Bisnis Indonesia Jumat, 09/03/2007 15:20 WIB Low Safety Society
Oleh: Christovita Wiloto CEO Wiloto Corp. Asia Pacific www.powerprinstitute.com Budaya atau paradigma safety yang mengutamakan keselamatan, kerap jadi cemoohan karena kita dinilai tak berani mengambil risiko. Bahkan, orang yang peduli terhadap safety sering dianggap pengecut atau penakut. Karena rendahnya kesadaran akan safety di masyarakat Indonesia, nyawa manusia seperti 'barang murah' yang bisa menjadi korban sia-sia. Sehingga, wajar kalau banyak terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa manusia. Tragedi kapal Levina I, merupakan salah satu contoh konkret soal ini. Kapal yang sudah menjadi bangkai karena baru saja terbakar, masih sempat mengambil korban lagi, ketika tenggelam di Muara Gembong, Bekasi. Musibah itu terjadi saat sejumlah wartawan bersama anggota Komite Nasional Kaselamatan Transportasi (KNKT) dan petugas Puslabfor Polri meninjau reruntuhan kapal yang sudah menjadi rongsokan besi itu. Kepala Dinas Penerangan Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) Letnan Kolonel (Laut) Hendra Pakan, menjelaskan hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab kapal Levina I menjadi oleng dan tenggelam, padahal kondisi cuaca ketika itu cukup cerah. Namun pusaran airnya memang cukup kuat. ''Saya memperoleh informasi, umumnya wartawan tidak bersedia menggunakan pelampung, padahal prosedurnya harus menggunakan alat penyelamat tersebut. Sementara banyak di antara mereka tak bisa berenang,'' kata Hendra. Ia lalu membandingkan anggota KNKT dan Polri, yang menaiki Levina dengan memakai pelampung. Merasa Jagoan Tak cuma di laut. Sesekali, perhatikan dengan seksama, betapa berjubelnya penumpang Kereta KRL, hingga bergelantungan di pintu. Bahkan di antaranya ada yang nongkrong atau berdiri di atap kereta. Berapa orang di antara mereka memang tak punya ongkos. Tapi sebagian besar yang lain -- terutama yang masih berusia remaja -- melakukan itu sekadar ingin menunjukan dirinya jagoan. Dan jika tidak berani takut dianggap pengecut. Padahal banyak musibah mengenaskan, penumpang kereta terjatuh hingga meninggal dengan kepala pecah, atau gosong tersengat listrik. Lalu, simak tragedi kecelakaan pesawat. Hingga kini belum ketahuan di mana persisnya jenasah 102 orang penumpang Adam Air (85 orang dewasa, 7 anak-anak, 4 bayi, serta 6 awak pesawat) saat pesawat itu hilang di sekitar perairan Mamuju. Kemudian, betapa mengerikannya kecelakaan pesawat Mandala di Medan. Kala itu, pesawar tujuan Jakarta tersebut jatuh beberapa saat usai tinggal landas dari Bandara Polonia, Medan. Pesawat yang membawa 117 penumpang itu terbakar kala menabrak beberapa rumah dan kendaraan di darat. Sedikitnya 147 orang tewas pada kecelakaan itu. Hanya 15 orang penumpang yang selamat. Semua kejadian tersebut -- ini belum terhitung kecelakaan lalu lintas yang umum terjadi di jalan raya. Untuk membuat pengendara motor menggunakan helm demi keselamatan mereka sendiri saja sulitnya bukan main. Demikian juga untuk mengenakan sabuk pengaman. pesawat banyak dari kita yang masih mencuri-curi menggunakan HP untuk berbicara atau mengirim sms, baik saat akan lepas landas, maupun saat mendarat. Juga menggunakan notebook di pesawat dengan tanpa mematikan signal wirelessnya, tentu ini membuka peluang yang cukup besar untuk timbulnya kecelakaan. Hal ini makin menggambarkan betapa rendahnya paradigma safety di Indonesia. Baik itu masyarakat sebagai pengguna moda transportasi, pemerintah sebagai regulator hingga perusahaan sebagai operator transportasi. Banjir yang menerjang Jakarta Februari lalu, juga menunjukkan betapa cuek-nya kita -- masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah pusat -- terhadap budaya safety. Bayangkan, kita semua sebenarnya sudah paham kalau membuang sampah di sungai bisa mengakibatkan banjir, tapi itu tetap kita lakukan. Kita sebenarnya juga paham kalau menggusur danau, Jakarta akan kekurangan lahan serapan air. Kita juga paham kalau penggundulan hutan akan menyebabkan tanah longsor dan banjir. Namun kita sepertinya membiarkan semua itu berlangsung. Ironisnya, kita nyaris tak pernah menanyakan pada diri sendiri, apa yang sudah kita siapkan untuk keluarga di rumah, jika terjadi musibah banjir, kebakaran atau gempa. Kita bahkan tak terbiasa mencermati bahan-bahan baku yang dipakai untuk makanan jajanan anak-anak kita. Padahal anak-anak kita wajib dilindungi dari bahan-bahan berbahaya yang kerap dicampur dalam jajanan mereka. Yang dalam skala kecil mungkin tidak langsung menimbulkan penyakit, namun dalam skala menahun akan sangat fatal akibatnya. Sangat Strategis Budaya "safety first" merupakan hal yang nampaknya sepele, tetapi justru sangat strategis. Baik bagi kita sendiri, keluarga kita, negara kita, juga bisnis kita. Di tataran bisnis, kita juga kerap melalaikan keselamatan saat bekerja. Kita sering mengabaikan budaya safety di kantor, pabrik atau tempat kerja yang lain. Padahal, begitu terjadi kecelakaan ongkos yang harus dikeluarkan oleh perusahaan tempat kita bekerja bisa sangat besar. Yang perlu diingat, memangkas biaya keselamatan kerja, dalam jangka pendek memang bisa mengurangi biaya operasional. Tapi jika telah terjadi kecelakaan, bukan tak mungkin ongkos yang harus dikeluarkan bisa sangat besar. Bahkan, ada kemungkinan kita dihukum karena dianggap lalai, atau perusahaan kita bangkrut. Sehingga, ini juga bisa menjadi kematian bagi bisnis kita. Mudah sekali kita menemukan di sekitar kita, bisnis-bisnis yang kandas karena musibah yang semestinya tidak perlu terjadi. Kasus Adam Air, yang kini mulai ditinggalkan penumpang adalah salah satu contohnya. Kasus Lapindo juga bisa menjadi contoh gamblang. Betapa mengabaikan sesuatu yang safety yang nampaknya kecil dan remeh bisa berakibat amat besar. Maksud hati ingin mengirit dana dengan tidak memasang cashing dan ketidakmauan menutup rig, namun semburan lumpur itu kini sudah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat sekitar dan kerugian hampir Rp 8 triliun. Sebuah jumlah amat besar yang tak terbayangkan pada awalnya. Atau masih ingat krisis 1997 yang salah satu penyebabnya adalah kekurang hati-hatian dalam pengelolaan perbankan? Manajemen yang sadar akan safety, akan membuat strategic planning dari bisnisnya dengan memperhitungkan unsur keselamatan atau safety. Karena bisnis harus dijalankan untuk menciptakan kemajuan dan keuntungan, dan bukan sekedar "gambling" atau berjudi dengan berbagai resiko yang tidak perlu. Demi keselamatan kita, keluarga kita, bangsa kita dan juga bisnis kita, tak ada salahnya kalau mulai sekarang kita mulai menerapkan budaya safety. Mulailah dari diri sendiri -- bisa dari rumah, dari kantor dan berkembang ke tataran yang lebih luas. Kalau perlu, ajak keluarga kita (istri/suami dan anak-anak) untuk ikut membudayakan paradigma safety. Setelah itu, baru kita ajak rekan-rekan di kantor dan komunitas lain. Kalau semua sudah menerapkan budaya safety, dan menjadi budaya nasional, niscaya kita bisa menghindar atau setidaknya meminimalisasi resiko sekecil-kecilnya. [Non-text portions of this message have been removed]