‘Ketentuan Peralihan Tidak Jelas dan Multitafsir’
Peraturan Magang Calon Advokat
[24/8/06]

Ada kemungkinan PERADI akan mengeluarkan petunjuk yang menjabarkan lebih lanjut peraturan magang, namun belum ditentukan substansi dan bentuknya.

Perjuangan gigih Forum Advokat Konversi Magang (FAKOM) akhirnya membuahkan hasil. Walaupun tidak seluruhnya, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melalui Peraturan PERADI No. 1/2006 tentang Pelaksanaan Magang Untuk Calon Advokat mengakomodir tuntutan FAKOM yang sejak pertama kali dibentuk konsisten memperjuangkan adanya pengakuan terhadap masa kerja yang telah ditempuh calon advokat sehingga mereka tidak perlu lagi menempuh tahap magang.

 

Pasal 12 Ketentuan Peralihan menyatakan calon advokat yang telah bekerja minimal 2 tahun berturut-turut di satu atau lebih kantor advokat atau lembaga yang memberikan bantuan hukum cuma-cuma terhitung sejak diundangkannya UU No. 18/2003 tentang Advokat, dianggap telah memenuhi kewajiban mengikuti magang. Calon advokat yang dimaksud diharuskan menyerahkan bukti-bukti berupa surat keterangan dari kantor advokat tempat ia bekerja atau pernah bekerja, slip gaji atau bukti pemotongan pajak PPh Pasal 21 atau kartu Jamsostek, surat keterangan dari advokat pendamping yang menjelaskan bahwa calon advokat telah ikut membantu penanganan sedikitnya 3 perkara pidana dan 6 perkara perdata.

 

Surat keterangan yang disebutkan terakhir tidak berlaku bagi calon advokat yang bekerja pada Kantor Advokat yang mengkhususkan diri pada bidang non-litigasi yang dibuktikan dengan terdaftarnya advokat pendamping sebagai anggota Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) atau Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM).

 

“Secara keseluruhan saya menilai peraturan ini cukup baik karena sebagian tuntutan kami dipenuhi,” demikian komentar pertama yang dilontarkan F. SP. Sangsun atau yang akrab disapa Rio ketika dihubungi via telepon (23/6).

 

Kriteria non-litigasi

Walaupun menyatakan puas, Rio tetap melancarkan sejumlah kritik terhadap peraturan magang tersebut, khususnya bagian ketentuan peralihan. Rio menilai ketentuan peralihan tidak jelas dan berpotensi memunculkan multi penafsiran. Sebagai contoh, Rio menyebutkan Pasal 15 ayat (2) yang mengatur mengenai perlakuan khusus bagi kantor advokat yang memfokuskan diri pada bidang non-litigasi yang dikecualikan dari syarat pernah ikut membantu penanganan 3 perkara pidana dan 6 perkara perdata.

 

Pasal 15

2.        Ketentuan tentang telah ikut membantu penanganan sedikitnya 3 (tiga) perkara pidana dan 6 (enam) perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c di atas DIKECUALIKAN terhadap Calon Advokat yang lulus dalam Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan pada 4 Februari 2006 dan bekerja di Kantor Advokat yang mengkhususkan diri pada bidang non-litigasi –yang dibuktikan dengan terdaftarnya Advokat Pendamping sebagai anggota Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia atau Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal.

 

“Tidak jelas apa yang dimaksud dengan memfokuskan diri pada bidang non-litigasi. Apakah kantor tersebut betul-betul hanya bermain di non-litigasi?” tukasnya. Menurut Rio, adalah hal yang mustahil apabila yang dimaksud adalah kantor advokat yang murni bergerak di bidang non-litigasi karena kenyataannya saat ini nyaris tidak ada kantor advokat seperti itu.

 

Diluar itu, Rio mempersoalkan masih adanya persyaratan pernah ikut menangani 3 perkara pidana dan 6 perkara perdata dalam ketentuan peralihan karena UU Advokat tidak mengatur tentang persyaratan ini. Rio menambahkan adanya pengecualian bagi calon advokat yang bekerja di kantor advokat non-litigasi juga dirasa tidak adil karena mereka hanya dipersyaratkan adanya advokat pendamping yang menjadi anggota AKHI atau HKHPM.

 

“Seharusnya dipersyaratkan 3 perkara pidana, 3 perkara perdata, dan 3 bukti kerja non-litigasi seperti legal opinion, kontrak, dan sebagainya,” usulnya. Rio mengatakan usulan ini merupakan aspirasi anggota FAKOM yang berada di daerah-daerah.

 

Petunjuk teknis

Pendapat yang kurang-lebih sama juga dilontar sejumlah calon advokat yang ditemui hukumonline. Gading Sanjaya berpendapat peraturan yang baru saja dikeluarkan terlalu minim untuk mengatur tentang magang yang sangat kompleks. PERADI, lanjutnya, perlu mengeluarkan ketentuan turunan seperti petunjuk teknis yang menjabarkan lebih rinci ketentuan-ketentuan dalam Peraturan PERADI No. 1/2006.

 

“Tidak jelas apakah 3 perkara pidana dan 6 perkara perdata yang dipersyaratkan adalah perkara yang sudah putus, berkekuatan hukum tetap atau boleh yang sedang dalam proses,” ujarnya.

 

Sementara itu, Redynal Saat mengatakan syarat pernah ikut menangani 3 perkara pidana dan 6 perkara perdata, sangat tergantung pada kantor advokat dimana calon advokat tersebut bekerja. “Ada kantor advokat yang dalam setahun bisa menangani dan menyelesaikan 2 perkara pidana saja sudah bagus. Bisa jadi karena jumlah advokatnya sedikit dan terutama proses pidana itu memakan waktu yang tidak sebentar,” kata Redynal.

 

Wakil Sekjen PERADI Hasanuddin Nasution dihubungi via telepon (24/8), mengatakan PERADI tidak menutup kemungkinan akan mengeluarkan semacam petunjuk yang menjelaskan beberapa hal yang dipandang belum jelas dalam peraturan magang. Hasanuddin sendiri mengakui memang ada beberapa hal yang perlu dijabarkan lebih lanjut seperti kewenangan PERADI menunjuk langsung kantor advokat dengan menyimpangi persyaratan yang ditetapkan.

 

“Jadi tetap kita butuhkan (petunjuk, red.) untuk memberikan penjelasan secara detail terhadap hal-hal yang dirasa kurang atau menjadi pertanyaan masyarakat. Apakah bentuknya nanti secara formal disebut petunjuk teknis atau apa, ditentukan nanti,” kata Hasanuddin

 

(Rzk)

__._,_.___


YAHOO! GROUPS LINKS




__,_._,___

Kirim email ke