> Coba pak dipisahkan antara bagus untuk orang-perorang dengan bagus untuk kita > semua sebagai anak bangsa.
Semestinya keuntungan itu tetap saja berguna bagi semua orang Indonesia karena keuntungan itu nanti dipajakin. Tapi tidak apa lah kalo untuk diskusi kali ini, kalau kita mau anggap keuntungan seperti itu nihil. > Untuk pengusaha eksportir memang menjadi bagus karena tadinya dari jumlah > barang yang sama cuma dapat 9 M rupiah, sekarang dengan kurs baru dapat 12 M > rupiah. Di sini kita setuju. > Tapi perlu diingat bahwa selisih 3 M yang diperoleh pengusaha eksportir bukan > diperoleh dari luar karena yang diperoleh dari luar tetap saja 1 juta US $. > Dengan kata lain 3 M itu adalah perlemahan daya beli orang-orang yang > terlibat dalam proses eksport tersebut karena dengan meningkatnya kurs maka > harga barang eksport naik sementara gaji tetapnya jumlahnya nggak berubah. > Tentu ini tidak akan tahan lama karena tentu mereka juga menuntut penyesuaian > yang akhirnya akan berada pada daya beli seperti semula. Ada beberapa hal. Satu, memang keunggulan ekspor (relatif terhadap keadaan sebelumnya, yaitu keadaan A) yg diakibatkan turunnya nilai rupiah (relatif terhadap keadaan A), bisa didapat dari lambatnya kenaikan nominal harga (dalam rupiah) faktor2 produksi (seperti gaji), dengan mengasumsikan pasar faktor produksi yang bebas. Kedua, penarikan kesimpulannya bisa lebih lengkap kalau hubungan sebab akibatnya diperjelas, yaitu penurunan nilai rupiah mengakibatkan dua hal, yaitu memacu ekspor yg akhirnya membuat pengangguran berkurang _dan_ menurunkan daya beli rupiah terhadap barang impor. Konsekuensi dari kedua ini adalah, memang standar hidup jadi turun karena barang impor naik relatif terhadap rupiah, tapi di sisi lain ekspor akan terpacu yang mengakibatkan pelan2 nilai rupiah naik, yang punya akibat melawan turunnya daya beli rupiah terhadap barang impor. > Logika yang pak Amitz sampaikan "Dengan begitu penjual (yaitu Indonesia) > cukup men-quote harga 750 ribu US$ untuk mendapatkan nilai 9 milyar rupiah > yang sama, yang artinya Indonesia bisa menjual dengan harga murah (relatif > terhadap US$) untuk mendapatkan untung yang sama!" Juga nggak kena. Karena > yang dibutuhkan bangsa ini untuk bisa import adalah mata uang asing yang > tidak diperlukan atau dissimpen di luar negeri oleh para penguusaha. > Pemerintah memerlukan mata uang asing itu ditukar dengan rupiah untuk > membiayai produksi dalam negeri dan mepersilahkan untuk digunakan importir > untuk mengimport barang yang diperlukan. Siapapun yang pegang US$ itu sebenarnya tidak masalah, mau BI atau pengusaha yang menyimpan US$ di luar negeri sama saja, asal keputusan jual beli mata uang mereka sensitif terhadap harga. Kalau sampai pemegang US$ yang rela membeli rupiah tidak sensitif terhadap harga, berarti ini cenderung masalah kepercayaan terhadap Indonesia. Jadi yang harus ditingkatkan adalah kepercayaan terhadap Indonesia, baik kepercayaan ekonomi maupun politik. > Dari contoh yang anda berikan maka kecendrungan pembeli di luar negara untuk > menawar misalkan 850 ribu saja kan sudah tambah keuntungan 100 ribu wong > harga pokoknya turun jadi 750 ribu, ini juga besar sehingga 'pendapatan' > pemerintah dari kebutuhan pengusaha akan rupiah juga berkurang dari 1 juta > menjadi 850 ribu US $. Tawar menawar itu negosiasi antara 2 sisi. Masa kalah bulet gitu sih setiap kali cost turun? Tambahan lagi, seperti yang sudah saya sebutkan, banyaknya permintaan terhadap rupiah akibat ekspor akhirnya akan menaikkan nilai rupiah juga. Masa setelah naik, tawar menawarnya kalau bulet lagi sih?