saya setuju bahwa mereka akan leluasa tanpa dicap murtad atau menyalahi aturan 
agama....namun kelihatannya hal ini akan valid selama tidak ada persentuhan 
kepentingan....namun seperti saya sebut sebelumnya, bahwa konsep agama itu sangat 
intrisik, jadi perbenturan kepentingan pada suatu titik akan terjadi.........
 
Hal ini terbukti di perancis waktu mereka bermaksud mengeluarkan uu pelarangan 
simbol-simbol agama bagi anak sekolah atau pegawai pemerintah (dan katanya parlemen 
belanda juga akan mengikutinya).........
nah di sini bagaimana sebenarnya konsep negara sekuler dan freedom to believe itu 
diuji.........di satu sisi apa urusannya pemerintah mengeluarkan uu tsb, toh agama 
bukan 'bisnis' pemerintah.....hal kedua, kalau itu diterapkan, maka konsep freedom to 
believe jadi gak relevan lagi dong....karena WN tidak lagi bebas untuk 'act as their 
believe'.......
 
saya setuju, itu soal pilihan.......jadi di situlah sebenarnya kemauan untuk 'accept 
the difference' itu yang penting........dan kita maupun mereka termasuk saya.....masih 
punya kelemahan untuk menerapkan hal tsb dalam kehidupan sehari-hari.......
 
kenapa itu terjadi..?..ya karena dalam hidup kita terbiasa dengan point of reference 
yang selalu menjadi acuan atau orietasi hidup kita, jadi kalau ada point of reference 
yang beda kita perlu waktu dan energi untuk re-orientasi.....dan seringkali itu tidak 
mudah, karena menurut orang fisika, kita tahu ada suatu 'kelembaman' yang harus 
dilawan.....hal yang kedua, seringkali terjadi ada sifat defensif juga....semakin 
di'paksa' maka kelembaman itu akan semakin besar dan semakin besar pula energi yang 
harus dikeluarkan.....
 
salam,
 
noor syarifuddin/xix
 
btw, ini mengganggu yang lain gak yauw.....kok jadi keterusan he  he  he  he 
[EMAIL PROTECTED] wrote:
Dengan leluasa maksudnya, tanpa ada rasa takut dicap murtad oleh agama, 
atau kekhawatiran di dipersoalkan oleh para ulama. Tugas pemerintah 
adalah melindungi dan menjamin terselenggaranya freedom to believe ini.
Kalau kritik mengeritik didalam forum, nggak bisa anda generalisir dong. 
Itu kan hanya pendapat orang perorang, bukan institusi, kelompok 
masyarakat, apalagi negara. 

Kalau anda mau makan pake tangan di restoran barat, boleh boleh saja. Wong 
tangan itu kan tangan anda sendiri, dan makanan itu kan anda beli pake 
uang dari kantong sendiri. Kalau diliatin orang, cuek aja, toch mereka 
cuman ngeliat, nggak marah2in anda. Melihat kan gratis. Sama seperti kita 
melihat mereka berciuman di bus halte atau di pantai kuta, he he he.

Hanya memang di restoran2 tertentu, ada persyaratan pakaian. Biasanya 
kalau sudah pakai persyaratan pakaian, maka makanpun harus pake sendok 
garpu dan pisau. Jadi, table mannernya, ya apa boleh buat, musti ikutin 
caranya orang barat. Kalau kita nggak mau nurut, ya dipersilakan keluar, 
monggooo..... Tapi, itu kan hak restoran. Kalau kita nggak setuju sama 
aturan mereka, ya cari restoran yang lain aja. Kan masih banyak restoran 
yang nggak punya aturan makan seperti itu? Simpel kan?

Menurut saya, masalah kultural bisa diatasi kalau kita mau mencoba 
menghargai orang lain seperti apa adanya, tanpa prejudice, apalagi 
bersikap paranoide. Untuk itu, kita perlu membiasakan diri untuk berpikir 
logis, nggak melulu mengandalkan perasaan dan keyakinan. Orang2 yang 
merasa super, punya table manner, dlsb., sudah bukan jamannya lagi 
sekarang. Wong, di masyarakatnya sendiri mereka sudah nggak dianggep kok. 
Saya kira film Pretty woman yang anda sebut itu, mencerminkan hal 
ini,...apa sih salahnya orang makan pakai tangan sendiri? Apa musti pakai 
tangan orang lain, ha ha ha.

Salam hangat,
HermanSyah XIV.


---------------------------------
Do you Yahoo!?
Yahoo! Small Business $15K Web Design Giveaway - Enter today

--[YONSATU - ITB]---------------------------------------------      
Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau   
                  <http://news.mahawarman.net>   
News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman     
Other Info      : <http://www.mahawarman.net> 
   

Kirim email ke