Bung Enda, ya memang ilustrasi saya ttg no trust society 
kurang "ngigit" :D thanks atas inputnya...

dalam perjalanan ke Jepang beberapa waktu yang lalu saya bertemu 
dengan bbrp pengusaha Indonesia di sana. Dalam sebuah percakapan, 
seorang pengusaha Indonesia bercerita pada saya ttg bagaimana dunia 
bisnis/industri Jepang menegakkan hukum/aturan/tradisi, agar mereka 
bisa terus hidup dalam lingkungan yang saling percaya.

Katanya, disana ada aturan ttg ketenaga kerjaan, dimana (maaf saya 
juga kurang jelas detailnya) utk mempekerjakan tenaga kerja asing 
harus ada peraturan pemerintah yang harus ditaati.

Suatu saat ada sebuah pabrik Jepang yang mempekerjakan sejumlah 
tenaga kerja Indonesia. Rupanya dari sekian banyak tenaga kerja 
Indonesia itu, ada 1 yg aspal, alias asli tapi palsu dokumen2nya 
[he...3x sebetulnya ini biasa terjadi khan :D]. Tapi apesnya ini 
ketahuan oleh pemerintah (Jepang).

Apa yang terjadi kemudian. Pemerintah (Jepang) menjatuhkan sanksi 
tidak hanya pada satu perusahaan yang melakukan kesalahan dalam 
mempekerjakan tenaga kerja Indonesia yg ilegal tersebut saja [yg 
sebenarnya mereka juga tidak sengaja]. Namun juga menghukum  
perusahaan (industri) dimana perusahaan ini tergabung.

Jadi sekitar 30an perusahaan (industri)mendapat getah dari 
penyelundupan tenaga kerja ilegal ini. Dimana dalam kurun waktu 10 
tahunan (kalau tidak salah) perusahaan2 ini tdk dpt mempekerjakan 
tenaga kerja Indonesia.

Bisa dibayangkan bagaimana rasanya satu perusahaan yang tertipu itu 
harus menanggung hukuman, baik dari pemerintah langsung. Juga dari 
30an rekan2 perusahaan (industri)disekitarnya. Dan memang 30an 
perusahaan itu begitu marah dalam berbagai bentuk pada satu 
perusahaan yang kecolongan tadi.

Ini mungkin bisa memperkuat ilustrasi Bung Enda, tentang bagaimana 
trust society bisa dibentuk dalam lingkungan kecil dan negara, dlm 
hal ini Jepang. Dengan peraturan hukum yang tegas & juga kontrol 
social yang kuat.

Hal yang sama juga terasa di Singapura. Pemerintah, masyarakat & 
dunia bisnis sangat percaya satu sama lain. Bahkan kalau menurut 
seorang rekan pengusaha Indonesia, mereka sangat mudah utk dikelabui. 
Mereka tidak terlalu melakukan cek & ricek atau melihat referensi 
(seperti yg Bung Enda sampaikan dengan istilah "saling kenal").

Hal ini bisa terjadi, krn mereka sangat percaya dengan sistem hukum 
yang ada dinegara itu. Bahwa jika ada kesalahan yang dilakukan oleh 
salah seorang warga atau mitra bisnis, maka hukumnya sangat kuat, 
sudah bisa dipastikan akan masuk JAIL alias penjara...juga dgn sistem 
Nomor Indentitas...maka orang yang bersangkutan akan sulit utk 
berbisnis lagi di Spore.

Jadi, dlm beberapa kasus no trust society bisa dikikis dengan 
penegakkan hukum, baik melalui sistem hukum yang tegas, bersih, 
berwibawa atau juga dengan kontrol sosial yang dibuat sedemikian rupa 
agar saling menjaga.

Nampaknya keduanya cukup berat utk diterapkan di Indonesia. Sehingga 
apa yang terjadi di negara tercinta Indonesia? Setiap orang akan 
berusaha semaksimal mungkin menjaga keselamatan dirinya masing2 agar 
tidak tertipu atau dirugikan oleh pihak lain. Dengan cara antara 
lain, sebisa-bisanya melakukan pengamanan, cek & ricek, jaminan, 
kontrak hukum, dll.

Ditingkat rumah tangga, maka masing2 akan
1. Membangun pagar rumah tinggi2
2. memelihara anjing galak-galak
3. Mempekerjakan satpam, kalau mampu
4. Memiliki senjata (api) atau minimal golf stick atau sejenisnya
5. Kalau mampu pasang CCTV
6. Dibbrp perumahan kluster, secara bersama membiayai sistem keamanan 
yang terintergrasi.
7. dll

Dalam duni bisnis, selain itu juga melalui sistem referensi, artinya 
orang2 dari lingkungan yang sudah bertahun-tahun mereka kenal, akan 
mendapat kepercayaan. Dan jangan lupa, itupun bertahap, selevel demi 
selevel. 

Artinya, kalau orang itu bisa dipercaya dalam level 10jt..maka ia 
akan naik ke level 20jt...selanjutnya 100jt dstnya. Dan sekali orang 
itu berkhianat maka info negatif itu akan cepat menyebar dan 
hancurlah Public Trust pada orang tersebut.

Jadi bisa dibayangkan, akan sulit sekali bagi pemain baru utk masuk 
dlm komunitas tsb. Dan bisa dibayangkan  kalau Nepotisme (bukan dalam 
arti negatif) akan tetap tumbuh subur dlm dunia bisnis di Indonesia.

Dalam komunitas yg sudah saling percaya tersebutpun sering terdengar 
adanya kasus, pengusaha besar yang nilep & kabur. Rupanya dia telah 
sekian tahun membangun trustnya, hingga akhirnya dipercaya oleh 
komunitasnya dengan jumlah yang sangat besar. Dan dgn modal 
kepercayaan yg sangat besar inilah akhirnya dia "menggarong dan 
kabur".   

Bisa dibayangkan, betapa komunitas yang sudah saling percaya akan 
sangat "shock" dengan kondisi seperti ini bukan? Dan ini akan membuat 
mereka menjadi lebih berhati-hati.

Kalimat seperti:
1. makanya hati-hati
2. jangan cepat percaya
3. jangan terlalu percaya
dan lain sebagainya sejenisnya sering sekali kita dengar :)
inilah salah satu bentuk dari Low Trust Society atau No Trust Society

mohon koreksinya

salam sayang Indonesia :)
christov


--- In AhliKeuangan-Indonesia@yahoogroups.com, "irmec" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Ketika aku reply email mas Christ ttg. trust society, yg aku lagi 
> respond sebenarnya contoh yg dipakai untuk menggambarkan ketidak-
> adaannya "trust" di masyarakat kita. 
> 
> Masalah trust ialah masalah evolusi suatu masyarakat. Dan, ngak 
tahu 
> apa itu human nature bhw manusia cenderung serakah, konsep trust 
itu 
> lebih sering ngak jalan dalam skala yg gede. 
> 
> Rasanya aku pernah cerita ttg. evolusi perdagangan Eropa di abad 
> pertengahan. Saat itu didominasi oleh Maghribi (kata prof. Avner 
> Greif dari Stanford; pedagang ini org Yahudi yang beragama Islam). 
> Dari Yahudi, mereka megang prinsip "all israel is responsible for 
> every member". Dari Islam, mereka paham ttg. konsep umma (ibu?). 
Apa 
> yg terjadi ialah kontrol sosial diantara mereka. Setiap ada yg 
> curang, langsung berita menyebar, dan yg curang lsg diisolasi oleh 
> komunitas ini. 
> 
> Saat itu, muncul juga pedagang2 Genoa. Mereka cenderung lebih 
> individualistik. Akibatnya, tidak sedikit yg curang. (Ingat dong 
> cerita Shakespeare ttg. pedagang Venesia?). 
> 
> Anehnya, akhirnya Maghribi kalah bersaing dgn Genoa. Kenapa? Karena 
> semakin complex & luas cakupan perdagangang, semkain sulit 
melakukan 
> kontrol sosial. Sementara itu para pedagang2 Genoa yg 
> sudah "berpengalaman makan/dimakan" mulai bikin mekanisme 
> kesepakatan hukum. Dan, ini menjadikan mereka lebih mampu 
> beradaptasi dgn dunia baru, ketika perdagangan meluas. 
> 
> Akhirnya, menurutku, trust jalan dalam skala yg kecil (itu mungkin 
> bisa menjelaskan kredit tanpa anggunan M. Yunus di Bangladesh), 
tapi 
> sulit jalan dalam skala gede. Apalagi negara. Aplg dgn track record 
> dimana pemerintah lebih sering abuse kepercayaan rakyat.
> 
> 
> Cheer


Kirim email ke