Lebih sakit mana?
- dijajah bangsa asing
atau
- dijajah bangsa sendiri

--
Agung (33)


--------------------------------------------------

AKU BERMIMPI JADI KORUPTOR

AKHIR-akhir ini media massa, seminar, diskusi, konferensi pers, talk 
show, ngerumpi, dan pembicaraan di warung-warung gegap gempita 
dengan topik KKN. Terpilihnya Komisi Pemberantasan Korupsi oleh DPR 
diberitakan secara hiruk-pikuk pula. Saya sempat berpikir apakah KPK 
akan efektif karena modus operandi korupsi yang begitu beragam.

Lagi pula, moral dan mental yang sudah rusak tidak termasuk dalam 
tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 
Jadi, kalau diibaratkan pohon, KPK hanya menangani daun yang rusak 
karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan 
bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar atau kalau sudah 
tidak bisa membunuhnya saja, tidak termasuk domain KPK.

Karena intensnya dikonfrontasi dengan topik KKN seperti ini, saya 
tertimpa mimpi. Dalam mimpi itu saya menjadi koruptor. Saya 
menguasai betul berbagai cara berkorupsi, dari yang paling kotor 
sampai yang paling canggih. Maka, saya menjadi orang sangat kaya. 
Rasanya tidak seorang pun yang mempunyai gambaran betapa besar 
kekayaan yang saya peroleh dari korupsi. Semuanya bisa dibeli dengan 
uang, juga hukum. Maka, dalam salah satu pesta ketika saya mabuk, 
saya berkata, "I am the Lord, I am the law, and I am the richest man 
in Indonesia."

MIMPI selalu kacau. Dalam melakukan korupsi saya terkadang menjadi 
penguasa, terkadang pengusaha, terkadang pegawai negeri rendahan, 
terkadang pengusaha besar, tukang parkir, dan apa saja yang 
mempunyai kekuasaan. Kekuasaan adalah modal dasar korupsi.

Sebagai pengusaha saya menyalahgunakan semua celah yang ada. Yang 
paling mudah dan sederhana adalah menjadi rekanan dan pemasok kepada 
pemerintah. Pemerintah membutuhkan barang dan jasa. Setiap tahunnya 
membelanjakan jumlah uang yang luar biasa besarnya. Caranya adalah 
kongkalikong dengan pejabat yang mempunyai wewenang untuk membeli 
barang dan jasa untuk kebutuhan kementerian atau badan pemerintah 
yang dipimpinnya. Harga saya naikkan berkali lipat dan selisihnya 
saya bagi dengan sang pejabat. Hasilnya lumayan, tetapi saingannya 
berat, karena banyak sekali yang melakukan hal ini.

Konsepnya terlampau mudah. Meski demikian, saya sudah tidak 
melakukannya sendiri. Saya sudah mempunyai banyak pegawai tingkat 
tinggi yang tidak memalukan kalau saya suruh bergaul dengan para 
pejabat yang rata-rata sarjana. Merekalah yang melayani pejabat 
habis- habisan, dari melayani istri dan anak- anaknya sampai 
mengantarkan sambil membayari mereka berbelanja. Bahkan, mereka 
sampai berfungsi sebagai pembantu rumah tangga sang pejabat.

Modal utama cara berbisnis seperti ini adalah rai gedhek, mental 
budak, dan tahan ngelesot berhari-hari sambil sering berfungsi 
sebagai badut. Usaha ini yang dilakukan pegawai-pegawai saya 
berjalan terus. Saya sendiri meningkatkan diri dalam berkreasi dan 
inovasi konsep-konsep yang lebih canggih.

Setiap zaman saya memberi peluang KKN yang bentuknya lain. Sejak 
tahun enam puluhan saya sudah melakukan banyak cara. Semuanya saya 
lakukan dalam mimpi juga, yang ketika itu saya bermimpi menjadi 
konglomerat. Berbagai modus operandi sudah saya tulis dalam berbagai 
artikel yang dihimpun dalam buku kecil dengan judul Saya Bermimpi 
Jadi Konglomerat.

DALAM mimpiku sekarang aku untung besar dengan hanya ongkang-ongkang 
saja. Pemerintah bermaksud meningkatkan ekspor (export drive). 
Caranya memberikan kredit murah dengan bunga 12 persen setahun 
asalkan kreditnya dipakai untuk membiayai kegiatan ekspor. Bunga 
deposito ketika itu 22 persen setahun. Saya mengajukan permohonan 
kredit ekspor dengan rencana ekspor yang meyakinkan. Feasibility 
study dibuat oleh konsultan asing dan ditulis dalam bahasa Inggris. 
Pejabat tinggi kita menganggap apa saja yang asing dan dalam bahasa 
Inggris mesti lebih benar dan lebih pandai. Demikian juga laporan 
keuangan saya juga seluruhnya ditulis dalam bahasa Inggris setelah 
diaudit oleh kantor akuntan yang termasuk big five di dunia.

Segera saja kreditnya cair. Tentu dengan uang suap seperlunya. 
Kegiatan ekspor juga saya laksanakan. Hanya yang saya ekspor gombal, 
kain pel, potongan- potongan sisa tekstil untuk membuat pakaian 
jadi. Barang-barang ini diekspor kepada perusahaan saya sendiri di 
Singapura. Setibanya, barang-barang itu langsung dibuang. Jadi tidak 
ada penggunaan uang dari kredit ekspor untuk ekspor beneran. Namun, 
saya dapat memperlihatkan semua dokumen ekspor. Kredit dengan bunga 
12 persen saya depositokan dengan bunga 22 persen. Kredit yang saya 
peroleh Rp 500 miliar. Dalam setahun saya mendapatkan pendapatan 
bersih (setelah dipotong pajak) sebesar Rp 93,5 miliar, yaitu 22 
persen dari Rp 500 miliar dipotong pajak sebesar 15 persen. Bunga 
yang harus saya bayarkan kepada bank BUMN sebesar 12 persen dari Rp 
500 miliar atau Rp 60 miliar. Saya untung Rp 33,5 miliar for doing 
nothing.

Yang paling hebat adalah ketika ketahuan dan diberitakan di media 
massa. BI menyatakan tidak ada yang dirugikan karena saya membayar 
utang pokoknya tepat waktu. Demikian juga dengan bunga sebesar 12 
persen setahun yang mereka tentukan. Hi-hi, mereka tidak peduli 
bahwa tujuan meningkatkan ekspor tidak tercapai. Jelas mereka 
membodohkan diri sendiri, menjadikan dirinya sendiri "teh botol" 
(teknokrat bodoh dan tolol) karena saya sogok. Sambil melakukan ini 
terus, melalui asosiasi perusahaan, dengan kawan-kawan saya kampanye 
antisuap. Media massa memberitakannya besar-besar tanpa kritik 
karena penyuapan cara halus yang dinamakan public relations saya 
cukup canggih.

DALAM bidang transportasi darat Indonesia sangat ketinggalan. 
Praktis tidak ada jalan-jalan raya yang bebas hambatan (highway atau 
free way). Bayangkan, jalan raya sepanjang Pulau Jawa yang membangun 
adalah Daendels. Dalam kemerdekaan yang 58 tahun itu kita tidak 
mampu membangun jalan raya dari pulau yang paling padat. Sekarang 
keuangan negara bangkrut-krut. Pemerintah dalam arti APBN tidak 
mempunyai uang. Namun, bank-bank BUMN banyak duitnya.

Saya usulkan supaya saya diberi izin membangun jalan tol swasta yang 
milik saya. Modal yang dibutuhkan tentu sangat besar. Dengan 
menyogok seperlunya, saya memperoleh 100 persen dari dana yang 
dibutuhkan untuk membangun jalan tol tersebut. Biayanya Rp 800 
miliar. Dengan kredit Rp 800 miliar jadilah jalan tol. Begitu 
dipakai, pemakainya membayar tol fee secara tunai. Pemasukan uang 
ini dibagi 40 persen untuk saya dan 60 persen untuk membayar cicilan 
utang serta bunganya. Jadi begitu jalan tol selesai, arus uang tunai 
serta-merta masuk ke kantong saya tanpa modal sama sekali.

Utang saya beserta bunganya juga serta-merta dicicil dari pemasukan 
tol fee yang tunai. Saya membuat proyeksi tentang berapa tahun sejak 
dimulainya utang akan lunas, misalnya 15 tahun. Lantas saya umumkan 
bahwa setelah 15 tahun, jalan tol saya hibahkan kepada pemerintah. 
Bukankah luar biasa cemerlangnya saya?

Tidak. Seperti saya katakan, tidak semua birokrat tingkat 
tinggi "teh botol". Mereka tahu bahwa semuanya dapat dilakukan oleh 
pemerintah sendiri. Namun, saya sogok plus saya berikan segala 
argumentasinya, seperti jalan tol itu perlu, pemerintah tak punya 
uang, dan yang terpenting ideologinya bahwa pemerintah sebaiknya 
tidak ikut campur memiliki barang, seperti jalan tol sekalipun. Saya 
jelaskan bahwa ini aliran pikiran yang modern yang menyerahkan 
semuanya kepada mekanisme pasar. Mereka dan publik memakan teori ini.

Saya tertawa geli lagi karena ini bukan teori baru. Adam Smith yang 
mengenali berlakunya mekanisme pasar, adanya invisible hands yang 
mengaturnya. Namun, hal itu sudah lama ketinggalan zaman karena 
ditulisnya pada tahun 1776. Intinya masih berlaku, tetapi tidak 
untuk barang publik, melainkan untuk barang-barang kelontong yang 
bisa dipersaingkan dan tidak vital sifatnya. Jalan tol mengandung 
monopoli natural karena ruangnya untuk jalan tol untuk ruas tertentu 
hanya satu. Mengapa harus diberikan kepada saya? Karena saya sogok! 
Namun, justifikasinya berbagai argumen yang ternyata ditelan dengan 
fanatik karena yang berkuasa ketika itu "teh botol".


PARALEL dengan ide tentang jalan tol ini, berbagai gedung pencakar 
langit saya beli. Gedung bank BUMN saya beli dengan uang yang 100 
persen milik bank itu sendiri. Saya memperoleh pinjaman dari bank 
BUMN yang bersangkutan. Gedungnya saya beli. Karena gedung sudah 
milik saya, bank harus membayar sewa kepada saya. Perolehan 
pembayaran sewa ini saya pakai untuk mencicil utang pokok beserta 
bunganya dalam bentuk anuitas. Jumlah anuitasnya saya samakan dengan 
uang sewa yang saya terima. Dengan demikian, setelah sekian tahun 
gedung yang segitu besarnya milik saya. Mulai saat itu hasil sewa 
sepenuhnya saya nikmati karena utang sudah lunas sama sekali.

Bayangkan, berapa besar pendapatan saya karena yang saya begitukan 
bukan hanya satu gedung. Masa pimpinan bank begitu bodoh? Tidak, 
tetapi menjadi bodoh karena cemerlangnya pikiran saya ditambah 
dengan perolehan uang banyak dari persekongkolan dengan saya.

INDONESIA sudah maju, mempunyai banyak perusahaan asuransi, antara 
lain asuransi jiwa. Kalau tertanggung mati, ahli warisnya mendapat 
santunan besar. Saya menciptakan orang-orang yang tidak ada. Jadi, 
saya menciptakan tertanggung fiktif yang tempat tinggalnya di daerah-
daerah yang sangat terpencil. Setelah membayar premi beberapa kali 
saja, saya menciptakan dokumen aspal tentang kematian tertanggung 
yang memang tidak ada. Ahli warisnya orang-orang saya semua.

Masih banyak lagi cara-cara membobol perusahaan asuransi. Tentu 
orang dalam perusahaan asuransi harus ikut di dalam komplotan ini 
supaya tidak meneliti lagi. Maka, hampir semua perusahaan asuransi 
modal ekuitinya negatif.

Ketika ramai dibicarakan tentang adanya kemungkinan pemalsuan uang, 
bukan hanya satu pihak saja yang terlibat, seperti yang bahkan 
disebut namanya di surat kabar. Saya melakukannya juga. Uang palsu 
saya tidak pernah ketahuan karena tidak pernah beredar. Uang yang 
saya palsu senantiasa mengendap di kas sebagai iron stock atau 
persediaan minimum untuk menjaga keamanan likuiditas. Jadi, saya 
mencetak uang palsu.

Uang ini saya tukar dengan uang yang harus selalu ada, tetapi 
nyatanya tidak pernah beredar karena setiap bank harus mempunyai 
persediaan minimal. Dengan demikian tidak akan pernah diketahui 
kecuali kalau akuntan publik mengauditnya dengan mencatat nomor seri 
uang dan selanjutnya mengamati apakah uang dengan nomor seri 
tertentu itu terus-menerus mengendap di kas. Akuntan publik tidak 
sampai ke sana pikirannya.

Masih banyak lagi yang saya lakukan dalam mimpi. Akan saya lanjutkan 
dalam mimpi berikutnya.


Kwik Kian Gie

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala 
Bappenas




--[YONSATU - ITB]---------------------------------------------      
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau   
                  <http://news.mahawarman.net>   
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman     
Other Info      : <http://www.mahawarman.net> 
   

Kirim email ke