Kawan2 milis, Saya akhir2 ini resah dengan struktur pengambilan keputusan (dengan kata lain badan eksekutif) di Indonesia. Jelas Menteri2 kita itu tidak mempunyai mandat cukup untuk memutus. Dalam keadaan seperti ini siapapun yang jadi menteri saya kuatir sult bekerja.
Dalam tulisan dibawah tercantum keluhan SMI yang merasa ditinggal sendirian. Hal yang sama saya duga juga diderita oleh para penanggung jawab reformasi birokrasi. Sebab itu saya kuatir pembentukan komisi khusus reformasi birokrasi justru memperlambat proses reformasi. Kalau Kabinet benar2 satu hati mendukung program ini. Saya rasa tidak perlu outsourcing program ini kepada Wapres. Yang perlu dipikirkan apakah kabinet kita presidensial atau parlamenter. Kalau badan eksekutif kita tidak punya mandat untuk mengambil keputusan, badan apa yang berhak? Salam damai disertai dengan belasungkawa untuk Bung Oka sekeluarga Hok An http://kabarnet.wordpress.com/2010/05/19/sri-mulyani-mulai-buka-bukaan/ Sri Mulyani Mulai Bicara Blak-blakan <http://kabarnet.wordpress.com/2010/05/19/sri-mulyani-mulai-buka-bukaan/> Ditulis oleh k...@barnet <http://kabarnet.wordpress.com> di/pada 19 Mei 2010 *Menjelang keberangkatannya ke Washington DC, AS, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka-bukaan. Sri Mulyani curhat seputar bagaimana sulitnya menjadi menteri keuangan di Indonesia. *Dan menurutnya, tidak gampang bagi seorang Presiden untuk mencari figur seorang menteri yang tugasnya mengurus ribuan trilliun dan sarat akan godaan korupsi. “Dalam proses yang saya lalui, dari hari pertama saya menjadi seorang menteri saya begitu khawatir dan sekaligus mempunyai perasaan exciting dimana saya mempunyai kekuasaan sendiri yang bisa cenderung ke arah korupsi,” ungkapnya. *“Tetapi saya tidak ingin jatuh kedalam korupsi. Dan saya sadar Kewenangan Menteri Keuangan itu cukup besar, orang pun sudah berpikir ‘ngeres’ tentang itu dimana harus mengurus omset negara mencapai Rp 1000 triliun dengan total aset Rp 3000 triliun,”* imbuh Sri Mulyani. Ia menyampaikan hal tersebut dalam kuliah umum yang bertemakan ‘Kebijakan Publik dan Etika Publik’ yang digelar oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Ballroom Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta, Selasa Malam (18/05/2010). Menurutnya, sangat sulit untuk mencari orang yang bisa tidak mudah tergiur untuk mengelola uang yang begitu banyak. “Di situlah kita perlu membuat garis kita. Dimana tidak berusaha untuk membunuh keinginan yang itu (korupsi), tetapi bisa mengendalikannya. Namanya itu teknokratik,” jelasnya. Sri Mulyani menambahkan, sebagai seorang menteri dirinya juga mengalami penderitaan bahkan ketika menghadapi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). *“Saya termasuk yang mengalami penderitaan sebagai seorang menteri. Waktu saya jadi menteri saya sering duduk-duduk lama di depan DPR, kadang-kadang mereka (anggota DPR) seperti bersungguh-sungguh, mengkritik keras,”* katanya. *“Waktu saya ditanya apapun, mereka juga bertanya sangat keras. Namun saya legowo dengan menganggap ini sebuah ongkos demokrasi yang harus dibayar,” *tuturnya lagi. Tingkah dan polah anggota DPR tersebut membuat Sri Mulyani heran dan menimbulkan gejolak batin. *“Kalau orang bisa secara terus-terusan berpura-pura dan media memuat dan tak ada yang menyatakan itu salah, lalu apa lagi yang menjadi guidance kita?” *tanya Sri Mulyani. Lebih lanjut Sri Mulyani menegaskan bahwa memang itu semua yang harus menjadi ongkos yang paling mahal menjadi seorang pejabat publik. Sri Mulyani pun angkat bicara soal ketidakadilan yang diperolehnya ketika mengambil sebuah kebijakan untuk menyelamatkan Bank Century. Menurutnya, publik pun kini berpandangan bailout Century seolah-olah menjadi keputusan pribadi dirinya sampai dihakimi secara tidak pantas. “Itu (penyelamatan Century) diaudit bersama, dirapatkan bersama bagaimana mungkin selama 18 bulan kemudian itu seolah-olah menjadi keputusan pribadi Sri Mulyani?,” ujarnya dalam kuliah umumnya bertema ‘Kebijakan publik dan etika publik’. Ia menganggap dalam masalah tersebut sudah tidak ada lagi akal sehat. Karena akan menimbulkan pertanyaan apakah bisa sebagai pejabat publik yang telah mengikuti rambu-rambu tersebut masih bisa dianggap salah oleh sebuah sistem politik. *“Penghakiman sudah terjadi. Harusnya kita bertanya apakah proses politik yang ditunggangi membolehkan seseorang diadili tanpa pengadilan? Divonis tanpa pengadilan?,”* tutur Sri Mulyani. Namun, lanjut Sri Mulyani, itulah sebuah episode yang harus dipahami sebagai konsekuensi pejabat publik. “Kalau dulu orde baru itu semua dianggap identik dengan stigma komunis. Namun di era reformasi kini Sri Mulyani identik dengan Century,” tukasnya. Seperti diketahui, DPR sebelumnya telah mengeluarkan rekomendasi yang menyatakan Sri Mulyani bersalah dalam pemberian bailout untuk Bank Century dalam rangka mencegah krisis. Terkait kasus Bank Century itu pula, Sri Mulyani juga telah diperiksa KPK sebanyak 2 kali, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menerima pinangan Bank Dunia untuk menjadi managing director per 1 Juni. _________ *Tak Ada Lagi Etika Politik* Di hadapan para tokoh nasional, Selasa (18/5) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani bicara blak-blakan seputar konstelasi politik di balik alasan pengunduran dirinya. *Ia pun membeberkan adanya pejabat tinggi negara yang terlibat konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya menguntungkan mereka atau kerabatnya.* “Banyak yang menyesalkan saya mundur sebagai kekalahan. Tapi, di forum ini, saya ingin menegaskan bahwa saya menang, karena tidak berhasil didikte oleh siapa pun yang tidak menginginkan saya di sini,” ungkap Sri Mulyani dalam kuliah umum bertajuk ‘Kebijakan Publik dan Etika Publik’ yang digelar Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (18/5) malam. Puluhan tokoh nasional hadir di sana, antara lain Rahman Tolleng, Wimar Witoelar, Yenny Wahid, Erry Riyana Hardjapamekas, Marsillam Simanjuntak, Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohamad, Teten Masduki, dan Pjs Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. Presiden SBY sudah menyetujui pengunduran diri Sri, yang akan menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni mendatang dan berkantor di Washington, DC, Amerika Serikat. Soal pengunduran dirinya, Sri mengakui keputusan itu dibuat tak lepas dari kondisi politik di dalam negeri. *“Ini sebuah kalkulasi politik bahwa sumbangan saya sebagai pejabat publik tak lagi dikehendaki dalam sistem politik di mana perkawinan keputusan itu begitu sangat nyata,”* ujarnya. “Orang bilang itu kartel, saya menyebutnya kawin saja,” ungkap Sri dalam pernyataannya yang seolah menjawab lontaran yang disampaikan oleh Rocky Gerung dari P2D dalam sambutannya saat membuka acara. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut, politik Indonesia kini tidak lagi diwarnai politik akal sehat, melainkan politik kartel. Yang dimaksudkannya tak lain adalah Presiden SBY dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang kini bersepakat membentuk Sekretariat Gabungan Partai Koalisi. Dalam sistem politik seperti ini, menurut Sri, tidak lagi ada etika berpolitik. *“Orang seperti saya tidak mungkin bisa lagi eksis. Saya memang bukan politikus dan bukan dari partai politik, tapi tidak berarti saya tak mengerti politik,” *ungkap Sri Mulyani. Itu sebabnya, Sri Mulyani pun merasa telah diperlakukan tidak adil dalam kasus penyelamatan Bank Century yang dipersoalkan anggota DPR. *“Apakah proses politik yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan divonis terhadap dirinya tanpa melalui pengadilan? Sedemikian pandainya proses politik itu sehingga dibebankan pada satu orang,”* ujar Sri mempertanyakan. Hal lain yang juga disentil oleh Sri adalah soal saratnya konflik kepentingan sejumlah “pejabat pengusaha” dalam proses pengambilan keputusan di kabinet. Ia mengaku, sepanjang kariernya sebagai menteri selama lima tahun, ada sejumlah kasus yang dengan jelas menggambarkan perilaku itu. Menurut Sri, meski para pejabat itu mengaku kepada publik telah meninggalkan segala urusan soal usahanya, keluarganya masih terlibat dalam usaha. Ada kebijakan, kata Sri, yang dibuat, dan dari keputusan itu ternyata yang mendapat keuntungan adalah salah satu perusahaan milik si “Pejabat Pengusaha”. *“Bagaimana mungkin rapat untuk kebijakan publik dilakukan dengan orang yang akan menikmati kebijakan itu? Selalu dibilang, yang penting pemerintahan efektif. Ternyata yang impor perusahaan keluarga dia,”* beber Sri pula. *Tak Hargai Sistem Meritokrasi* Sri Mulyani mengutarakan alasannya mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan. Ia merasa dipojokkan sebagai pembantu pemerintah karena dirinya tidak lagi dikehendaki oleh lingkungan politik. Menurut pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhan Muhtadi, pernyataan Sri Mulyani ini bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap sistem politik yang tidak menghargai sistem meritokrasi. “Ini sindiran. Dia menyindir sistem politik kita yang kurang menghargai sistem meritokrasi yang menghargai sesuai kemampuan,”* *kata Burhan, Rabu (19/5/2010). Pernyataan yang disampaikan Sri Mulyani tersebut secara langsung juga mengungkapkan kekecewaan dirinya terhadap sistem meritokrasi yang seharusnya diterapkan dalam pemerintahan, tetapi malah dikalahkan oleh kepentingan politik. “Jadi dia menyayangkan kenapa sistem kita tidak mengikuti sistem meritokrasi tetapi malah mengikuti patron politik,” ungkapnya. Sebagai seorang birokrat tulen, wajar jika Sri Mulyani merasa kecewa dipinggirkan oleh kepentingan politik. Pemerintah seharusnya memberi perlindungan kepada dia. Oleh karena itu, Sri Mulyani, Selasa (18/5) malam, memaparkan alasan dirinya mundur sebagai pejabat publik. Ia merasa dipojokkan dalam panggung politik dimana saat ini sebagai pembantu pemerintah dirinya tidak lagi dikehendaki dalam sebuah sistem politik. *“Mengapa Sri Mulyani mundur dari Menteri Keuangan? Tentu ini sudah ada dalam kalkulasi, dimana saya anggap sumbangan dan kepentingan saya sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam suatu sistem politik,”* ungkap Sri Mulyani dalam kuliah umum yang bertemakan Kebijakan Publik dan Etika Publik di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta. [Jakartapress Online]