tulisan bung rhenald_kasali di kompas cetak,
tentang ekonomi RI tanpa SMI

*BR, ari.ams*

---------- Pesan terusan ----------
Dari: Koran Digital
Tanggal: 6 Mei 2010 09:15
Subjek: [Koran-Digital] Rhenald Kasali: Ekonomi RI Tanpa Sri Mulyani

artikel asli: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/06/0432580/
ekonomi.ri.tanpa.sri.mulyani

 *Ekonomi RI Tanpa Sri Mulyani*

Kamis, 6 Mei 2010 | 04:32 WIB

*Rhenald Kasali*

Pada tahun 1961, David McClelland menulis buku terkenal yang berjudul
Achieving Society. Di buku itu McClelland mengingatkan, suatu bangsa akan
jatuh bila mengandalkan pemimpin-pemimpinnya (baca: menteri atau CEO)
berdasarkan motif-motif afiliasi (baca: persekongkolan, kekerabatan,
afiliasi politik) atau motif kekuasaan (bagi-bagi kuasa). Sebagai gantinya,
bangsa-bangsa harus mulai berorientasi pada achievement (hasil/kinerja).

Riset yang dibukukan itu diterima luas di dunia dan diterapkan di
negara-negara maju, mulai dari Amerika Serikat, Jerman, Inggris, sampai
Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sementara di Indonesia, orang- orang yang
mengejar kinerja kehilangan rumah dan dibiarkan pergi. Itukah yang terjadi
dengan Sri Mulyani? Bagaimana masa depan ekonomi Indonesia tanpa mereka?

*Korban perubahan*

Tak dapat disangkal bahwa negeri ini masih perlu banyak tokoh perubahan.
Namun, perubahan selalu datang bersama sahabat-sahabatnya, yaitu resistensi,
penyangkalan, dan kemarahan. Hasil yang dicapai para achiever selalu
ditertawakan dan mereka diadili, dipersalahkan secara hukum, seperti yang
dialami Nicolaus Copernicus di abad ke-16, Giordano Bruno (1600), dan
Galilei Galileo (1633) saat memperjuangkan kebenaran.

Sebagian besar change maker diadili oleh bangsanya, dipenjarakan, dirajam,
dan dibunuh, seperti Martin Luther King, Abraham Lincoln, Gandhi, dan Munir.
Sementara itu di dunia ekonomi, di perusahaan-perusahaan, para pembuat
perubahan dicari untuk diberhentikan, seperti yang dialami Rini Soewandi
yang dianggap berhasil mengawal Astra Internasional dari krisis (1998). Ia
diberhentikan secara tragis sebagai CEO oleh BPPN, padahal media masa
memberikan penghargaan sebagai CEO terbaik (Kompas, 9/2/2000).

Pada tahun 2009, masalah serupa dihadapi Ari Soemarno setelah tiga tahun
memimpin perubahan yang dianggap berhasil di Pertamina. Dan, tahun ini, kita
menyaksikan umpatan-umpatan tidak sedap, bahkan tuntutan hukum terhadap Sri
Mulyani. Padahal, di luar negeri ia dianggap sebagai menteri terbaik yang
dimiliki dunia dan dalam pertimbangan saat memilihnya sebagai direktur
pelaksana, Bank Dunia mengakui keberhasilannya dalam menangani krisis
ekonomi, menerapkan reformasi, dan memperoleh respek dari kolega-koleganya
dari berbagai penjuru dunia (www.worldbank.org).

Inilah saatnya bagi para politisi Indonesia untuk belajar menerima change
maker dan achiever untuk meneruskan karya-karyanya dengan berhenti mengumpat
dan mengadili apalagi mengedepankan motif-motif afiliasi dan kekuasaan.
Kalau kita tidak bisa melakukannya, berhentilah menertawakan mereka.
Janganlah kita menjadi sok kaya, dengan membuang baju bagus hanya karena
satu benangnya terlepas lalu beranggapan seluruh jalinannya terburai.

Sebagai akademisi, sudah lama saya menyaksikan kejanggalan-kejanggalan yang
terjadi di negeri ini. Orang berdebat dengan standar yang berbeda-beda dan
begitu mudah marah bila kehendaknya tidak dipenuhi. Kita lebih sering
menghujat dengan ukuran-ukuran yang tidak masuk akal.

Sudah sering pula disaksikan para ahli kita lebih dihargai di luar daripada
di sini. Kita pun beranggapan politisi bisa lebih dipercaya daripada
lembaga-lembaga internasional yang menghendaki kinerja. Persoalan yang
dihadapi Sri Mulyani Indrawati adalah sama persis dengan anak- anak
Indonesia yang gagal bersekolah di sini, tetapi berhasil di luar negeri.
Saya sendiri mengalaminya, betapa sulit mendapat nilai bagus di sini,
sementara di luar negeri kita sangat dihargai. Kita merasa bodoh di negeri
sendiri bukan karena tidak mampu, melainkan karena betapa arogannya para
pemimpin.

*Ekonomi ke depan*

Tentu saja di Indonesia ada banyak ekonom pintar yang siap menggantikan Sri
Mulyani. Namun, untuk memimpin ekonomi Indonesia, diperlukan lebih dari
sekadar orang pintar. Jujur, bersih, dipercaya dunia internasional, berpikir
jauh ke depan, aktif bergerak dan responsif, berani melakukan perubahan dan
diterima di dalam kementerian adalah syarat yang tidak mudah dipenuhi.

Indonesia butuh lebih dari sekadar pengumbar syahwat kebencian atau orang
yang sekadar pintar bicara. Selama lebih dari sepuluh tahun proses reformasi
berlangsung, ekonomi Indonesia telah menjadi pertaruhan berbagai
kepentingan. Ekonomi yang seharusnya dibangun dengan fondasi makro-mikro
yang seimbang selalu menjadi rebutan di kalangan politisi. Demikian pula
kita butuh lebih dari sekadar birokrat yang hanya menjaga sistem. Kita perlu
pengambil risiko yang berani menghadapi tantangan perubahan.

Ada kesan saat ini ekonom tengah diperlakukan sebagai orang yang tidak tahu
apa-apa. Setelah dihujat sebagai neoliberal, ekonom tengah diuji untuk duduk
manis di tepi ring dan membiarkan ekonomi diurus oleh para politisi. Saya
tidak dapat membayangkan apa jadinya masa depan ekonomi Indonesia bila ia
harus diurus oleh orang-orang yang taat pada maunya para politisi atau
politisi yang berpura-pura menjadi ekonom.

Kita harus mulai menghentikan kriminalisasi terhadap para change maker agar
orang-orang pintar yang punya keberanian mengawal perubahan dan memajukan
perekonomian Indonesia dapat bekerja dengan tenang. Saya yakin Sri Mulyani
bukan ”kabur” dari masalah. Seperti Sri Mulyani, banyak orang seperti itu
yang saat ini berpikir untuk apa mengurus negara. Bukan karena mereka takut,
melainkan semua berpikir, ”Untuk apa membuang-buang waktu percuma.” Ini
hanya sebuah zero-sum game.

Tanpa Sri Mulyani, ekonomi Indonesia tentu akan tetap berjalan. Namun,
sebuah kelumpuhan tengah terjadi karena orang- orang pintar memilih cari
aman daripada memperjuangkan perubahan. Ekonomi Indonesia berjalan bak
perahu kayu tanpa mesin yang mengarungi samudra luas. Tatkala kapal-kapal
asing yang dilengkapi alat-alat navigasi modern menari di atas gelombang
samudra dengan kekuatan pengetahuan, kita hanya mampu berputar di antara
pusaran gelombang tanpa kepastian.

Sri, selamat bergabung di Bank Dunia. Tetaplah bantu negeri ini, seberapa
pun perihnya cobaan yang kau alami; karena itulah hukumnya perubahan. Memang
perubahan belum tentu menghasilkan pembaruan, tetapi tanpa perubahan tak
akan pernah ada pembaruan.

*Rhenald Kasali Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia
*

*
*
-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=========================
Millis AKI mendukung kampanye "Stop Smoking"
=========================
Alamat penting terkait millis AKI
Blog resmi AKI: www.ahlikeuangan-indonesia.com 
Facebook AKI: http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
Arsip Milis AKI online: 
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
=========================
Perhatian : 
Untuk kenyamanan bersama, agar diperhatikan hal-hal berikut: 
- Dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting sebelumnya
- Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota 
yang melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas
- Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan kirim ke 
ahlikeuangan-indonesia-ow...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/AhliKeuangan-Indonesia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    ahlikeuangan-indonesia-dig...@yahoogroups.com 
    ahlikeuangan-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ahlikeuangan-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke