http://www.kompas.co.id/ver1/Negeriku/0709/13/145449.htm

Padamu Negeri
Kamis, 13 September 2007 - 14:54 wib
Tan Sing Loen, Meneruskan Tradisi Sekolah Gratis


Jauh sebelum sekolah gratis ramai dibicarakan, sebuah sekolah di daerah
pecinan, Kota Semarang, Jawa Tengah, sudah menerapkannya. Tidak hanya untuk
etnis Tionghoa, sekolah gratis ini didedikasikan bagi semua golongan sejauh
mereka tidak mampu. Sebagai Ketua Yayasan Khong Kauw Hwee, Tan Sing Loen
sudah belasan tahun mengelola sekolah ini.

Perkenalan Tan Sing Loen (74) dengan Yayasan Khong Kauw Hwee sebenarnya
sudah berlangsung sejak sekolah ini dirintis, sekitar tahun 1950.

Ketika itu, dia masih sekadar membantu mencarikan dana lewat penyelenggaraan
bazar. Keterlibatannya dengan yayasan itu pun semula masih sekadar membantu.
Sesekali dia terlibat langsung dengan kegiatan sekolah sebab ketika itu Tan
Sing Loen masih sibuk berdagang alat-alat listrik di tokonya, juga di
kawasan pecinan Semarang.

Pada tahun 1984 dia diminta untuk menjadi sekretaris yayasan. Lalu, beberapa
tahun kemudian dia menggantikan ketua yayasan yang meninggal dunia.

Sekolah Kuncup Melati yang dikelola Tan Sing Loen ini sekilas tidak berbeda
dengan sekolah lain. Bangunan sekolah yang terletak di Gang Lombok-kawasan
pecinan Semarang-ini juga tak terlalu besar. Namun, di sekolah ini ratusan
anak tak mampu dari berbagai latar belakang menimba ilmu tanpa dipungut
bayaran sepeser pun. Dana operasional sekolah ini semata-mata didapat dari
para donatur.

Tak jarang pula, untuk membantu yayasan, para orangtua murid menyempatkan
diri turut membersihkan lingkungan sekolah. Ini karena di sekolah tersebut
tidak ada petugas kebersihan.

Pendidikan gratis yang hanya bermodal sumbangan dan kerelaan hati para
donatur ini terdiri atas taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
Sudah sejak tahun 1950 sekolah tersebut membantu ribuan anak tak mampu untuk
mengenyam pendidikan. Pada tahun ajaran baru tahun ini seluruh siswanya
berjumlah 243 anak.

"Sekolah ini merupakan wadah pengabdian. Para murid tidak pernah dipungut
biaya apa pun. Namun, justru banyak donatur yang terketuk hatinya untuk
membantu," ungkap Tan Sing Loen akhir Juli lalu.

Bantuan yang diterima sekolah ini tidak selamanya berupa uang. Ada pula
masyarakat yang memberikan alat tulis, seragam, membantu membayar rekening
listrik, rekening telepon, atau memberi makanan. Pengurus yayasan tak pernah
menolak bantuan dalam bentuk apa pun.

Saat Kompas sedang berbincang dengan laki-laki yang sering dipanggil Om Tan
ini, seorang perempuan datang ke ruangan kepala sekolah. Dia menawarkan diri
untuk mengisi kekosongan guru bahasa Mandarin bagi murid kelas enam, tanpa
meminta bayaran.

"Entah dari mana dia dapat informasi bahwa kami kekurangan guru. Tetapi,
memang bantuan semacam ini juga sering datang meski kami tidak pernah
meminta. Dermawan selalu saja ada," tuturnya.

Setiap bantuan berupa barang diberikan langsung kepada para murid. Om Tan
menerapkan manajemen terbuka. Oleh karena itulah, setiap donatur bisa
langsung melihat untuk apa sumbangan yang diberikan.

*Pengabdian dan sukarela*
Menurut Om Tan, pengelolaan yayasan ini berpedoman pada prinsip pengabdian
dan sukarela. Hal ini pula yang mengawali berdirinya sekolah tersebut pada
tahun 1949. Berbekal sisa uang iklan buku peringatan kelahiran Kong Hu Chu
senilai Rp 800 dan sumbangan seorang dermawan Rp 1.000, para perintis Khong
Kauw Hwee membuat bangku dan meja untuk kegiatan belajar mengajar.

Pada awal 1950 dibukalah kursus pemberantasan buta huruf yang diadakan di
lingkungan Kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok. Masalah sempat dihadapi
akhir tahun 1960-an ketika salah seorang pendiri meninggal dunia. Kondisi
finansial sempat memburuk dan donatur pun tidak banyak. Hampir saja sekolah
ini ditutup.

Akan tetapi, pada awal 1970-an, alumni sekolah ini mencoba membentuk panitia
penyelamatan dan mereka bahu-membahu membangkitkan kembali yayasan ini.
Perbaikan terus dilakukan.

Pada saat Om Tan menjadi ketua yayasan, mengandalkan sumbangan dari donatur,
terkumpul sejumlah uang untuk mendirikan bangunan sendiri untuk sekolah ini.
Dua tahun waktu yang dibutuhkan hingga bangunan ini berdiri tahun 1992.
Bangunan sekolah TK dan SD Kuncup Melati yang baru ini menempati lahan di
sebelah barat Kelenteng Thay Kak Sie, berlantai tiga, dan terdiri atas
sembilan ruangan: dua ruangan untuk TK, enam ruangan untuk SD, dan ruangan
untuk tata usaha
(TU).

Beragam pengalaman didapatkan Om Tan selama 13 tahun memimpin Khong Kauw
Hwee. Kesulitan sempat dialaminya saat sekolah yang mengandalkan donasi ini
murid-muridnya diminta membayar sejumlah uang oleh dinas pendidikan pada
periode 1990-an.

"Dinas pendidikan tidak percaya kalau sekolah ini benar-benar tidak memungut
bayaran dari murid. Saya juga diminta menghadap kepala dinas ketika itu,"
cerita Om Tan.

Kesulitan ini pun akhirnya berganti menjadi uluran tangan bagi Om Tan dan
yayasan. Sang kepala dinas yang semula tidak percaya, setelah mendapat
penjelasan, justru berbalik terharu dan memberikan bantuan buku-buku
pelajaran. Kenangan ini sangat membekas dalam hati Om Tan.

Dia juga tidak pernah membeda-bedakan siswa yang akan masuk di sekolah ini.
Siapa pun dan dari latar belakang apa pun, selama memiliki niat bersekolah
dan tak mampu, pasti diterima. Hal ini pula yang membuat siswa sekolah ini
tak hanya berasal dari etnis Tionghoa.

Om Tan merasakan sendiri bagaimana susahnya orang yang tak bisa mengenyam
pendidikan. Ia sendiri lulusan sekolah dasar.

*Kedekatan*
Bagaimana dengan kualitas pendidikan? Para siswa tetap diberi materi
pendidikan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Bahkan,
mereka juga diberi tambahan pelajaran bahasa Inggris dan Mandarin. Prestasi
siswanya juga tak buruk sehingga sekolah ini menduduki peringkat menengah
dari semua sekolah di Kota Semarang.

Meski tak pernah mendapat gaji, Om Tan tetap bahagia mengabdi di Khong Kauw
Hwee. Bayaran paling berharga baginya adalah tegur sapa dari para orangtua
murid dan kedekatan dengan mereka.

"Saya tidak gila hormat. Kalau saya yang sudah berusia 74 tahun ini bisa
membantu anak-anak tak mampu, itu membuat saya merasa berguna," ujarnya.

Belasan tahun bekerja tanpa bayaran hanya senyum tulus orangtua murid dan
pengabdian yang membuat Om Tan bertahan. Hal ini pula yang membuat pria
bersahaja ini selalu tersenyum setiap menjumpai seseorang.

Menurut Kepala SD Kuncup Melati Agustin Indrawati (47), sekalipun para
pengajar mendapatkan imbalan, tetapi jumlahnya sangat terbatas. "Mengajar di
sini lebih mengutamakan kepuasan batin," ungkap Agustin Indrawati yang sudah
27 tahun mengabdi.

Meski 10 murid terbaik sekolah ini bisa melanjutkan ke SMP Mataram di
Semarang dengan gratis, Om Tan mengaku, sebetulnya ia ingin sekolah Kuncup
Melati ini bisa berkembang.

"Biar anak-anak tak mampu juga bisa sekolah sampai SMP, bahkan SMA, tak cuma
lulus SD saja," ungkapnya.

*Biodata*
* Nama: Tan Sing Loen
* Tempat, tanggal lahir: Semarang, 10 Oktober 1933
* Pendidikan Terakhir: Sekolah Dasar
* Istri: Bee Bwat Nio (72)
* Anak:
  - Tan Hok Teh (47)
  - Tan Hok Chi (46)
  - Tan Bee Sian (44)
  - Tan Bee Ling (36)
  - Tan Bee Lian (34)
  - Tan Hok Kim (32)
* Jabatan: Ketua Yayasan Khong Kauw Hwee


*Sumber: *Kompas
*Penulis*: Antony Lee


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke