artikel asli:
http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/16/162375/70/13/Kedaulatan-Industri

Kedaulatan Industri
Senin, 16 Agustus 2010 00:00 WIB

SUDAH 65 tahun Indonesia mengenyam kemerdekaan. Namun, proklamasi
kemerdekaan yang sering dibahasakan sebagai jembatan emas menuju
kesejahteraan itu, masih jauh dari kenyataan.

Perekonomian kita yang pernah dijuluki macan Asia karena tumbuh rata- rata
7% pada tahun 80-an hingga 90-an -- sebelum krisis tiba -- kini masih
tertatih-tatih untuk kembali ke pencapaian tersebut. Selain itu, pertumbuhan
ekonomi dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini lebih banyak ditopang sektor
konsumsi, bukan sektor riil atau industri.

Sumbangan sektor industri terhadap produk domestik bruto kini tidak lebih
dari seperlima saja. Lebih parah lagi, sektor industri yang banyak menyerap
tenaga kerja itu, kini hanya tumbuh rata-rata 4%.

Sebuah pertumbuhan yang amat jauh jika dibandingkan dengan kinerja puncak
yang pernah diraih industri kita di kisaran 10% hingga 12% di masa kejayaan
ekonomi berbasiskan Repelita demi Repelita. Dengan pertumbuhan industri yang
hanya 4%, sektor industri cuma menyumbang 0,8% dari total pertumbuhan
ekonomi yang ditargetkan 6%.

Selama sumbangan industri terhadap pertumbuhan ekonomi masih serendah itu,
mimpi menyerap 500 ribu tenaga kerja untuk setiap kenaikan pertumbuhan 1%
masih jauh panggang dari api.

Problem industri kita pun dari waktu ke waktu masih itu-itu saja. Mulai dari
infrastruktur yang payah, birokrasi yang mengidap penyakit kleptokrasi,
hingga rupa-rupa pungutan yang memicu ekonomi biaya tinggi.

Kondisi tersebut kian melengkapi problem industri sebagaimana pernah
disampaikan oleh Bank Dunia pada tahun 1993. Dalam laporan yang
berjudul *Industrial
Policy-Shifting into High Gear* tersebut Bank Dunia menemukan beberapa
permasalahan struktural pada industri Indonesia, antara lain tingginya
tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan dahsyatnya monopoli, baik yang
terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi.

Juga, masih adanya dominasi kelompok bisnis pemburu rente yang belum
memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial
untuk bersaing di pasar global. Struktur industri kita juga masih dangkal,
dengan minimnya sektor industri menengah.

Selain itu, kebanyakan industri kita masih menghasilkan barang setengah
jadi, bukan barang jadi yang siap ekspor. Industri otomotif, misalnya,
kendati sudah merintis jalan selama 40 tahun, tetap saja berkutat pada
perakitan dan belum mampu menghasilkan barang jadi.

Tentu saja kondisi seperti itu harus diakhiri. Harus ada upaya radikal.
Janji menyediakan dan memperbaiki infrastruktur juga jangan cuma wacana.

Negara harus menjadikan industri kita berdaulat, bukan membiarkannya seperti
anak yatim piatu yang mengusahakan semuanya sendiri tanpa arah yang jelas.

Singkatnya, jangan mau cuma jadi tukang jahit, tukang rakit doang. Malu
ah...

[image: Bookmark and
Share]<http://www.addthis.com/bookmark.php?v=250&pub=ivantea>
    <http://www.mypagerank.net/seomonitor-42158.html>
-- 
-----
save a tree, don't print this email unless you really need to


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke