*Ajarilah Anak Bermental “Saudagar” Sejak Dini, jika Tidak Entrepeneur*

*2009* APRIL 28

*tags: **kemandirian bangsa<http://id.wordpress.com/tag/kemandirian-bangsa/>
**, **pendidikan bangsa <http://id.wordpress.com/tag/pendidikan-bangsa/>**,
**pendidikan entreprenuer<http://id.wordpress.com/tag/pendidikan-entreprenuer/>
***

by nusantaraku

[image: Entrepeneur Muda (s:www.ja-ye.org)]

*Entrepeneur Muda (sumber:www.ja-ye.org)*

Tulisan ini bukan mendidik anak-anak atau siswa-siswi menjadi seorang
materialistik, namun mendidik sejak dini anak-anak untuk berpikir proses
produksi (menghasilkan), bukan hanya semata menjadi rantai konsumsi
(pengguna) semata. Jika tidak mampu menanamkan jiwa entreprenuer pada
anak-anak (menghasilkan produk, menciptakan lapangan pekerjaan), maka
setidaknya mereka bisa “berdagang”. Mereka mengerti bagaimana meningkatkan
value added (nilai tambah) dalam rantai produksi-distribusi-konsumsi.

*Tulisan 
ini*<http://nusantaranews.wordpress.com/2009/04/28/ajarilah-anak-bermental-saudagar-sejak-dini-jika-tidak-entrepeneur/>
 muncul seiring meningkatnya pola konsumsi masyarakat meskipun ditengah
krisis dan ditengah menurunnya tingkat produksi ataupun  produktivitas
masyarakat. Ditengah krisis, penjualan produk-produk impor seperti Iphone,
BlackBerry, Fashion, Netbook meningkat drastis. Dan Bandung menjadi salah
satu kota yang seolah-olah tidak terkena dampak krisis global yang bermula
2008 silam. *Khusus penjualan Netbook 3G Power naik pesat dengan dua hingga
tiga unit terjual dalam sehari di kota
Bandung*<http://www.antara.co.id/arc/2009/4/26/penjualan-netbook-di-bandung-naik/>
.

*****

Dengan jumlah populasi terbesar ke-4 dunia, Indonesia merupakan pasar
ekonomi yang sangat potensial. Coba bayangkan jika saja kita mampu membuat
sebuah produk dengan profit bersih Rp 1000 yang mana produk tersebut akan
dibeli oleh 10% penduduk (23 juta). Dan produk tersebut rutin dibeli oleh
para pengguna setiap 1 atau 3 bulan sekali. Maka dalam setahun, kita dapat
meraup keuntungan hingga Rp 92 miliar hingga 276 miliar. Ini baru saja 1
produk dengan pangsa 10% pasar. Bagaimana dengan sisanya 90% penduduk lain?
Bagaimana dengan produk-produk lainnya seperti makanan ringan, kosmetik,
alat elektronik, jasa, kebutuhan pokok lain dll?

Meskipun Indonesia telah 63 tahun merdeka; meskipun Indonesia memiliki tanah
yang subur; meskipun Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya; meskipun
Indonesia memiliki iklim yang kondusif; meskipun Indonesia memiliki
putra-putri cerdas dan  bermoral-bermartabat, namun kenyataannya hingga saat
inipun Indonesia  *masih sangat bergantung pada luar/asing*. Indonesia masih
memiliki ketergantungan dalam memenuhi sejumlah kebutuhan pokok seperti gula
atau jagung. Produk-produk mendasar rumah tangga seperti sabun mandi,
deterjen, pasta gigi, pun diproduksi oleh perusahaan MNC (asing). Begitu
juga alat elektronik; HP, TV, Komputer dan kendaraan bermotor baik motor,
mobil ataupun bus.

*****

Menurut *saya* <http://nusantaranews.wordpress.com/>, salah satu sebab dari
ketergantungan kita yang luar biasa sehingga kita kurang mandiri dalam
memenuhi kebutuhan mendasar dikarenakan *mental kita yang tidak mandiri*.
Mental tidak mandiri telah dibentuk sejak zaman kolonialisme Belanda dan
masih menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kepribadian sebagian besar
masyarakat di nusantara. Penjajahan selama 3.5 abad, membuat masyarakat kita
tidak memiliki kepercayaan diri, membuat kita selalu menyanjung orang asing
dan merendahkan kemampuan anak bangsa sendiri. Disisi lain, anak bangsa
kurang bisa mengevaluasi diri memperbaiki diri dan ‘organisasi’nya untuk
menjadi lebih baik.

Mental yang telah “membudaya” ini sulit dibenahi dalam waktu yang singkat.
Dan salah satu usaha yang sangat mendesak adalah reformasi pendidikan yang
mendasar bagi para pendidik maupun anak didik di bangku sekolah. Selama
mengenyam pendidikan di SD hingga SMA, saya jarang sekali (jika bisa
mengatakan hampir tidak pernah) merasakan adanya pendidikan kemandirian di
sekolah saya. Yang ada hanyalah pengajaran atas teori-teori,  sedangkan
pendidikan mendasar sangatlah minim.

Sejak SD, semua buku teks sekolah mengajarkan “*Ibu Budi ke Pasar pergi
membeli sayur*” atau “*Bapak Budi ke Toko membeli buku*“. Intinya, setiap ke
pasar atau toko, kegiatan utamanya adalah membeli dan membeli. Langka sekali
mengajarkan kalimat “*Ibu Budi ke Pasar menjual Sayur*” atau “*Bapak Budi
pergi ke tokoh menjual hasil kerajinan tangan*“. Tidak juga “*Bapak Budi
pergi bekerja membuat perahu atau mesin pertanian, atau sejenisnya*“.
Sehingga yang terbenam dalam pemikiran sejak kecil adalah kita sekolah,
menimbah ilmu hanya untuk mencari kerja lalu membeli barang konsumsi. Bukan
memikirkan bagaimana membuat sebuah produk, menciptakan produk tandingan,
dan menjualnya.

Pendidikan-pendidikan seperti inilah yang membuat kita kurang peka, kurang
memiliki inisiatif dan peduli untuk menciptakan lapangan pekerjaan, membuat
serta menggunakan produk buatan sendiri. Bahkan para pejabat pemerintah pun
tidak begitu serius menyikapi impor-impor barang-barang yang sebenarnya
rakyat kita mampu memproduksinya. Begitu juga, tidak ada usaha pemerintah
dan pengusaha lokal untuk mendorong pembangunan industri yang menguasai
hajat hidup orang banyak menggantikan perusahan MNC yang meraup keuntungan
yang besar.

Dan parahnya lagi, masyarakat para konsumen seolah-olah tidak peduli lagi
untuk meningkatkan value added produk, masyarakat kita hanya ingin menjadi
bangsa pengguna, seakan-akan harkat dan martabat kita tidak naik-naik sejak
dijajah oleh bangsa Barat. Kita pun sungkan dan enggan menggunakan produk
yang berlabelkan “made in Indonesia”, namun kita mau membeli produk dalam
negeri yang bercap “merek luar negeri”. Disisi lain, pemerintah lebih
mengutamakan perkembangan perusahaan MNC asing ketimbang usaha-usaha kecil
menengah milik rakyat kecil di pedesaan. Dan begitu juga, sebagian besar
para produsen lokal ’stagnan” dalam berinovasi produk sehingga kualitas
produknya tidak meningkat-meningkat. Kedepan, diharapakan seluruh elemen
bangsa, yakni pendidik, para siswa, para pengusaha, masyarakat luas serta
pemerintah harus sejak dini mengajar anak-anak untuk berjiwa entreprenuer,
berjiwa inovasi yang mandiri untuk membangun kejayaan bangsa Indonesia.

Semua itu dimulai dari diri sendiri dan terutama di bangku sekolah. Jadi,
didiklah siswa-siswi bermental mandiri, berjiwa entrepeneur, melalui
pendidikan dan contoh cerita dalam pelajaran. Dan sejelek-jeleknya mereka
mampu menjadi “saudagar”.

Salam Perubahan,

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid-subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid-unsubscr...@googlegroups.com
if you wanna know me, please visit my facebook at aga8...@gmail.com
thanks for joinning this group.
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

<<inline: clip_image002.jpg>>

<<inline: image001.jpg>>

Kirim email ke