100th INDONESIA BANGKIT? Tidak salah jika tahun ini dikatakan sebagai the lowest point dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ini dalam kacamata pribadi. Lihat saja, berbagai hal (dengan tidak mengenyampingkan hal-hal lain yang positif /maju) dari hampir semua bidang di negara kita banyak mengalami kemunduran. Dulu kita pernah swasembada pangan tahun 84/85, tapi kini kita harus impor beras. Kita juga impor minyak ikan dari Jepang, begitu juga kencur dan kunyit dari India. Dulu kita pernah berjaya dibidang pendidikan dengan mengekspor guru ke Malaysia, kini negeri jiran itu jauh merasa lebih maju ketimbang kita, bahkan sekolahnya lebih ternama ketimbang sekolah-sekolah di negara kita, Indonesia. Titik terendah yang dimaksud disini adalah titik dimana sebagian besar masyarakat Indonesia sudah tidak mengenal siapa dirinya, siapa Indonesia itu? Seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini. Untuk mengenali diri dan siapa Indonesia itu kita bisa mengenalnya melalui sejarah. Karena hanya dengan memalui sejarah jati diri, identitas dan rasa nasionalisme dapat dibangun kembali. Ciri lain dari masyarakat kita adalah memudarnya kepekaan sosial dan keutamaan budi (Boedi Oetomo) yang seharusnya menjadi ciri dari bangsa Indonesia. (Terlepas dari adanya kontroversi sejarah mengani hal tersebut. So, jangan dibahas di sini!) Beberapa hal yang menjadi pemicu semangat justru malah dipendam dalam-dalam dan tidak munculkan ke permukaan. Seorang anak penjual rokok kaki lima di Bekasi misalnya, menjadi juara catur dunia tahun 2007 di Yunani, beberapa siswa terbaik kita juga menjadi juara olimpiade fisika, olah raga kita juga lebih hebat dengan hadirnya beberapa atlet muda berbakat yang menjuarai beberaapa cabang olahraga baik di tingkat Asia maupun Dunia. Seharunya semua itu menjadi insfirasi dan motivasi untuk bisa maju lebih baik. Namun, lagi-lagi ini hanya menjadi penghias dari kehidupan bangsa kita saja. Kebangkitan Nasional era kini adalah bukan dengan berperang atau mengangkat bambu runcing, tetapi bangkit bersama-sama untuk mengisi kemerdekaan dengan berlandaskan pada kesadaran sejarah. Kita harus ingat pada akar kita. Atau kita harus ingat pada sumbernya! Dulu kita bersatu untuk merdeka, itulah maknanya! Untuk apa kita sekarang? Karena itu lah, sejarah sebagai sarana utama dalam menumbuhkan jati diri dan identitas bangsa menjadi penting artinya. Kesadaran Sejarah dapat diperoleh (salah satunya secara dominan) adalah melalui pendidikan sejarah di sekolah. Namun, ternyata mata pelajaran sejarah malah dikeluarkan dari syarat kelulusan sekolah mengenah atas (SMA) dalam Ujian Akhir Nasional (UAN). Artinya mata pelajaran sejarah tidak diUANkan lagi. Sebelumnya sejarah dikurangi jam pelajarannya, disatukan dengan mata pelajaran lain menjadi PKN-S (Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah), kemudian tahun ini dihilangkan dari UAN. Apakah tahun depan akan dihilangkan dari mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah? Atau bahkan akan sama sekali dihapuskan dari kehidupan kita? Dalam memandang kasus ini, banyak sekali interpretasi. Sejarah tidak penting lah, atau bisa jadi tidak dibutuhkan lagi. Menjadi pelajaran formalitas saja dan tidak jauh beda sebagai mata pelajaran pelengkap. Pelajaran hafalan yang membosankan dan tidak gaul. Yang paling menakutkan adalah masuk jurusan sejarah berarti bunuh diri karena katanya masa depan suram. Jas Merah sering diplesetkan menjadi jangan sekali-kali masuk sejarah. Sedih.... deh. Ironis! Mungkin karena trend dalam mengambil kuliah dan pekerjaan saat ini adalah IT/ Informatika/komunikasi yang menduduki nomor wahid incaran anak muda, kedua ekonomi, dll. Sejarah sama sekali tidak memiliki tempat di hati anak muda, apalagi dalam hal lapangan pekerjaan tidak ada perusahaan yang menempatakan lulusan sejarah diperusahaannya. Bagi yang kuliah di pendidikan sejarah dia harus bangga dengan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, atau lebih memilih murtad dari bidangnya dengan bekerja sebagai wartawan, karyawan swasta, politikus, selebritis, dan musisi. Itupun hanya segelintir orang yang berhasil. Karena tidak banyak perusahaan yang rela menerimanya. Bagi yang kuliah di sejarah murni, juga demikian. Ada pepatah: tidak ada sejarawan yang jadi konglomerat! :( Prioritas pembangunan lebih banyak ke arah fisik. Bangun mall, bangun gedung bertingkat untuk apartemen, rumah susun, bangun jalan raya, pengelolaan sampah, penanganan bencana banjir, dll., yang paling besar adalah bayar hutang luar negeri, dll. Kita sibuk membangun badannya, tapi kita melupakan pembangunan jiwa-nya. Maka kita mendapatkan mayoritas anak muda yang rapuh, mudah terombang ambing dan cenderung berjalan searah dalam memandang kehidupan. Akibatnya mudah dimanfaatkan oleh siapapun yang memiliki kepentingan, diadu domba dan diperdaya untuk kepentingan orang/kelompok/bangsa/negara tertentu. Kita semestinya introspeksi, karena untuk kuliah S3 Sastra Indonesia saja kita hanya bisa mengambilnya di Belanda. Mungkin juga nanti, ketika kita akan belajar gamelan/ karawitan/ agklung/ wayang/ bahasa daerah/ arsitektur rumah tradisonal, dll. kita harus menempuhnya ke Eropa. Karena lebih banyak anak-anak muda/ orang tua di Eropa yang belajar seni Sunda dan Jawa. Bahkan, banyak diantara mereka yang menguasai tarian daerah, bahasa daerah dan konservasi tradisi serta kearifan lokal kita. Tetapi sungguh ironis karena tidak banyak kaum muda Indonesia yang tertarik mempelajarinya. Mereka lebih suka Play Station, IT dan budaya modern lainnya. Salah satu contoh kongkrit adalah berdasarkan laporan Balitbang Depbudpar, dari 700 bahasa daerah yang kita punya, sisanya tinggal 300-an bahasa. Hal ini mungkin saja terjadi karena banyak kaum muda kita yang lebih memilih bahasa Inggris, Belanda, Jepang, dll. Mereka lupa asalnya mereka. Mereka lupakan tradisinya. Berdasarkan permasalahan di atas, seharunya kita mencari alternatif solusi. Permasalahan-permasalahan sepertinya membuat kita ciut nyali. Padahal jadikan itu sebagai fakta saja. Atau jadikan sebagai tantangan untuk bangkit. Bukan sebagai excuse. Pertama yang paling penting adalah bahwa harus ada Reinterpretasi Konteks terhadap kehidupan bermasyarakat kita. Bahwa kebangkitan nasional era kini berbeda dengan era dimana Budi Oetomo berdiri. Kalau dulu diimplementasikan dengan berjuang mengangkat senjata dan bambu runcing, kalau kini seharunsya diisi dengan pembangunan jiwa dan berjuang melawan kebodohan. Budaya luar/ modernisasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi, dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun jujur saja, modernisasi membuat kita lupa diri, membuat kita pamrih, dan memandang materi adalah segala-galanyanya didunia ini. Kita tidak memiliki rasa IKHLAS terhadap diri kita dan orang lain. (Ikhlas diibaratkan -maaf- seperti kita buang air). Akibatnya, kita cenderung berjalan searah, yaitu dengan melupakan tradisi dan kearifan lokal kita. Kita selalu mngedepankan/ mengagungkan masa kini, dan melupakan/ menyepelekan masa lalu. Kita lebih suka mendalami era globalisasi dengan segala dampaknya ketimbang mempelajari dan memahami kondisi lokal kita yang padahal jauh lebih bermanfaat dalam mengenal keberagaman dari bangsa ini sebagai potensi pembangunan di era go global ini. Kita lebih suka menjual kekayaan kita daripada memanfaatkannya. Itulah yang kita sebut sebagai tidak adanya kemapuan Integrasi Kontekstual. Yaitu, tidak adanya pemahaman, penghargaan dan pengertian yang menyeluruh terhadap masa lalu dan masa kini, terhdapa tradisi dan modern, terhadap lokal dan global. Kita harus bisa teknologi modern, tetapi juga harus mampu bermain gamelan dan membuat rumah tradsional kita. Kita juga harus pintar berbahasa asing agar kita tidak ketinggalan dan dibodohi orang, tapi kita juga harus bisa bahasa daerah dan tradisi lokal kita. Kita maniak R&B, tanggo dance, night-club tapi kita juga bisa, sayang dan peduli terhadap tarian tradisional kita. Kita harus menciptakan kreasi yang mendunia tetapi jangan lupa Indonesia! 100 tahun Kebangkitan Nasional kita maknai sebagai ajang introspeksi dan evaluasi diri. Siapa kita, dan siapakah Indonesia? Untuk itu saatnya kita proyeksikan 100 tahun ke depan kehidupan berbangsa dan bernegara kita bersama-sama, antara pemerintah, masyarakat, dan seluruh kompeonen bangsa. Kita harus ikhlas demi Merah Putih, Indonesia Jaya! MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA! Salam Lestari,
Asep Kambali, KHI Pecinta Sejarah dan Budaya dari Komunitas Historia Indonesia Millist: [EMAIL PROTECTED] HP: 0818.0807.3636 KPSBI-HISTORIA Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636 [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] http://kpsbi-historia.blogdrive.com --------------------------------- Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.