Bisnis Indonesia Jumat, 06/07/2007 Cacat? Bukan Halangan!
oleh : Christovita Wiloto CEO Wiloto Corp. Asia Pacific www.wiloto.com http://christovita-wiloto.blogspot.com/ Bagi Anda yang rajin menonton Mamamia di Indosiar, pasti tak asing dengan Fiersa -- satu-satunya peserta tuna netra di ajang lomba menyanyi ibu dan anak itu. Yang menjadikan Fiersa istimewa adalah kemampuan dan penampilannya yang luar biasa. Sehingga banyak penonton yang terharu sekaligus bangga menyaksikannya. Bahkan, dalam salah satu episode, Diva senior Vina Panduwinata dan Tere, bintang tamu yang juga hadir saat itu tak sungkan memujinya. ''Mamanya melakukan suatu hal yang benar. Kita harus yakin Tuhan memberi setiap orang kelemahan dan kelebihan. Kali ini Fiersa berhasil mengeksplorasi kelebihannya dengan sangat luar biasa,'' kata Vina yang kerap dijuluki si Burung Camar itu. Mendapat pujian seperti itu, Fiersa menanggapinya dengan rendah hati. ''Kebetulan saya nge-fans banget sama Mbak Vina. Saya menganggap diri saya tidak ada kekurangan, tapi saya akui, saya memang tuna netra,'' jawab Fiersa. Meski belum bisa dibandingkan, tapi kepercayaan diri Fiersa mengingatkan orang pada Stevie Wonder. Stevie Wonder -- nama panggung dari Steveland Morris, yang lahir 13 Mei 1950 sebagai Steveland Judkins -- seorang penyanyi, penulis lagu, produser rekaman, dan aktivis sosial dari AS. Ia telah merekam lebih dari 30 hit top 10, memenangkan 21 Penghargaan Grammy (sebuah rekor untuk artis solo), juga satu rekor untuk lifetime achievement. Ia pun telah memenangkan piala untuk Lagu Terbaik dan masuk ke Rock and Roll dan Songwriters Halls of fame. Lula Mae Hardaway, ibu Stevie mengajarkan anak-anaknya yang lain untuk memperlakukan Steveland seperti orang normal, tidak mengejek atau membantunya terlalu banyak. Steveland mulai belajar menyanyi dan memainkan alat musik di gereja sejak usia dini, sampai akhirnya menjadi salah satu penyanyi pujaan dunia. Di pentas politik pun ada juga penyandang cacat yang hebat. Franklin Delano Roosevelt, misalnya. Presiden AS ke-32 ini merupakan satu-satunya presiden Amerika yang yang terpilih empat kali berturut-turut dari tahun 1933 hingga 1945. Roosevelt memulihkan AS dari masa ''Depresi Hebat.'' Visinya tentang organisasi internasional yang efektif untuk menjaga perdamaian, terealisasi dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di Indonesia, kita memiliki Gusdur. Mantan Presiden Republik Indonesia ini, walau tidak dapat melihat, namun terbukti mampu memimpin dan melihat berbagai aspek kehidupan di negara ini dengan tajam dan cerdas. Ini membuktikan bahwa dengan paradigma yang tepat para penyandang cacat bisa berada pada posisi yang sangat strategis. Dukungan Negara & Swasta Di negara tercinta ini, Indonesia, jumlah penyandang cacat relatif besar. Pada 2005 jumlahnya mencapai 6,7 juta jiwa atau 3,11 persen dari total populasi. Jumlah tersebut, bisa bertambah seiring dengan meningkatkan kemiskinan, bencana alam, kecelakaan kerja dan konflik horizontal. Ironisnya, pemerintah dan swasta mengakui belum mampu menyediakan sarana dan prasarana untuk penyandang cacat secara optimal. Padahal banyak aturan yang sudah dibuat untuk melindungi para tuna daksa ini. Misalnya UU No 4/1997 tentang hak-hak penyandang cacat. Di sana disebutkan, negara berkewajiban memberi perlindungan dan kesejahteraan kepada rakyatnya, termasuk para penyandang cacat seperti tercantum dalam UUD 1945. Bahkan, UU tersebut telah dijabarkan dalam SE Mensos No. A/A164/VIII/2002/MS tanggal 13 Agustus 2002, yang menyatakan agar ketentuan tersebut dapat dikoordinasikan pelaksanaannya yang meliputi hal-hal sebagai berikut: (1) Penyediaan fasilitas/aksesibilitas penyandang cacat pada gedung dan sarana umum seperti yang telah dilaksanakan oleh sebagian instansi/lembaga di Indonesia; (2) Pembangunan gedung baru agar menydediakan aksesibilitas bagi penyandang cacat dengan memperhitungkan proses rancangbangun sesuai Kepmen PU No. 468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998. Indosiar adalah salah satu perusahaan swata yang peduli terhadap penyandang cacat. Di sana, dari 1.750 karyawannya, 41 orang di antaranya adalah tuna daksa. Rinciannya, 9 orang tuna netra, 3 orang tuna rungu, dan 29 cacat fisik. Mereka diberi kesempatan berkarya di bidang public relations, pemasaran, engineering, programing dan operator telepon. Para karyawan penyandang cacat di Indosiar tadi tampak gesit dan percaya diri. ''Tak ada perlakuan khusus buat mereka. Karena mereka bisa bersaing dengan karyawan yang normal,'' kata Humas Indosiar Ghufron Sakaril, yang juga penyandang cacat fisik di tangan. Kemajuan Tehnologi Memang, yang dibutuhkan para penyandang cacat saat ini bukan belas kasihan. Tapi kesempatan. Apalagi, dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, sebenarnya penyandang cacat relatif terbantu untuk melakukan aktivitas selayaknya orang normal. Bahkan, dengan teknologi Web Adaptation Technology (WAT), memungkinkan tunanetra mengakses Internet layaknya orang normal. WAT adalah peranti lunak antarmuka yang menggunakan dynamic manipulation of web content, untuk mengubah halaman web menjadi tampilan yang lebih mudah dipahami oleh tunanetra. Selain itu pembacaan content teks agar dapat didengar oleh tunanetra (text-to-speech), serta navigasi sederhana tanpa membutuhkan mouse, untuk mempermudah penderita kerusakan saraf motorik mengendalikan browser. Menyiapkan Lingkungan Menurut Sigid Widodo, Direktur Rawinala, sebuah lembaga yang merawat dan melatih para dwi tuna atau penderita cacat ganda, "Orang yang paling bermasalah bukan penyandang cacat itu sendiri, tetapi biasanya adalah orang-orang yang ada di sekitar penyandang cacat." Lebih lanjut Sigid memaparkan 6 poin penting: 1.. Sangat sedikit kemungkinannya sebuah keluarga siap menerima kelahiran seorang bayi yang cacat. Pada umumnya sebuah keluarga akan mengalami problem psikologis yang berkepanjangan. 2.. Kita cenderung memandang seorang penyandang cacat dari sudut pandang dan pemikirannya sendiri, seperti melihat harus pakai mata, berjalan harus pakai kaki, berpikir harus pakai otak, mendengar harus pakai telinga. Sudut pandang ini pada akhirnya melahirkan "kasihan." Kita menganggap para penyandang cacat tidak bisa melakukan apa yang kebanyakan dilakukan banyak orang. Sikap kasihan yang kelihatannya melahirkan simpati itu pada akhirnya justru berkembang menjadi sikap yang diskriminatif. 3.. Pendekatan yang dilakukan terhadap penyandang cacat kecenderungannya adalah "charity" yang melibatkan emosi sesaat. Akibatnya penanganan penyandang cacat di negeri ini menggunakan pendekatan ini, bukan pendekatan transformatif. 4.. Banyak dari kita yang belum tahu bagaimana seharusnya bersikap terhadap penyandang cacat. Padahal yang harus diubah adalah cara berfikir kita terhadap penyandang cacat. 5.. Para penyandang cacat mempunyai kebutuhan yang sama sebagai manusia umumnya. Jika kecacatan tidak terlalu kompleks mungkin tidak ada masalah dalam berkomunikasi. Bagaimana halnya bagi mereka yang kecacatannya kompleks. Banyak orang berfikir bahwa dibutuhkan keahlian khusus, untuk menjalin relasi dengan orang-orang semacam ini. Sebenarnya dengan sentuhan dan belaian yang tulus, kita sudah menjadi sahabatnya. Kita tidak perlu menjadi ahli dulu untuk menjadi sahabat mereka. 6.. Paradigma kita tentang melihat, mendengar dan berjalan, sebaiknya harus diubah. Dengan kemajuan teknologi sekarang, orang buta bisa melihat. Sekarang penyandang tunanetra bisa menggunakan komputer dengan cepat dan sangat sempurna. Bisa membaca majalah apa saja dengan baik melalui "scanner". Yang penting buat mereka, adalah bagaimana memfungsikan indera lain sebagai pengganti yang tidak berfungsi. Untuk itu butuh pendidikan yang profesional dan berkelanjutan. Perubahan paradigma kita dalam memandang para penyandang cacat, berupakan kunci strategis. Kesempatan adalah hal yang paling dibutuhkan. Para penyancang cacat memang butuh motivasi agar dia bisa mandiri dan percaya diri. Jadi, lupakan pendekatan belas kasihan, karena mereka akan lebih bahagia jika dihargai sebagai mana orang-orang normal. [Non-text portions of this message have been removed]