fyi

pemikiran ini memang baik. mungkin banyak juga yang berpikir begini, tapi
ndak banyak yang bisa mengungkapkan dalam proposal kepada mneteri/presiden.
diluar soal itu, IMHO sih banyak yang malas mengungkapkan masukan itu kepada
pihak yang memerlukan atau berwenang. entah karena su'uzhon duluan atau bisa
jadi jatuh mental duluan atau mungkin malah ngga mau repot :((

bagi saya, yang mimpin BUMN ngga harus orang dalam kok. maksud saya, pucuk
pimpinan loh.. jadi presiden aja ngga harus punya pengalaman presiden dulu
kan ? apalagi yang ini udah janji ngga akan bawa orang2 luar buat menggeser
pejabat yang udah ada. (kalo mundur sendiri ya lain cerita, kan?)

hmm.. masih ada sih pendapat saya soal itu.. tapi nantilah..ngga terlalu
penting sih, wong saya cuma orang awam yang curhat colongan doang kok
yang ini dulu aja

sok atuh :))

*BR, ari.ams
sta91 a97*
yang bersyukur ada di tempat yang PLN dan PDAM (ATB) -nya swasta dan bagus.
sama DKI Jaya aja masih bagusan, apalagi kalo dibanding PLN dan PDAM luar
jawa pada umumnya..


---------- Pesan terusan ----------
Dari: Papa Fariz
Tanggal: 24 Desember 2009 14:26
Subjek: Listrik mati di lumbung (by Dahlan Iskan)

 Assalaamu 'alaikum,

Ini salah satu pemikiran Pak Dahlan Iskan tentang kelistrikan kita. 4 Jempol
buat Pak SBY, yang memilih Pak Dahlan Iskan dan "nyuekin" demo yang gak
jelas dari para petinggi SP. Ini Republik Indonesia, dan bukan Republik
Jalanan yang kebijakannya bisa diatur-atur via demo murahan bahkan kadang
bayaran.

http://dahlaniskan.wordpress.com/2009/11/19/listrik-mati-di-lumbung/

Wassalaam,

Papa Fariz & Ayya aka Mas Boedoet
Web Blog: http://papafariz.blogspot.com
Face Book: boedoe...@gmail.com <boedoetsg%40gmail.com>

Listrik Mati di Lumbung
In Catatan Dahlan Iskan on 19 November 2009 at 7:00 am
Kamis, 19 November 2009
Listrik Mati di Lumbung

Ayam mati di lumbung bukan lagi kiasan untuk menggambarkan kelistrikan di
Indonesia. Di Pulau Kalimantan yang kaya-raya akan batubara, hampir seluruh
kotanya krisis listrik dengan sangat gawat. Bukan sejak sebulan yang lalu,
tapi sudah 10 tahun atau 20 tahun lamanya. Kota seperti (deretan nama-nama
kota ini anggap saja pelajaran baru ilmu bumi): Pontianak, Singkawang,
Sanggau, Ketapang, Pangkalanbun, Sampit, Palangkaraya, Samarida, Balikpapan,
Penajam, Tanahgrogot, Bontang, Sengata, Tanjungredep, Tanjungselor, Tarakan,
sampai ke kota penting di dekat negara tetangga seperti Nunukan dan
Tanatidung bukan main menderitanya.

Tidak terhitung lagi orang yang kehilangan rumah karena lampu mati. Mereka
menyalakan lilin, ketiduran, lantas rumah yang umumnya terbuat dari kayu
terbakar. Kisah pilu seperti itu menjadi berita koran lokal yang tidak
habis-habisnya. Kebetulan, saya memiliki koran di semua kota yang disebut
terdahulu itu dan yang akan disebut kemudian.

Lalu, generasi masa depan macam apa yang akan tercipta dengan kondisi
listrik seperti itu? Belum lagi penderitaan para investor. Mencari investor
yang mau masuk ke daerah-darah itu bukan main sulitnya. Investor rasional
pasti langsung mengabaikan daerah-daerah itu. Tapi, begitu ada investor yang
?emosional? (biasanya ada hubungan darah dengan salah satu daerah tersebut
seperti saya), kekecewaanlah yang diberikan oleh PLN. Banyak investor
hotel-hotel bagus menderita karena listriknya mati-mati terus. Banyak
investor perumahan yang rumahnya sudah siap tapi listriknya tidak ada.

Itu bukan cerita satu bulan yang lalu. Cerita duka tersebut sudah terjadi
sejak lebih dari 10 tahun yang lalu. Atau sejak 20 tahun silam. Sampai hari
ini. Tetangga dekat Kaltim di Sulawesi seperti Mamuju, Palu, Poso, Luwuk,
Gorontalo, Tolitoli, Kendari, dan bahkan Makasar pun kurang lebih juga sama.
Padahal, membawa batubara yang murah dari Kaltim ke Palu hanya perlu
menyeberang satu malam.

Saya tidak perlu lagi menyebut kota seperti Tanjungpinang di Riau, Pangkal
Pinang di Bangka, Tanjungpandan di Belitung. Belum juga menyebut Ambon,
Lombok, Kupang, Flores, Ternate, Sorong, Jayapura, Merauke?. Pokoknya,
sebutlah nama kota di mana saja di luar Jawa. Lebih mudah menyebut yang
krisis listrik daripada yang tidak.

Kesabaran para gubernur seperti gubernur Kaltim, gubernur Kalteng, dan
gubernur Kalbar sudah habis karena terus-menerus didemo rakyatnya. Juga
gubernur di wilayah lain tadi. Tapi, para gubernur itu hanya bisa meneruskan
suara pendemo itu ke PLN. Sebab, hanya PLN yang diberi hak untuk memiliki
dan mengelola listrik di seluruh Indonesia nan luas ini. Tapi, suara pendemo
itu datang dari tempat yang terlalu jauh dilihat dari kantor pusat PLN nun
di Jakarta sana.

Begitu kaya Kalimantan akan batubara. Tapi, mayoritas pembangkit listrik di
kawasan tadi menggunakan disel. Maka, PLTD (pembangkit listrik tenaga
diesel) menjadi raja di sana. Raja yang haus uang, tapi lembek tenaga. Haus
uang karena menghabiskan uang negara. Lembek karena lemah sekali tenaga
listrik yang dihasilkannya. Padahal, wilayah itu begitu kaya akan batubara.
Kaya-raya. Superkaya. Tapi, kekayaan itu tidak membawa berkah ke diri
sendiri. Batubara itu mengalir ke India, Thailand, Tiongkok, Jepang, bahkan
sampai ke Eropa dan Amerika. Ibarat lagu Gesang, "batubara Kaltim itu
mengalir sampai jaaaaauuuuuh". Sampai membuat wilayah Kalimantan dan
Sulawesi sendiri terlupakan.

Kalau saja ada pikiran sehat untuk mengubah wilayah itu, betapa gembiranya
rakyat di seluruh kawasan tersebut. Mengapa kita yang begitu kaya batubara
tidak mampu memanfaatkannya untuk membuat rakyatnya sendiri tersenyum.
Memang pernah dicoba untuk mengatasinya. PLN mengadakan tender pembangunan
PLTU di beberapa wilayah yang disebut tadi. PLN juga sudah menyatakan
berpuluh-puluh investor sebagai pemenang tendernya. Kalau saja semua
berjalan baik, hari ini wilayah-wilayah tersebut sudah mulai sedikit terang.
Tapi, sampai hari ini, sudah tiga tahun kemudian, tidak satu pun para
pemenang tender itu menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan, sebagian besar belum
memulainya sama sekali. Sebagian lagi menghentikannya.

Ada persoalan kecerdasan mendasar dan kejujuran yang kurang ditegakkan di
sini. Sistem tender itu harus diubah total. Direformasi habis-habisan.
Padahal, kalau PLTD-PLTD itu diubah semua menjadi PLTU kecil dan menengah,
bukan saja rakyat di wilayah itu bisa tersenyum, menteri keuangan yang
cantik itu pun akan ikut tersenyum. Negara bisa berhemat paling sedikit Rp
20 triliun setahun. Baca: Rp 20.000.000.000.000/setahun. Dan lagi, kalau
wilayah-wilayah itu punya listrik, investor berdatangan ke sana. Penghasilan
pajak juga naik. Tenaga kerja akan mengalir ke sana: tidak perlu lagi ada
dana transmigrasi!

Pandai benar orang yang menciptakan peribahasa ?ayam mati di lumbung? itu.
Dia berhak berbangga karena ada contoh yang pas untuk membuktikannya:
listrik kita!

[Non-text portions of this message have been removed]
-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke