--- Prayogi Arifianto <> wrote:

> To: [EMAIL PROTECTED]
> From: Prayogi Arifianto
> Date: Wed, 12 Mar 2008 03:29:29 -0700 (PDT)
> Subject: PKS+ ----Flu Burung---sebuah rekayasa
> senjata biologi AS dan WHO
> 
> Flu burung ternyata rekayasa senjata biologi AS &
> WHO   Posted by: "eryl_kaisyah"
> [EMAIL PROTECTED]   Tue Mar 11, 2008 9:06 pm
> (PDT)   Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59)
> bikin gerah World Health
> Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat
> (AS).
> 
> Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan
> kesehatan dunia itu
> dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu
> burung, Avian
> influenza (H5N1).
> 
> Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia,
> perusahaan-perusaha an
> dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke
> pasaran dengan
> harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia
> .
> 
> Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya
> Dunia Berubah!
> 
> Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
> 
> Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga
> meluncurkan buku yang sama
> dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time
> for the World to
> Change.
> 
> Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara
> adikuasa dengan cara
> mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran
> virus flu burung.
> 
> “Saya mengira mereka mencari keuntungan dari
> penyebaran flu burung
> dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar
> Fadilah kepada Persda
> Network di Jakarta , Kamis (21/2).
> 
> Situs berita Australia , The Age, mengutip buku
> Fadilah dengan mengatakan,
> Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan
> senjata biologi dari
> penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan
> memproduksi senjata
> biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa
> Inggris menuai
> protes dari petinggi WHO.
> 
> “Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka
> gerah, monggo
> mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita
> bukan saja dibikin
> gerah, tetapi juga
> kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas
> kita, lewat WTO,
> lewat Freeport , dan lain-lain. Coba kalau tidak ada
> kita sudah
> kaya,” ujarnya.
> 
> Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak
> masing-masing
> 1.000eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun
> bahasa Inggris.
> Total sebanyak 2.000 buku.
> 
> “Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu
> dekat saya akan mencetak
> cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan
> pertama dicetak
> penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya
> sedang mencari
> bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.
> 
> Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran
> Solo, 6 November
> 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
> 
> “Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku
> itu akan saya
> beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana
> saya mengirimkan
> 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah
> berubah dalam bentuk
> kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia
> diubah-ubah
> Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan
> pertama Indonesia
> dari kalangan perempuan ini.
> 
> Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden
> Susilo Bambang
> Yudhoyonoyang memintanya menarik buku dari
> peredaran.
> 
> “Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia
> , sebagian,
> sekitar 500
> buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual
> ditoko buku. Yang
> bahasa Inggris dijual,” katanya sembari
> mengatakan, tidak mungkin
> lagi menarik buku dari peredaran. Pemerintah AS
> dikabarkan menjanjikan
> imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau
> tank jika
> Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182
> halaman itu.
> 
> Mengubah Kebijakan
> 
> Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah
> membikin sejarah
> dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan
> diskriminatif soal flu
> burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan
> fundamentalnya
> yang sudah dipakai selama 50 tahun.
> 
> Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu
> burung mulai terjadi di
> Indonesia pada 2005.
> 
> Majalah The Economist London menempatkan Fadilah
> sebagai tokoh
> pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan
> dunia dari dampak
> flu burung.
> 
> “Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih
> senjata yang terbukti
> lebih
> berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam
> menanggulangi
> ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, ”
> tulis The Economist.
> 
> The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di
> Republika, edisi pekan
> lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia
> juga terkena
> endemik flu
> burung 2005 silam.
> 
> Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh,
> obat tersebut justru
> diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus
> flu burung.
> 
> Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan
> alasan penentuan
> 
> diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO
> CC) di Hongkong
> memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.
> 
> Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia
> juga meminta laboratorium
> 
> litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata
> sama. Tapi, mengapa
> WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?
> 
> Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang
> korban flu burung di
> Vietnam . Sampel virus orang Vietnam yang telah
> meninggal itu diambil dan
> dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment,
> diagnosis, dan
> kemudian dibuat bibit virus.
> 
> Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah,
> ia menemukan fakta,
> pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an
> besar dari negara maju,
> negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka
> mengambilnya dari
> Vietnam , negara korban, kemudian menjualnya ke
> seluruh dunia tanpa
> izin. Tanpa kompensasi.
> 
> Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri,
> hak, dan martabat
> negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas
> dalih Global Influenza
> Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat
> berkuasa dan telah
> menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah
> memerintahkan lebih
> dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke
> GISN tanpa bisa
> menolak.
> 
> Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak
> memprosesnya menjadi
> vaksin.
> 
> Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan
> fakta bahwa para
> ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA
> H5N1 yang disimpan
> WHO CC.
> 
> Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National
> Laboratoty di New
> Mexico , AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya
> ada empat orang dari
> WHO, selebihnyatak diketahui. Los Alamos ternyata
> berada di bawah
> Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu
> dirancang bom atom
> Hiroshima . Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin
> atau senjata kimia?
> 
> Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO
> membuka data itu.
> Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya
> dikuasai kelompok
> tertentu.
> 
> Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus
> 2006, WHO mengirim
> data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal
> mendobrak ketertutupan
> Los Alamos , memujinya.
> 
> Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai
> revolusi bagi
> transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah
> terus mengejar WHO CC
> agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia , yang
> konon telah
> ditempatkan di Bio Health Security, lembaga
> penelitian senjata biologi
> Pentagon.
> 
> Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga
> tercipta pertukaran
> virus yang adil, transparan, dan setara.
> 
> Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau
> mengirim spesimen virus
> yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti
> GISN, yang
> imperialistik dan membahayakan dunia.
> 
> Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah
> dikecam WHO dan
> dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya
> dalam sidang
> Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007,
> International
> Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui
> segala tuntutan
> Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN
> dihapuskan.
> 
> 
>        
> ---------------------------------
> Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke