..Hal ini terbukti, dengan melihat 2 alasan tertinggi kenapa banyak anak 
Katolik dan Protestan bersekolah di Muhammadiyah, yakni karena bagus dan murah. 
"Musuh kita sebagai musuh bersama adalah kemiskinan. Siapapun yang concern pada 
hal ini akan diterima," ucap Bambang……………


Berita yang menyejukkan ditengah panasnya berita politik. Pendidikan adalah 
modal paling utama untuk kemajuan bangsa di negeri ini. Dikutip dari kompas dot 
com. 


Selasa, 11 Agustus 2009 | 02:44 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Aksi teror tidak hanya mengguncang tata keamanan 
nasional, tapi juga wajah Islam ikut terbawa. Pelaku teror yang mengatasnamakan 
Islam cukup mengundang reaksi dari banyak pihak. Di tengah situasi demikian, 
saat proses hukum pascapeledakan bom Mega Kuningan masih berlangsung, duet 
intelektual Muhammadiyah menerbitkan buku Kristen Muhammadiyah Konvergensi 
Muslim dan Kristen dalam Pendidikan. "Kelahirannya sangat tepat, soalnya 
ekstremisme dan terorisme sedang berkembang. Itu merupakan bentuk intolerisme," 
komentar Suyanto, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen 
Pendidikan Nasional, dalam peluncuran buku terbitan Al-Wasat Publishing House 
di Gedung Muhammadiyah Jakarta, Senin (10/8).
Buku karangan Abdul Mu'ti dan Fajar Riza Ul Haq ini memang mengisahkan 
toleransi antara minoritas Islam dengan mayoritas Kristen baik Katolik maupun 
Protestan dalam wadah pendidikan Muhammadiyah. Buku yang merupakan bagian dari 
desertasi Mu'ti ini memaparkan bagaimana SMA Muhammadiyah di Ende diterima baik 
oleh masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Bahkan 2/3 muridnya beragama 
Katolik. Bagi mereka ini disediakan guru agama Katolik secara tersendiri. 
Bagitu pula dengan SMP Muhammadiyah di Serui Teluk Cenderawasih Papua dan SMA 
Muhammadiyah di Putussibau Kalimantan Barat.
Selain di Putussibau perguruan yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan itu, 
menyediakan guru Kristen atau Katolik dan tidak mewajibkan memakai jilbab bagi 
yang non-Muslim. Dengan demikian, menurut Suyanto, melalui buku ini orang bisa 
mengembangkan pendidikan partisipatif yang menjamin toleransi. "Pada prinsipnya 
orang akan cepat belajar kalau ada contoh-contohnya. Ini contoh baik untuk 
mengajari anak-anak dalam toleransi keberagaman," tuturnya.
Adapun menurut Abdul Malik Fadjar, mantan Menteri Pendidikan Nasional pada 
Kabinet Gotong Royong, buku setebal 269 halaman ini menarik karena mampu 
menggugah kita bersama, bahwa bumi nusantara ini memerlukan upaya konvergensi 
untuk mencari titik temu kemajemukan dalam menyongsong Indonesia baru. "Oleh 
karena itu, saya yakin Indonesia mampu menjadi juru bicara perdamaian dunia," 
lontarnya.


Kirim email ke