 bidang studi sejarah dan
pemikiran politik Islam. Tak ada sangkut-pautnya dengan masalah hukum
Islam atau bidang fikih.

Adnan Buyung, dikenal lulusan hukum konvesional (umum). Sedang Ade
Armando justru berlatar belakang komunikasi. Anehnya, nama yang terakhir
ini dalam tulisan terbarunya di Majalah Madina berjudul, "Preman
Berjubah, Pemerintah dan Ahmadiyah", Ade Armando "membela"
Ahmadiyah terhadap segala ancaman "preman berjubah". Tentusaja
yang dimaksud "preman" itu adalah umat Islam penolak Ahmadiyah.

Istilah "preman berjubah" pertama kali dikemukan Ahmad Syafii
Maarif dalam kolom Resonansi di Republika. Padahal yang juga memfatwakan
Ahmadiyah sebagai kelompok di luar Islam adalah organisasi perkumpulan
ulama Islam Internasional, Majma Fiqh Al Islami, dan sudah lebih dari 48
buku yang dikarang oleh para ulama untuk menjelaskan kesesatan kelompok
ini. Sedangkan di Pakistan masalah ini sudah final, bahwa Ahmadiyah di
luar masyarakat Muslim.

Dan Dr. Zein An Najah, pakar fikih dari Al Azhar menyatakan bahwa hingga
saat ini, tidak ada satupun ulama di dunia yang menyatakan bahwa
Ahmadiyah termasuk golongan Muslim. Ribuan ulama dunia Islam secara
tidak langsung oleh Ade Armando, Musdah Mulia atau Syafii Maarif adalah
"preman berjubah". Oh hebat benar orang-orang ini.

Yang jelas, keberanian tokoh-tokoh ini mengomantari masalah-masalah yang
sudah disepakati ulama adalah "keberanian" nekad yang cukup
memalukan. Sebab, masalahnya, ia bukanlah orang-orang yang memiliki
keahlian dan tidak otoritatif dalam hukum Islam.

Kedudukan Fatwa

Kedudukan fatwa dalam Islam sangatlah penting dan tidak bisa dengan
mudah diabaikan, apalagi digugurkan. Karena sangat pentingnya dengan
keberadaan fatwa dalam Islam, sampai-sampai beberapa ulama berpendapat
diharamkan tinggal di sebuah tempat yang tidak terdapat seorang mufti
yang bisa dijadikan tempat bertanya tentang persoalan agama (Lihat Kitab
Al Bahr Ar Ra'iq 6/260, Al Furu' 4/119, Al Majmu' 1/47,
Kasyaf Al Qana' 4/177).

Maka dari itu, wajib bagi penguasa untuk memperhatikan sarana-sarana
penting guna mempersiapkan para mufti dalam rangka menciptakan
kemaslahatan bagi masyarakat, sekaligus melarang bagi mereka yang tidak
mempunyai keahlian dalam berfatwa. (Lihat Al Majmu' 1/ 69, I'lam
Al Muwaqqi'in 4/214, Al Faqih wa Al Mutafaqqih 2/55, Al Ahkam Al
Sulthoniyah, 55).

Karena sangat pentingnya bahwa mufti di hadapan umat memiliki posisi
seperti halnya nabi di hadapan umat, karena mufti memberi kabar dari
Allah Subhana wa ta'ala seperti nabi. Oleh karena itu, mereka
dinamakan ulil amri yang mana ketaatan pada mereka disejajarkan dengan
taatnya seorang hamba kepada Allah dan RasulNya. Dalam Al Qur'an
surat An Nisa' 59 Allah berfirman: "Wahai orang-orang yang
beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul
beserta ulil amri dari kalian" (Lihat Kitab Al Muwafaqat 4/178-179).

Imam Al Qarafi sendiri menyatakan bahwa mufti dihadapan Allah ibarat s
kedudukan eoarang penerjemah di hadapan hakim, yang menerjemahkan
keputusan hukum, tanpa mengurangi dan menambahnya, sedangkan qadhi
adalah "aparat" untuk melaksanakan putusan itu (Lihat, Kitab
Ihkam fi Tamyizi Al Fatawa min Al Ahkam, 30).

Tampaknya, para penentang fatwa kirang memahami dengan baik pentingnya
fatwa dan mufti dalam Islam. Hingga "amat ringan" dalam
melontarkan pernyataan-pernyata an yang berkesan "merendahkan"
otoritas keilmuan para ulama.

Majma' Fiqh dan Kebatilan Berpendapat

Prof. Dr. Wahbah Az- Zuhaili, ulama anggota Majma' Fiqh Al Islami,
dalam Kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuh (8/5082) mengutip keputusan
Fatwa Majma' Fiqh Al Islami tentang masalah Al- Qadiyaniyah

Disebutkan, Majelis Majma Fiqh Al Islami dari Munadzamah Al Mu'tamar Al
Islami dalam pertemuan muktamar ke 2 di Jeddah, 10-16 Rabi' Tsani 1406
H/22-28 Desember 1985, setelah melihat dengan seksama istifta'
(permohonan fatwa) yang diajukan kepadanya (Mejelis Majma') dari Majelis
Al Fiqh Al Islami di Cape Town Afrika Selatan, mengenai kedudukan
Al-Qadiyaniyah dalam pandangan hukum, begitu pula kelompok yang lahir
darinya, yaitu Al-Lahuriyah (Lahore), dari segi kedudukan mereka. Apakah
mereka sebagai bagian dari kaum Muslim atau bukan.

Atas dasar hal itu, anggota Al- Majma melakukan studi berkenaan dengan
masalah ini, tentang Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, yang muncul di
India beberapa waktu lalu, dan kepadanya dinisbatkan ajaran
Al-Qadiyaniyah dan Al-Lahuriyah.

Setelah melakukan penelitian dengan seksama tentang informasi yang
menyangkut kedua kelompok ini, serta setelah meyakini bahwa Mirza Ghulam
Ahmad telah mengaku mendapat kenabian, bahwa ia adalah utusan yang
"diberi wahyu", dan informasi ini diperoleh dari buku-bukunya
yang mengklaim bahwa sebagian isinya adalah wahyu yang telah diturunkan
kepadanya, dan sepanjang hidupnya ia menyebarkan klaim ini, dan mengajak
kepada manusia dalam buku-buku serta ucapannya untuk berkeyakinan
mengenai kenabian dan kerasulannya, sebagaimana ia juga mengingkari
banyak ajaran agama yang sudah diketahui kelazimannya seperti jihad.

Dan setelah Al Majma' mempelajari keputusan yang dikeluarkan oleh Al
Majma' Fiqh Makkah Al Mukarramah dalam masalah yang sama. Maka Al Majma'
memutuskan:

Pertama, bahwa yang diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dan
kerasulan serta turunnya wahyu kepadanya merupakan pengingkaran secara
terang-terangan terhadap apa yang telah ditetapkan secara qath'i yakin
dalam agama, bahwa risalah kenabian telah ditutup oleh Sayiduna Muhammad
shalallahu alaihi wasalam, dan tidak turun wahyu kepada seseorang
setelah beliau. Dan klaim Mirza Ghulam Ahmad telah menyebabkannya dan
mereka yang satu keyakinan dengannya menjadi murtad, keluar dari Islam.
Adapun Al-Lahuriyah, mereka juga sama dengan Al-Qadiyaniyah secara
hukum, yaitu murtad, walapun mereka mensifati bahwa Mirza datang di
bawah syariat Nabi Muhammad shalallhu alaihi wasallam.

Kedua, mahkamah non Islam atau hakim non Islam tidak boleh mengeluarkan
keputusan tentang Islam atau murtad, apalagi terhadap hal-hal yang
menyelisihi ijma' umat Islam. Hal itu dikarenakan penghukuman murtad
atau Muslim tidak diterima, kecuali datang dari kaum Muslim yang
mengetahui dengan seksama hal-hal yang bisa membuat seorang menjadi
Muslim atau keluar dari Islam, dan mengetahui hakikat Islam dan
kekufuran, serta menguasai hal-hal yang telah ditetapkan oleh Al-Quran,
Sunnah dan ijma.

Karenanya, jika ada penguhukuman yang dikeluarkan dari mahkamah ini
(mahkamah non syar'i) maka dianggap batil. Dengan demikian, kedudukan
fatwa yang dikeluarkan para ulama adalah benar dan mulzim (wajib
dilaksanakan) bagi kaum Muslim (bukan non-Muslim), karena fatwa ini
berkenaan dengan aqidah, bahkan bisa dihukumi kafir, apabila meyakini
kebenaran Ahmadiyah. Hanya saja, setelah keluarnya fatwa, diperlukan
kekuatan politik dan hukum sebagai alat. Itulah tugas pemerintah. Bukan
wilayah ulama lagi.

Tapi jika ada sebagian orang mengatakan kedudukan fatwa (dalam contoh
kasus MUI soal Ahmadiyah) tidak wajib dilaksanakan oleh kaum Muslim,
bisa dipastikan, ia memang banyak paham kedudukan fatwa dalam hukum
Islam. Saya kira, penulis dan semua umat Islam sependapat untuk dilarang
melakukan pengrusakan atau pembunuhan terhadap pihak lain. Tetapi
mencemooh ulama dan mengatakan fatwa tak wajib diikuti, adalah tindakan
bathil. Lebih-lebih yang mendukungnya adalah jahil. Wallahu a'lam

* Penulis alumni Fakultas Syariah Al-Azhar, Mesir

[Non-text portions of this message have been removed]

 


      
____________________________________________________________________________________
Be a better friend, newshound, and 
know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.  
http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

===
Mari belajar Islam dan berdakwah melalui SMS

Cara berlangganan: REG SI kirim ke 3252 (Dari Telkomsel)
Tarif Rp.1000 ,- + PPN content akan dikirim tiap hari 

Untuk berhenti ketik: UNREG SI kirim ke 3252 
http://www.media-islam.or.idYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/syiar-islam/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/syiar-islam/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke