Bisnis Indonesia

Elite, Dialog Dong!


Oleh: Christovita Wiloto
CEO Wiloto Corp. Asia Pacific
www.wiloto.com email: [EMAIL PROTECTED] 

Pemilu masih lebih dari setahun lagi. Tapi para elite yang berada di luar 
lingkar pemerintahan agaknya sudah 'kebelet'. Sehingga tanpa komando, mereka 
mulai melakukan 'pemanasan'. Mereka saling melontarkan komentar dan bersilat 
lidah untuk menarik perhatian. 

Yang jadi sasaran tentu saja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf 
Kalla. Try Sutrisno, mantan panglima ABRI di zaman Orde Baru, misalnya, menilai 
kepemimpinan Yudhoyono yang lemah, peragu dan tidak lugas. 

Lalu, mantan presiden Megawati Soekarnoputri, malah meminta Yudhoyono tak cuma 
tebar pesona alias "jaim" atau "jaga image". Melainkan mengimbangi kinerja 
pemerintahannya dengan tebar karya. 

Entah kenapa kritik kecil seperti itu ternyata mampu membuat kubu Yudhoyono 
bereaksi besar. Terhadap kritik Mega, Yudhoyono menjawab, ''Biar rakyat yang 
menilai, siapa pemimpin yang hanya berpangku tangan, menonton sambil 
berkomentar sana-sini, dan siapa pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja.'' 

Namun, jawaban Yudhoyono tadi kontan saja disambut dengan kritik-kritik pedas 
yang lain. Terkait dengan peringatan 'Peristiwa 15 Januari (Malari)' sejumlah 
tokoh menggelorakan aksi demontrasi 'Cabut Mandat Rakyat' kepada Presiden. 
Aparat kemudian bertindak. Sri Bintang Pamungkas yang mengawasi pemasangan 
baliho raksasa 'Cabut Mandat Rakyat' di Bunderan HI pun sempat diciduk. 

Suhu Politik memang makin panas, dan diperkirakan eskalasinya bisa semakin 
kuat. Tak heran kalau kemudian Kepala BIN, Syamsir Siregar, dan Menko Polhukam, 
Widodo Adi Sutjipto, merasa perlu menghadiri Forum Komunikasi Purnawirawan TNI 
dan Polri, di Balai Sudirman. Salah satu tujuannya, adalah untuk 
mengkonfirmasikan
keberadaan Dewan Revolusi yang diketuai mantan KSAD Tyasno Sudarto. 

Kala itu, Syamsir sempat menggertak Tysno dengan mengatakan, ''Yang benar ini, 
kalau benar ini dari kau, makar kamu. Kalau makar, saya perintahkan polisi 
untuk menangkap kau.'' Tyasno pun berkilah, ia hanya memimpin Gerakan Revolusi 
Nurani. Dewan Revolusi, menurutnya, baru sebatas wacana. ''Presiden percaya 
para purnawirawan tak akan makar,'' ujar Tyasno. 

Manuver-manuver para elite seperti di atas wajar sekali terjadi. Salah satunya 
karena deadline pelaksanaan Pemilu mulai mendekat. Selain itu kinerja kabinet 
tak kunjung membaik, bahkan kian jauh dari janji-janji saat kampanye lalu. 

Secara umum kinerja ekonomi tambah buruk. Pengangguran makin banyak. Kemiskinan 
kian tajam. Harga-harga makin tak terjangkau. pendeknya cashflow rakyat makin 
minus. Bahkan harga beras -- salah satu kebutuhan paling pokok bagi masyarakat 
kita -- tambah mahal. 

Hingga, awal pekan lalu, di pasar tradisional harga beras berkisar antara Rp 
4.000 hingga Rp 5.800 per kilogram, bandingkan dengan harga termurah per 
Januari 2006 yang berkisar antara Rp 2.600 per kilogram. dan keadaan ekonomi 
rakyat bawah yang semakin menghimpit, seakan makin menumpahkan bensin yang siap 
disulut dan meledak setiap saat. 

Kritik adalah bagian dari demokrasi. Sehingga, sah belaka bila kritik dibalas 
dengan kritik lagi. Asal semuanya masih dilakukan dalam koridor etika 
demokrasi. Hanya saja, yang jadi pertanyaan kemudian, bagaimana nasib rakyat, 
di tengah "perang" para elite tadi? 

Semuanya pasti menjawab, justru saat ini kami sedang memperjuangkan nasib 
rakyat. Politik memang sebuah
panggung. Ketika masyarakat semakin besar, kekuasaan tak lagi personal. 
Demokrasi sesungguhnya adalah
keterwakilan. Para elite yang berkuasa adalah personal yang mewakili rakyat. 

Ironisnya, rakyat sering merasa tak mendapat benefit apa-apa dari wakilnya yang 
ada di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, mereka lebih kerap 
merasakan kesengsaraan yang kian terakumulasi. 

Jika mental para elite masih seperti sekarang, ditembah dengan kenyataan pola 
demokrasi dan pemilihan langsung, bisa dibayangkan Indonesia akan terus 
bergejolak, setidaknya setiap lima tahun sekali, setiap menjelang pemilu. 

Karena itu, perlu dialog yang fair, terbuka dan sportif di kalangan elite untuk 
menghindari kerusuhan yang tak perlu dan merugikan rakyat. Ini penting untuk 
menjaga produktivitas negara ini. Saling kritik boleh dan sah saja, bahkan 
harus. Tapi para oposisi jangan asal lempar batu, sementara yang berkuasa 
inginnya selalu ditepuktangani saja. Setiap pemerintahan harus mampu mewujudkan 
iklim demokratisasi yang lebih kuat, demi tercapainya masyarakat yang adil dan 
sejahtera. 

Pelajaran terpenting buat kita, rakyat, adalah, berhati-hatilah memilih 
pemimpin bangsa. Cermatilah rekam jejak atau benang merah integritas sang calon 
pemimpin. Jangan sampai tertipu oleh omongan atau janji-janji yang mudah 
terucap, tapi mustahil terlaksana. 

Sementara itu, pelajaran paling penting bagi semua elite yang ingin menjadi 
penguasa -- baik Presiden atau Wapres -- adalah harus siap dengan program yang 
riil, dan siap untuk dilaksanakan. Bukan program yang hanya tampak bagus, 
karena dikemas dengan bungkus yang cantik. Karena setiap saat rakyat siap 
menggugat kalau ternyata program itu tak terealisasi. Jangan pernah sia-siakan 
"kepercayaan" rakyat.


Ingat, demokrasi hanya cara, bukan tujuan. Semua pihak harus diingatkan, untuk 
selalu memberi "nilai tambah" yang positif terhadap kehidupan berbangsa dan 
bernegara. Setiap periode pemerintah harus menjadi kenaikan tingkat untuk 
menuju ke puncak. Itulah demokrasi negara yang produktif.  

Saling jegal dengan hal-hal yang panas, sudah bukan jamannya lagi. Semua sudah 
sangat transparan, elite yang merencanakan atau bahkan membakar kerusuhan, 
pasti akan dengan mudah diketahui rakyat. Gunakanlah strategi-strategi 
komunikasi yang elegan. Jadi dialog dong!



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke