http://www.mediaindonesia.com/
Editorial > Mengalihkan Beban Negara *Mengalihkan Beban Negara* SALAH satu kelemahan bangsa ini adalah buruknya kemampuan merencanakan jangka panjang. Kita cenderung mabuk kesenangan sesaat, instan, berjangka pendek. Itulah yang terjadi dengan energi, khususnya minyak. Kita tahu bahwa cadangan minyak dan batu bara kita tidak banyak, hanya 0,5% hingga 1,3% dari total cadangan dunia. Akan tetapi, cadangan yang sedikit itu kita kuras habis-habisan dengan sebagian besar (sekitar 70%) kita ekspor. Padahal, batu bara merupakan salah satu alternatif energi di dalam negeri di tengah melonjaknya harga minyak mentah dunia. Jika nafsu memburu uang sesaat melalui ekspor batu bara itu terus-menerus terjadi, dalam kurun 20-30 tahun lagi batu bara kita akan habis. Akibatnya, kita harus membeli seluruhnya dari pasar internasional yang harganya terus naik. Lalu, kita masuk jebakan baru. Jalan instan juga terlihat ketika pemerintah hendak membatasi pemakaian listrik dengan cara memberikan disinsentif untuk industri dan rumah tangga mewah. Jalan pintas pun terjadi untuk mengurangi volume penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan cara mengalihkan pemakai premium ke pertamax. Pemerintah menyebut upaya itu sebagai bagian dari skenario yang disiapkan untuk mengamankan dampak pembengkakan subsidi akibat melonjaknya harga minyak hingga mendekati US$100 per barel. Subsidi listrik membengkak dari Rp32,4 triliun menjadi Rp43,47 triliun. Adapun subsidi BBM melonjak dari Rp55,6 triliun menjadi Rp87,7 triliun. Tentu, kondisi itu membuat anggaran negara berdarah-darah. Kantong APBN bisa bobol akibat tingginya defisit. Jelas bahwa hal itu menjadi beban negara di tengah sedikitnya pilihan jalan keluar. Namun, pertanyaannya, mengapa beban negara itu kemudian dialihkan mentah-mentah kepada masyarakat tanpa menyediakan dulu alternatif memadai? Padahal, pada galibnya negara adalah entitas yang bertanggung jawab untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Negara dengan aparaturnya harus bekerja keras menghasilkan jawaban kreatif dan solutif bagi rakyat. Yang terjadi dalam kasus lonjakan harga minyak kali ini adalah munculnya tabiat lama yang terus-menerus dipelihara pemerintah, yakni solusi instan dan miskinnya perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang. Contoh buruknya perencanaan pengalihan subsidi ini ialah kasus konversi energi dari minyak tanah ke gas. Pemerintah menargetkan tahun ini ada 6 juta kepala keluarga yang bermigrasi dari minyak tanah ke gas lengkap dengan subsidi tabungnya. Faktanya, hingga akhir tahun target itu meleset jauh. Hanya 3,5 juta kepala keluarga yang tergapai konversi atau hanya 58% dari target. Betul bahwa memanjakan rakyat dengan subsidi sama dengan memelihara kanker ganas dalam tubuh sendiri. Apalagi subsidi itu diobral kepada siapa saja, termasuk kalangan berpenghasilan menengah-atas. Oleh karena itu, membatasi subsidi hanya untuk yang berhak menerima merupakan langkah benar. Itulah, misalnya, yang terjadi dengan pertamax dan pertamax plus dengan membiarkan harganya mengikuti harga internasional. Akan tetapi, sekadar mengurangi subsidi tanpa formula yang jelas dan tanpa perencanaan yang matang tak ubahnya langkah memindahkan beban semata. Yakni dari beban negara menjadi beban masyarakat, dari kesulitan negara menjadi kerumitan masyarakat. Itulah yang terjadi dengan konversi minyak tanah ke gas dan itulah kiranya juga yang akan terjadi dengan pengalihan pemakaian premium ke pertamax bila tanpa disertai dengan tersedianya transportasi publik yang murah dan hemat energi. Sudah saatnya pemerintah memeras otak untuk menemukan solusi yang bernas dan kreatif untuk menyelamatkan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah mengakhiri kebiasaan 'buang badan' atas beban yang ada. Jangan sampai seperti syair sebuah lagu, negara yang berlabuh rakyat yang tenggelam. [Non-text portions of this message have been removed]