Andai Aku Seorang Muslim Liberal
Oleh Haidar Bagir
17/08/2002

Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan segenap
keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas Islam
yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan. Namun,
aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti bahwa
otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara
rasional dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini
kebenarannya.




   1. Andai aku seorang muslim liberal, maka aku akan melepaskan
segenap keyakinan-keislamanku dari segala bentuk otoritas tafsir atas
Islam yang tidak sesuai dengan akalku, termasuk otoritas keulamaan.
Namun, aku akan menerima tafsir-otoritatif dari siapa pun, dalam arti
bahwa otoritas itu bersumber pada bukti-bukti yang meyakinkan secara
rasional dan berdasar pada prinsip-prinsip ilmiah yang aku yakini
kebenarannya. Aku percaya bahwa otoritas keulamaan baru mempunyai
makna jika ia dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmiah seperti ini,
bukan semata-mata dengan simbol-simbol yang tak bisa dijelaskan
sepanjang prinsip-prinsip itu, seperti karisma, kesalehan lahiriah,
keturunan, (semata-mata) penguasaan ilmu-ilmu keislaman tradisional,
dan sebagainya. Dengan kata lain, otoritas keulamaan aku terima dalam
makna yang sesuai dengan makna-asli ajektif yang terlekat kepada kata
otoritas dalam ungkapan ini, yakni "yang bersifat ilmiah." Semua ini
aku yakini karena al-Qur'an, sebagai otoritas tertinggi dalam Islam
mengajarku bahwa agama Islam adalah untuk orang-orang yang berakal,
Nabinya pun dengan tegas menyatakan "tak ada agama bagi orang yang tak
berakal." Selanjutnya, penolakanku terhadap segala bentuk otoritas
keulamaan qua simbol-simbol itu tentu saja tak terbatas pada otoritas
keulamaan masa sekarang, ia malah terutama berhubungan dengan otoritas
keulamaan masa lampau, sampai masa lampau yang paling jauh dalam
sejarah Islam. Karena opini para ulama masa lampau memiliki peluang
lebih besar untuk kehilangan relevansi dengan masa kita sekarang
akibat perbedaan tantangan, budaya, dan psikologi.

   2. Tapi, aku juga sadar bahwa akal dan prinsip-prinsip ilmiah yang
diakuinya kapan saja selalu memiliki keterbatasan-keterbatasannya
sendiri. Karena itu, aku tak akan pernah merasa kapan saja dalam
hidupku bahwa keyakinanku akan sesuatu bersifat final. Aku selalu
sadar bahwa keyakinan-keyakinanku harus selalu kuanggap sebagai
bersifat tentantif, selalu siap untuk direvisi dan direvisi lagi,
sejalan dengan pertambahan wawasan dan ilmuku, serta dengan kemajuan
ilmu pengetahuan.

   3. Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah
satu-satunya soko-guru keilmiahan. Aku, percaya pada bahwa akal juga
mencakup apa yang -- oleh orang-orang seperti Aristoteles, Rumi,
Bergson, Heidegger, atau Muhammad Iqbal – disebut sebagai intuisi atau
-- oleh sebagian pemikir lain -- disebut sebagai intelek (intellect).
Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam tradisi Islam sering
diidentikkan dengan hati (qalb atau fu'ad). Bahkan, aku percaya bahwa
setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan pendapat-ilmiahku –
kumaui atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional, aku tak
bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi
bersifat holistik sintetik, dan mengontrol?) Tapi, aku percaya bahwa
aku bisa menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari
kebenaran selama aku menjaga obyektivitas dan keikhlasanku.

   4. Karena adanya kebutuhan agar aku tetap obyektif dan ikhlas
seperti itu, maka sepanjang upayaku untuk mencari opini yang benar aku
akan memelihara fokus pada kebenaran itu sendiri, bukan pada
popularitas (khalif tu'raf), permusuhan pada pendapat yang (sementara
ini) tidak aku sepakati, dan sejauh mungkin menyisikan kemungkinan
kesombongan dan kebanggaan dari upaya-upayaku itu. Dan, karena aku
sadar bahwa dorongan ke arah nafsu-nafsu yang dapat mengganggu
obyektivitasku seperti itu berpeluang besar untuk mengganggu
obyektivitasku, maka aku akan secara sadar dan terus-menerus
memperbaharui niatku, menaklukkan semangat sekadar ingin popular dan
menang sendiri, dan membuka akal dan dadaku seluas-luasnya untuk
memeriksa opini apa pun yang sampai kepadaku tanpa judgement a priori
apa pun, dan lebih siap untuk mengkritik opiniku sebelum opini-opini
yang lain. Aku percaya, jihad al-nafs (perang melawan hawa nafsu)
diperlukan di sini.

   5. Seandainya aku seorang Muslim liberal, aku – meskipun amat
kritis – akan menyadari bahwa ilmu pengetahuan berkembang sebagai
akumulasi pemikiran umat manusia sepanjang sejarah. Bahwa, seperti
kata Isaac Newton, kita berdiri " di atas bahu para raksasa" sebelum
kita. Bahwa, meski zaman beserta budaya, psikologi, dan
tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja yang bersifat perenial
dan universal dalam pemikiran umat manusia sepanjang sejarahnya.
Bahkan aku percaya, perlintasan batas waktu itu terjadi hingga
masa-masa awal penciptaan manusia. Bukan hanya hingga Plato – yang,
oleh Whitehead, pemikiran manusia sepanjang sejarah dianggap hanyalah
catatan kaki atasnya – melainkan hingga Hermes Trimegistus (Nabi Idris
dalam tradisi pemikiran Islam) yang dianggap Bapak Ilmu Pengetahuan
umat manusia. Meski kritis, aku tak akan bersikap nihilistik terhadap
khazanah pemikiran masa lampau, karena dengan bersikap demikian aku
hanya memiskinkan khazanah ilmu pengetahuan umat manusia, dan khazanah
ilmu-pengetahuanku. Dengan demikian, aku tak mau terperangkap kedalam
kebencian terhadap hasil-hasil pemikiran masa lampau karena aku
menganggapnya berpotensi menggagahi kebebasan berpikirku. Sebaliknya,
aku akan mengapresiasinya dan memperlakukannya secara terhormat
sebagai khazanah yang berpotensi untuk memperkaya
pemikiran-pemikiranku. Aku pun akan berusaha untuk tidak melupakan
bahwa pada kenyataannya hasil pemikiran para pemikir pendahuluku
seringkali tidak kalah canggih dan rigorous dibanding pemikiran
kiwari. Karena, aku pun menyadari bahwa – seperti ditulis, antara
lain, oleh Franz Rosenthal – para ilmuwan dan ulama Muslim masa lampau
juga memiliki persyaratan-persyaratan keilmuan yang amat ketat.
Bahkan, seringkali aku dapati, ketika aku cukup telaten untuk membaca
hasil pemikiran mereka, amat banyak masalah-masalah dan opini-opini
yang terungkap dalam perdebatan-perdebatan masa kini, yang sudah
digarap juga oleh para pendahuluku itu. Kenyataan bahwa perdebatan itu
seringkali memakan waktu beberapa generasi, dan melibatkan begitu
banyak pemikir yang memiliki berbagai latar belakang, tak urung akan
membuatku berpikir :"Jangan-jangan apa yang mereka pikirkan malah
lebih canggih dari apa yang sedang aku pikirkan sekarang." Tidak
dengan demikian kemudian aku berhenti berpikir dan merasa cukup dengan
hasil pemikiran masa lampau itu. Tidak. Kenyataan itu hanya makin
mendorongku untuk mempelajarinya dan kemudian memberikan sumbangan
baru di atasnya, agar dengan demikian aku ikut menjadi bagian mata
rantai yang melanjutkan akumulasi hasil-hasil ilmu pengetahuan itu.
Alhasil, sikapku terhadap otoritas keulamaan, termasuk otoritas
keulamaan masa lampau, sebenarnya merupakan konsekuensi logis belaka
dari prinsip-prinsip keliberalan sikapku dalam berislam, yakni
prinsip-prinsip keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

   6. Nah, terkait dengan prinsip-prinsip yang aku junjung tinggi itu,
aku akan selalu menghargai atau mengapresiasi pendapat orang atau
kelompok lain, betapa pun pendapat itu segera tampak tak aku sepakati,
asing, atau bahkan terdengar ofensif bagiku. Aku akan berusaha
sebisanya untuk memberi mereka the benefits of the doubt, sambil
berupaya menerapkan kebijakan bahwa pendapatku (aku yakini sebagai)
benar tapi memiliki peluang untuk salah, dan pendapat orang lain (aku
yakini) sebagai salah, tapi memiliki peluang untuk benar; juga bahwa,
meski aku berbeda pendapat, hak mereka untuk mengungkapkan pendapatnya
akan aku junjung tinggi dan aku bela. Karena aku percaya bahwa hikmah
(kebijaksanaan) "tercecer" di mana-mana, di berbagai opini, dan bahwa
aku berkewajiban memungutnya di mana saja aku menemukannya. Karena aku
pun percaya bahwa perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah suatu rahmat,
yang – jika kita sikapi dengan benar – akan memperkaya ilmu
pengetahuan dan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran. Dengan kata
lain, makin melengkapkan pengetahuanku tentang kebenaran, mengingat
kebenaran yang kita kuasai selalu bersifat parsial. Aku akan
sepenuhnya sepakat dengan Abdul Karim Soroush bahwa
kebenaran-kebenaran itu berasal dari sumber yang sama, dan bahwa satu
kebenaran tak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya. Untuk
keperluan itu, sedapat mungkin aku akan bersikap seperti Imam Ghazali
ketika mengatakan bahwa, sebelum berhak mengkritik, kita harus
berupaya untuk bisa memahami pendapat yang akan kita kritik itu
seperti pemahaman para penganutnya. (Sedemikian, sehingga karya Imam
Ghazali yang berjudul Maqashid al-Falasifah – yang sebenarnya
merupakan ringkasan karya Ibn Sina – sempat dikelirukan sebagai karya
Ibn Sina karena sifat empatik yang dominan terhadap pemikiran filosof
yang sebenarnya segera akan dikritiknya secara amat keras itu).
Seperti Luthfi Asysyaukanie aku percaya bahwa, bahkan dalam opini yang
sepintas tampak bertentangan dengan pendapat kita, selalu ada peluang
kebenaran yang bisa kita pungut. Pendapat Luthfi Asysyaukani bahwa
Wahhabiyah – salah satu faham yang biasa dianggap sebagai sumber
aliran "fundamentalisme" – sesungguhnya juga menyumbang kepada proses
sekularisasi ketika ia mengritik mitos dan takhayul adalah contoh yang
baik tentang sikap ini. Demikian juga dengan contoh, yang juga
dikabarkan Luthfi, tentang sikap Imam Ja'far Al-Shadiq, Imam Keenam
Syi'ah – suatu mazhab yang lagi-lagi sempat melahirkan apa yang oleh
banyak orang dinamai "fundamentalisme" – yang oleh Karen Amstrong
dianggap sebagai menyimpan benih-benih sekularisasi (betapa pun aku
masih perlu berfikir beberapa kali sebelum bisa menerima anggapan
Amstrong itu). Luthfi dan Syamsu Rijal Panggabean sudah amat bijaksana
ketika meyakini bahwa keliberalan dalam pemikiran Islam memiliki
gradasi, memiliki spektrum, dan sama sekali tidak monolit. Dalam
kerangka ini, sebagai seorang Muslim liberal, aku akan menghindarkan
sikap selektif dalam menampilkan pendapat orang yang kita kritik,
apalagi sinikal. Karena sinisme cenderung mendorong kita memahami
pandangan kelompok lain secara tereduksi, kalau tak malah karikatural,
menyesatkan (misleading) dan, dengan demikian, merusak obyektivitas
kita. Sebaliknya, saya akan berhati-hati, dan bukannya malah kenes,
dalam menanggapi opini yang tidak saya setujui itu agar suatu dialog
yang produktif, konstruktif, dan saling memperkaya akan tercipta.
Meski, misalnya, para penganut pendapat yang tidak aku setujui
bersikap negatif terhadap pendapatku, aku akan berusaha selalu sadar
bahwa mereka bukan guruku. Bukankah aku mengambil pilihan sikap
liberal karena aku merasa bahwa kancah pemikiran harus selalu
dibiarkan terbuka, pluralistik, dan demokratis, dan bukankah aku
mengkritik mereka justru karena sifat tertutup, totalitarian, dan
otoritariannya? Juga, karena aku yakin, bahwa pada dasarnya makhluk
yang bernama manusia ini bisa diajak berinteraksi secara persuasif,
asalkan kita telaten dalam mengajukan hujjah-hujjah kita yang
meyakinkan kepada mereka. Dan juga karena aku sadar bahwa
jangan-jangan perbedaan pendapat yang begitu besar antara aku dan
mereka banyak juga disumbang oleh kurangnya dialog yang produktif dan
silaturrahmi yang tulus di antara kami. Aku yakin bahwa ketidaksabaran
untuk mendengar pendapat orang lain merupakan produk sikap sombong,
merasa benar sendiri, melecehkan orang lain, yang menurutku justru
menjadi musuh keterbukaan, pluralisme, dan demokrasi.

   7. Andai aku seorang Muslim Liberal, aku akan melakukan
sekularisasi terhadap pemikiran keislaman. Aku akan berusaha
memisahkan sebisanya unsur-unsur yang sakral dari yang profan, dan
mengembalikan unsur-unsur profan ke pangkuan pemikiran yang netral
agama. Karena aku yakin bahwa menyerahkan masalah-masalah profan ke
wilayah pemikiran keagamaan secara tidak semena-mena justru akan
mempersulit diri dan mendorong munculnya sikap-sikjap reaksioner dan
obskurantis, setidaknya bisa menimbulkan suasana yang menyesakkan
(suffocating) karena ia bukan hanya menyelusup – melainkan
"mengangkangi" -- kesemua detil aktivitas kita secara tidak perlu. Dan
karena aku yakin bahwa Allah Swt. menganugerahi kita dengan akal yang
dikaruniainya tugas dan kemampuan untuk bersama-sama wahyu-Nya
membimbing kita menuju kebenaran. Tapi, saya juga percaya bahwa
sekularisasi ada batas-batasnya. Bahwa, betapa pun, agama sebagai
agama meniscayakan penerimaan unsur-unsur tertentu sebagai bersifat
sakral. Bahwa batas antara sekularisasi dan sekularisme – yang tidak
aku sepakati – tidak selalu jelas. Setidaknya, kalau pun aku yakin
bahwa agama pada dasarnya adalah sumber aturan moral dan etika, aku
sadar bahwa moral dan etika selalu terlibat dalam aspek kehidupan
manusia yang mana pun. Apalagi, aku juga tidak begitu yakin bahwa
peran agama "hanya" sebatas memberikan aturan-aturan moral dan etika.
Meski aku percayai dalam banyak hal bersifat kontekstual dan historis,
aku juga yakin bahwa banyak juga teks-teks (nash) keagamaan yang
berbicara mengenai soal-soal teknis yang menyangkut hukum, politik,
ekonomi. Menyisikannya sebagai ayat-ayat Madaniyah yang tak lagi
relevan untuk masa-masa seperti itu, sebagai dilakukan oleh Ahmad
Mahmud Thaha, tak selalu mudah. Kalau pun teks-teks yang bersifat
seperti ini kita anggap tak lagi sakral penerapannya, aku tak bisa
menutup sama sekali pintu untuknya. Karena siapa tahu ia masih juga
bisa menjadi suatu sumber pemikiran di tengah berbagai sumber
pemikiran nonkeagamaan. Setidaknya kesemuanya itu masih bisa kita
anggap sebagai – aku tergoda untuk meminjam ungkapan Nirwan Arsuka,
meski kutahu amat kontroversial -- "suatu fiksi besar, kanon raksasa,
yang terbuka untuk terus-menerus ditafsirkan, sebagaimana orang kini
menafsirkan Shakespeare atau Homerus." (Hanya saja, jika Shakespeare
dan Homerus bersifat zhanniy/probable baik dari segi wurud/transmisi
maupun dilalah/kandungannya, nash keislaman jenis ini tetap saja
bersifat qath'iy/pasti, setidaknya dari segi transmisinya yang
bersumber dari Tuhan). Atau, kalau kita pinjam istilah ushul fiqh,
kalau tak bisa menjadi sumber peraturan primer (awwaliyyah), nash-nash
yang bersifat kontekstual dan historis seperti ini setidaknya bisa
menjadi sumber peraturan sekunder (tsanawiyyah). Wa Allah a'lam.

   8. Aku juga akan memelihara concern bahwa Islam harus selalu
ditafsirkan sedemikian, sehingga selalu bisa menjawab tantangan zaman.
Aku percaya bahwa Allah menjadikan dunia dan kehidupan ini dengan
sifatnya yang progresif. Bahwa, seperti kata Muhammad Iqbal, Allah
selalu menambahkan ciptaan-ciptaan baru setiap saat (kulla yaumin huwa
fi sya'n). Bahwa dunia ini bukan suatu block universe. Maka ijtihad
pun menjadi niscaya – Iqbal menyebutnya sebagai prinsip atau soko guru
gerakan dalam Islam – demi menyahuti undangan Allah untuk menjawab
tantangan-tantangan (ciptaan-ciptaan) baru itu. Tapi aku juga tahu
bahwa ada bahaya untuk menjadikan agama sebagai "pelengkap penderita"
dalam kita mencari jawab terhadap tantangan-tantangan zaman itu.
Maksudku, bukannya ajaran-ajaran Islam aku jadikan sumber, aku
memanipulasinya agar sesuai dengan keyakinanku yang bersifat a priori.
Dengan kata lain, ajaran Islam kutempatkan sedemikian sehingga ia
subjected to keyakinan-keyakinan a priori-ku itu. Ini menurutku
merupakan suatu sikap yang mengkhianati integritas intelektualku.
Kalau aku percaya pada kebenaran Islam, maka sikap yang ilmiah adalah
menempatkannya sebagai sejajar dengan sumber-sumber kebenaran
intelektual yang lainnya. Bahkan, dalam hal terjadi konflik yang tidak
bisa aku selesaikan di antara keduanya, aku harus siap untuk
memenangkan sumber-sumber keagamaan, meski hanya untuk sementara.
Karena, pada dasarnya, seperti aku ungkapkan sebelumnya, aku percaya
bahwa hasil pemikiran intelektual yang sahih (atau qath'iy, menurut
istilah keagamaannya) ultimately tak akan bertentangan dengan dengan
teks-teks atau nash-nash yang dipahami secara sahih (qath'iy) pula.
Yang pasti, aku tak akan menjadikan keislamanku hanya sebagai sarana
sosialisasi dan menghindarkan dari social punishment yang mungkin
diberikan oleh lingkunganku yang kebetulan mayoritas menjadikan Islam
sebagai bagian identitasnya. Karena, sekali lagi, kuanggap ini adalah
suatu sikap yang mengkhianati integritas-intelektualku.

   9. Dengan semua keyakinanku sebagai seorang Muslim liberal,
pendekatanku terhadap teks-teks al-Qur'an, Sunnah, dan tradisi Islam
selebihnya akan bersifat hermeneutik. Dengan kata lain, aku akan
melakukan distansiasi terhadapnya, mencoba mengenali diriku dengan
segala latar-belakang sosiologis, psikologis, dan kulturalku agar aku
bisa meminimumkan subyektivitasku, kemudian melihatnya secara historis
dan kontekstual, selanjutnya menyeruput esensi-esensi (maqashid)-nya,
untuk akhirnya mengapropriasikannya dengan tantangan-tantangan
zamanku. Ini sama sekali bukan suatu pendekatan yang mudah. Tapi aku
tak punya pilihan lain jika hendak obyektif. Meskipun demikian, aku
sadar bahwa hermeneutika memiliki jebakan-jebakannya sendiri, di
setiap tahap dalam prosedurnya. Mengenali diri adalah suatu pekerjaan
yang, sejak zaman Yunani, diakui sama dengan mengenali Tuhan – the
ultimate being. Karena itu, tak kurang dari suatu pertempuran besar
(jihad akbar) – lagi-lagi, jihad melawan hawa nafsu – sajalah yang
dapat membantu kita melakukannya. Kemudian, melihat secara historis
dan kontekstual mengharuskanku untuk dapat memilih dari berbagai versi
historis, latar belakang sosio-kultural dan psikologis yang berjalin
berkelindan secara amat kompleks, kalau tak malah sering saling
bertentangan. Dan seterusnya. Karena itu, aku tak akan segan-segan
belajar dari pemikir Muslim masa lampau, seperti kaum rasionalis
Mu'tazilah, atau kaum Sufi, yang telah berupaya keras untuk
memraktekan pendekatan ini lewat apa yang mereka sebut sebagai ta'wil.
Tapi, pada saat yang sama, aku juga akan mengambil manfaat dari
orang-orang yang memujikan pendekatan literal, karena pendekatan
seperti ini sedikit-banyak akan membantuku untuk mengendalikan
keliaran spekulasiku pada saat aku hendak mencari makna hermeneutik
teks-teks tersebut. Ini, pikirku, barangkali sebab yang membuat bahkan
Sufi se-"liar" Ibn `Arabi pun ngotot dengan makna asal kata-kata
karena bagi orang-orang seperti ini ta'wil – sebagaimana hermeneutika
– bukanlah mencari makna yang bukan orisinal, melainkan justru
mengembalikannya kepada yang asal itu.

  10. Akhirnya, sebagai muslim, meski liberal, aku akan selalu meminta
pertolongan (`inayah) dan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Sang
Kebenaran (al-Haqq) dan Sang Pemberi Petunjuk (Al-Hadi), karena aku
amat sadar kepada keterbatasan-keterbatasanku sebagai manusia dan
bahwa Ia adalah Sumber dari segala sumber kebenaran.

Wa Allah a'lam bi al-shawab.

Artikel ini adalah juga makalah KKA Paramadina dan Peluncuran Buku
Wajah Liberal Islam di Indonesia, di Aula Universitas Paramadina, 18
Juli 2002
^ Kembali ke atas

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=151

Kirim email ke