Ide dari tulisan pak Sonny Keraf ini, sedang in...pindahkan ibukota..Jakarta 
sudah terlalu sumpek, dan bebannya lumayan bisa dikurangi kalo Jakarta bukan 
lagi ibukota pemerintahan.

Saya setuju.

Soal mekanismenya, banyak laternatif dari yang termurah sampai yang termahal. 
Ide bung Karno memindahkan ke Palangkaraya salah satu yang mahal. Ide pak Sonny 
dibawah dengan menyebarkan kementrian, bagi saya ngak akan workable...ntar 
bandara penuh dengan pejabat yang hilir mudik menghabiskan SPJ jalan2 dengan 
alasan koordinasi....

Sejarah kita panjang dengan beberapa kali pemindahan ibukota..konon Bandung 
pernah jadi ibukota jaman penjajahan...Yogyakarta, jaman kerajaan Jawa dan 
ketika revolusi kemerdekaan...dua kota tersebut merupakan kandidat yang kuat 
dari sisi sejarah. Dari sisi biaya, mungkin masih bisa dimanage, karena 
infrastruktur pasti cukup baik. Disamping 2 kota itu, Bogor juga merupakan 
kandidat yang baik, karena toh istana sudah ada disana, jarak tak terllau jauh 
dari Jakarta..dll

Memang semua kandidat kota yang saya sebutkan berada di Jawa, pasti ada 
pertanyaan soal Jawasentris...tapi bagi saya jelas kok bahwa masa depan 
Indonesia itu bukan Jawa..sumber2 pertumbuhan ekonomi akan bergeser keluar 
Jawa...dengan dipindahkannya pusat pemerintahan keluar Jakarta, maka kota2 lain 
punya keempatan yg sama dg Jakarta untuk berkembang...Medan (pusat CPO), 
Balikpapan (pusat Minyak), Banjarmasin (pusat Coal), Makassar (Pusat Cacao) 
Denpasar (Pusat Tourism) sekedar memberi contoh. Jadi ibukota tak perlu punya 
potensi ekonomi yang gimana gitu...cukup kota yang bisa mendukung birokrat 
bekerja...

Kalo saya ditanya, jawabannya Yogya....

===================
OPINI
Pindahkan Ibu Kota
Rabu, 28 Juli 2010 | 08:43 WIB
 
A Sonny Keraf *

KOMPAS.com — Kemacetan Jakarta dan sekitarnya, yang menjadi sorotan utama 
Kompas dalam beberapa hari terakhir, kiranya tidak hanya menimbulkan kerugian 
ekonomis (Kompas, 26/0710). Kerugian yang dialami juga menyangkut kerugian 
sosial dan psikis.

Secara psikis, Jakarta sangat tidak sehat, bukan saja karena terjadi polusi 
yang parah, melainkan juga karena kemacetan di jalan raya menimbulkan berbagai 
tekanan psikologis atau stres.

Demikian pula, secara sosial, kemacetan di jalan membuat relasi sosial menjadi 
penuh konflik, tidak saja di antara para pengendara di jalan, tetapi juga 
berdampak sampai ke kantor dan rumah tangga. Hubungan sosial penuh ketegangan 
akibat beban psikis yang dialami di jalan.

Oleh karena itu, sesungguhnya Jakarta bukan hanya sebuah kota yang sangat tidak 
ramah lingkungan, melainkan juga sangat tidak ramah secara sosial dan psikis. 
Dengan kondisi seperti itu, kiranya pembenahan transportasi umum, termasuk 
perluasan, penambahan, dan keterpaduan atau sinergi transportasi umum tidak 
akan banyak membawa hasil memadai. Itu hanya solusi jangka pendek sementara.

Yang dibutuhkan untuk jangka panjang adalah terobosan lebih radikal dan 
revolusioner. Kami mengusulkan tiga solusi. Sembari membenahi transportasi umum 
dan solusi lain yang bersifat tambal sulam, kendati sangat perlu, ketiga solusi 
harus segera diputuskan pemerintah pusat.

Pindahkan ibu kota

Usul pertama, pindahkan ibu kota. Ini usul dan langkah paling radikal. Banyak 
negara melakukan itu dan berhasil mengatasi kemacetan di ibu kota negaranya. 
Bung Karno, presiden pertama, telah berpikiran visioner menyiapkan 
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai calon ibu kota RI sejak 1960-an.

Melanjutkan visi Bung Karno, sebaiknya ibu kota baru berada di luar Jawa, 
khususnya di Indonesia bagian timur. Ada banyak keuntungan positif untuk itu.

Pertama, pemindahan ibu kota jangan dilihat sebagai beban ekonomi karena 
besarnya dana yang dialokasikan. Ini harus dilihat sebagai peluang ekonomi yang 
sangat menggiurkan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang yang akan 
mengerjakan persiapan, pembangunan, dan relokasi ibu kota tersebut. Akan 
dibutuhkan waktu 5-10 tahun untuk realisasi, dan itu peluang ekonomi yang 
sangat baik.

Kedua, dari segi politik, pemindahan ibu kota ke luar Jawa dan Indonesia bagian 
timur (IBT) akan serta-merta menggeser episentrum pembangunan nasional dari 
Jawa dan Indonesia bagian barat (IBB). Ini akan menjadi sebuah langkah dan 
peluang pemerataan pembangunan ke IBT untuk memberi kesempatan lebih besar bagi 
berkembangnya wilayah luar Jawa, khususnya IBT.

Ketiga, selain untuk mengatasi kemacetan di Jakarta dan sekitarnya, ini 
sekaligus menjadi peluang untuk membangun sebuah ibu kota baru dengan tata 
ruang, jaringan, dan pola transportasi yang jauh lebih ramah lingkungan, ramah 
secara sosial dan psikis, atau jauh lebih manusiawi.

Kita bangun ibu kota baru dengan sistem transportasi multimoda yang ramah 
lingkungan, nyaman, aman, dan mudah dijangkau. Kita bangun sebuah ibu kota baru 
dengan hutan kota yang asri, tempat-tempat rekreasi umum yang ramah secara 
sosial, dengan berbagai fungsi sosial yang futuristik untuk kehidupan modern, 
tetapi dengan warna etnik yang khas.

Pilihan di Kalimantan lebih diutamakan mengingat Kalimantan bebas dari pusat 
gempa.

Penyebaran kementerian

Usul kedua yang jauh lebih moderat, semua kementerian disebar ke beberapa 
wilayah RI sesuai dengan kondisi provinsi kita. Ambil saja sebagai contoh, 
Kementerian Kehutanan di Kalimantan atau Papua. Kementerian Kelautan dan 
Perikanan di Ambon. Kementerian Perindustrian di Surabaya. Kementerian 
Pendidikan di Yogyakarta.

Kemudian Kementerian Pariwisata di Bali. Kementerian Perdagangan di Jakarta 
atau Batam. Kementerian ESDM di Kalimantan atau Sumatera. Kementerian 
Pembangunan Daerah Tertinggal di IBT agar benar-benar fokus pekerjaannya lebih 
diarahkan untuk pembangunan daerah tertinggal di IBT, dan seterusnya.

Cara ini akan menarik banyak pihak untuk mendesentralisasikan usaha atau 
minimal kantor pusatnya mengikuti kantor kementerian untuk memudahkan kegiatan 
usahanya. Maka, tak lagi semua perusahaan berkantor pusat di Jakarta.

Dari segi tata kelola pemerintahan, tidak ada banyak kendala karena berbagai 
rapat kabinet bisa dilakukan secara jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi 
komunikasi modern.

Pembatasan

Kalau usulan kedua masih dianggap merepotkan karena berbagai kendala teknis 
menyangkut koordinasi lintas kementerian, usul ketiga yang sangat soft adalah 
pembatasan pembangunan di beberapa bidang. Namun, ini merupakan sebuah 
keharusan paling minim yang tidak boleh tidak segera dilaksanakan.

Tepatnya, usul ini berupa larangan bagi pembangunan baru untuk minimal tiga 
bidang. Pertama, tidak boleh ada lagi penambahan pembangunan mal atau pusat 
perbelanjaan baru di Jakarta. Apabila perlu, tidak boleh ada lagi penambahan 
mal baru di Jabodetabek. Dengan larangan ini, tidak akan ada lagi penambahan 
urbanisasi tenaga kerja baru ke Jakarta untuk bekerja di pusat-pusat 
perbelanjaan dan pertokoan tersebut.

Kedua, tidak boleh ada lagi hotel baru dibangun di Jakarta. Dengan otonomi 
daerah, seharusnya berbagai kegiatan pemerintahan telah dilaksanakan di daerah. 
Oleh karena itu, seharusnya daerahlah yang didorong membangun hotel baru 
sejalan dengan bergeraknya uang ke daerah.

Ketiga, sudah saatnya pembangunan universitas baru dilarang di Jakarta dan 
sekitarnya. Dengan jalan itu, pemerintah berketetapan untuk mengembangkan 
universitas baru, negeri dan swasta, yang berkualitas dan murah di daerah. 
Tenaga-tenaga dosen muda di daerah diberi kesempatan memperoleh pendidikan 
lanjutan di luar negeri untuk kembali mengajar di daerah.

Sementara dosen-dosen berkualitas di Jawa diberi kesempatan mengajar di daerah 
dan tidak perlu berpusat di Jakarta atau Jawa. Dengan jalan ini, putra-putra 
daerah, para calon mahasiswa, bisa mendapat peluang memperoleh pendidikan 
tinggi di daerahnya sekaligus mengabdi di daerahnya setelah lulus kelak.

Ketiga usulan mengandaikan persoalan kemacetan Jakarta harus diputuskan pada 
level pemerintah pusat, presiden dan kabinet, dengan melibatkan DPR. Ini harus 
menjadi sebuah keputusan politik nasional yang akan sangat menentukan nasib 
Jakarta dan nasib bangsa seluruhnya ke depan.

*A SONNY KERAF Pemerhati Lingkungan Hidup, Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta



Kirim email ke