memang menarik..
saya kok membayangkan kalo kita memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan sumber 
daya yang ada di negeri sendiri..
meminimalisir ekspor dan impor,, tapi secara bijak..
sehingga perilaku global hanya akan sedikit menggoncang perekonomian dalam 
negeri..

salam
-kartes-




________________________________
From: anton ms wardhana <ari.am...@gmail.com>
To: ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
Sent: Tue, July 27, 2010 8:42:54 AM
Subject: [Keuangan] M Chatib Basri: Ekspor yang Primitif

menarik
BR, ari.ams

---------- Pesan terusan ----------
Tanggal: 27 Juli 2010 07:49
Subjek: M Chatib Basri: Ekspor yang Primitif

*Ekspor yang Primitif*
Selasa, 27 Juli 2010 | 03:12 WIB

*Muhammad Chatib Basri*


National Bureau of Economic Research (NBER)—yang dianggap sebagai lembaga
penelitian ekonomi paling bergengsi di dunia—menunjukkan, anjloknya ekspor
jauh melebihi jatuhnya perekonomian global. Ekonom Jonathan Eaton dan Andrew
Rose cenderung menganggap melemahnya permintaan produk manufaktur sebagai
biang keladi. Sementara Joshua Aizeman melihat integrasi global melalui
jaringan produksi mempercepat anjloknya ekspor secara tajam.

*Nasib baik*

Saya mendukung Aizeman di forum itu. Lihat saja: mengapa dampak krisis
global relatif minimal terhadap Indonesia? Jawabannya, kombinasi dari
antisipasi kebijakan yang baik (good policy) dan nasib yang baik (good
luck). Antisipasi kebijakan yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia
dengan fiskal stimulus, penyediaan likuiditas, serta menjaga kepercayaan di
sektor keuangan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia.

Namun, kita juga beruntung karena ekonomi kita lebih didominasi oleh
konsumsi domestik. Akibatnya, dampak pelemahan ekonomi global menjadi
terbatas. Peran ekspor relatif kecil karena kita tidak cukup kompetitif.
Sesuatu yang selama ini justru kita keluhkan. Ironis: kita kebetulan
diselamatkan oleh sesuatu yang tidak kita sukai. Sebaliknya, negara yang
terintegrasi dalam jaringan produksi atau yang berorientasi ekspor terpukul.
Lihat saja Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Lalu kenapa kita tidak meninggalkan ekspor saja dan beralih ke konsumsi
domestik? Di sini kita harus berhati-hati. Persoalannya bukanlah memilih
domestik atau ekspor, tetapi bagaimana memanfaatkan keduanya. Di satu sisi,
porsi ekspor yang kecil memang akan membuat Indonesia relatif terlindungi
dari fluktuasi global. Namun, ketika ekonomi dunia membaik, pemulihan
ekonomi Indonesia akan relatif lambat.

Lihat saja Singapura, dalam triwulan pertama 2010 (pertumbuhan antartahun),
bandingkan dengan Indonesia yang 5,7 persen, padahal dalam periode krisis
kemarin Singapura tumbuh negatif. Selain itu, studi saya bersama Rahardja
(2010) menunjukkan: salah satu alasan mengapa konsumsi domestik tetap
kuat—selain stimulus fiskal—adalah akumulasi tabungan akibat kenaikan harga
komoditas ekspor primer beberapa tahun lalu.

Di sini ada dilema: menggantungkan diri pada ekspor dapat membuat ekonomi
Indonesia rentan, tetapi meninggalkan ekspor dapat melemahkan konsumsi dalam
beberapa tahun ke depan. Di NBER, saya menyampaikan bahwa orientasi ekspor
bisa harus diikuti oleh diversifikasi ekspor. Studi Haddad, Lim, dan
Saboroswski (2010) menunjukkan, jika ekspor hanya terkonsentrasi pada produk
tertentu, ia semakin rentan terhadap fluktuasi global. Ini benar, ekspor
kita terpukul karena sangat terkonsentrasi, tetapi kita beruntung karena
porsi ekspor relatif kecil dalam PDB. Oleh karena itu, ke depan Indonesia
harus mendiversifikasi ekspornya, baik pasar maupun produk.

Sayangnya, produk dan pasar ekspor kita masih primitif—dalam arti kata masih
yang itu-itu saja. Basri dan Rahardja (2010) menunjukkan bahwa pendorong
utama ekspor kita adalah produk dan pasar lama. Dekomposisi pertumbuhan
ekspor dari tahun 1990 hingga 2008 menunjukkan sebagian besar peningkatan
ekspor Indonesia dalam 18 tahun terakhir didorong oleh produk yang sama yang
dijual ke pasar yang sama. Penemuan baru (new discovery)? Kurang dari 5
persen. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam
pertumbuhan ekspor kita nyaris tak ada! Artinya, kita memang tak berubah
banyak. Ironis, di dunia yang terus berkembang, produk ekspor dan pasar
ekspor tetap primitif.

*Inovasi produk baru*

Sangat berbahaya apabila tidak ada perbaikan dalam soal ini. Bagaimana
mengatasi soal ini? Saya jadi teringat diskusi dengan ekonom Dani Rodrik di
Harvard tahun lalu. Rodrik menekankan pentingnya inovasi produk baru. Untuk
itu, wiraswasta harus mengadopsi teknologi dari luar untuk keperluan lokal.
Sebuah proses yang disebutnya self-discovery. Namun, ada persoalan: jika
pengusaha gagal dalam eksperimen ini, ia akan menanggung semua kerugiannya,
sementara bila ia berhasil, produsen lain akan menirunya dan masuk dalam
aktivitas ini. Akibatnya, praktis tak ada yang berminat untuk
self-discovery.

Di sini perlu peran pemerintah. Inovasi membutuhkan penelitian dan
pengembangan/litbang (R&D). Sayangnya R&D kita lemah. Teknologi tidak dapat
begitu saja diperoleh dari negara maju. Oleh karena itu, dibutuhkan R&D yang
dibiayai oleh publik. Woo and Chang (2010) mengatakan bahwa yang dibutuhkan
Indonesia adalah penekanan kepada science based economy. Yang dibutuhkan
adalah R&D di dalam pertanian, misalnya varietas baru (termasuk agro
biotechnology), pendekatan baru dalam pengelolaan air dan lingkungan,
mekanisasi, perbaikan dalam bibit unggul untuk produk peternakan, serta
infrastruktur yang mendukung pertanian.

Inovasi membutuhkan pembiayaan. Sayangnya, bank komersial tidak sepenuhnya
bisa diharapkan untuk menyelesaikan persoalan ini karena adanya
ketidaksesuaian di dalam sumber pembiayaan jangka pendek dengan proyek yang
sifatnya jangka panjang. Karena sumber pembiayaan tidak bisa hanya
diharapkan dari perbankan, maka harus ada sumber pembiayaan lain yang
bersifat lebih jangka panjang seperti Development Banks. Di sini penguatan
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), misalnya, menjadi salah satu
opsi.

Untuk melakukan eksperimen dengan produk baru dibutuhkan insentif. Biaya
transaksi yang muncul karena biaya logistik yang tinggi akan mencegah
diversifikasi dan inovasi produk. Dalam negara kepulauan seperti Indonesia,
biaya transaksi terutama biaya logistik relatif lebih tinggi dibandingkan
negara daratan. Biaya logistik yang mahal akan membuat margin keuntungan
menurun sehingga tak cukup insentif untuk melakukan inovasi. Oleh karena
itu, perbaikan dalam logistik, melalui pembangunan infrastruktur, adalah
kunci. Dan ini harus diimplementasikan, bukan hanya didiskusikan.

Studi saya dan Rahardja juga menunjukkan bahwa indeks konsentrasi ekspor
Indonesia (Herfindahl index) mengalami peningkatan dalam periode sejak tahun
2003. Ekspor kita semakin terkonsentrasi pada ekspor primer. Hal ini antara
lain disebabkan oleh apresiasi riil dari nilai tukar rupiah. Oleh karena
itu, untuk mendorong diversivikasi ekspor, Indonesia harus menjamin nilai
tukarnya kompetitif. Caranya: menjaga inflasi tetap rendah. Apabila ini tak
dilakukan, tekanan deindustrialisasi akan menguat.

Kekhawatiran akan deindustrialisasi akan menjadi semakin nyata bila
langkah-langkah ini tak diambil. Saya kira, ke depan kita tak bisa hanya
hidup dari produk yang primitif dan pasar yang primitif. Dua tahun lalu kita
memang selamat karena kebijakan yang tepat dan nasib baik. Tetapi, jangan
gantungkan ekonomi hanya pada nasib baik.

*M Chatib Basri Pengajar FE UI
*

*http://cetak.kompas.com/read/2010/07/27/03123734/ekspor.yang.primitif
*

--
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=========================
Millis AKI mendukung kampanye "Stop Smoking"
=========================
Alamat penting terkait millis AKI
Blog resmi AKI: www.ahlikeuangan-indonesia.com 
Facebook AKI: http://www.facebook.com/group.php?gid=6247303045
Arsip Milis AKI online: 
http://www.mail-archive.com/ahlikeuangan-indonesia@yahoogroups.com
=========================
Perhatian : 
Untuk kenyamanan bersama, agar diperhatikan hal-hal berikut: 
- Dalam hal me-reply posting, potong/edit ekor posting sebelumnya
- Diskusi yg baik adalah bila saling menghormati pendapat yang ada. Anggota 
yang 
melanggar tata tertib millis akan dikenakan sanksi tegas
- Saran, kritik dan tulisan untuk blog silahkan kirim ke 
ahlikeuangan-indonesia-ow...@yahoogroups.comyahoo! Groups Links




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke