[HALAMAN GANJIL]

Surat Cintamu Seperti Apa?
---Anwar Holid


Keisenganku mengklak-klik serakan file waktu online di warnet suatu hari 
membuat aku menemukan sebuah surat cinta yang lupa dihapus oleh pemiliknya. 
Begini ungkapannya:

/*/
iya, kan neng bilang gpp. jadi artinya gpp..
iya, lebih baik ke dokter aja. biar gak nambah serius..

kenapa? apa yg aa bilang itu kedengeran gak masuk akal buat neng.
i'm chinesse. and u hate chinesse. 
aa messy, dan neng benci acak"an.
apa itu bikin jadi gak pantes saling mendampingi masing? kalo iya... gampang 
aja. berarti kita gak cocok brg, kan?
tp diluar itu kan ada fakta: kita luv eachother. 
karena itu kita harus coba...

neng benci sesuatu yg acak"an, kan bukan krn neng meng'set pikiran neng seperti 
itu. itu cuma satu part dari otak neng yg bilang begitu. apa bedanya sama neng 
yg kecanduan sama hal teratur? ritual? berulang? 
itu bukan mau neng. dr. richard bilang, "anggap aja itu karena cuma satu belah 
otak kamu yg kerja,"
neng juga yakin itu sama hal'nya dengan aa yg benci chinesse, gay... ato 
apalah...
aa gak mau, kan? tp aa gak bs nolak itu.

jadi neng percaya. i have much more than my chinsse part. aa juga gitu, u have 
much more dari pada sekedar messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling 
mendampingi.
karena kita gak sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti.
gitu aja. simple, kan? :)
apa lg yg aa pikirin? luv u2, a..
/*/

Aku rada-rada geli baca surat cinta itu, meski kasihan juga membayangkan sedang 
ada masalah serius dalam hubungan mereka. Aku menebak-nebak: Si lelaki tampak 
punya masalah/penyakit, tapi dia enggan diperiksa dokter untuk memastikan 
masalahnya; di lain pihak mereka berusaha kuat mengatasi persoalan yang muncul 
dalam hubungan mereka. 

Pasangan ini tampaknya sedikit ganjil: Seorang gadis Cina (Tionghoa) yang 
tergila-gila pada kerapian pacaran dengan lelaki acak adut yang benci etnis 
Cina. Aku sulit membayangkan bagaimana mereka dulu bisa ketemu, saling suka, 
kemudian hati mereka jatuh cinta. Tapi segera setelah mereka pacaran, persoalan 
perbedaan, termasuk masalah dalam diri pria, muncul nyaris di luar kemampuan 
mereka untuk mengatasinya. Tentu sebelum "jadian", mereka punya sesuatu yang 
melampaui kebencian masing-masing, boleh jadi itu berbentuk kepribadian 
(karakter), pembawaan, sikap, dan sebagainya, sampai mereka bisa sama-sama 
jatuh cinta lepas dari perbedaan yang begitu genting. Yang sulit aku bayangkan 
ialah cara mereka mengungguli kualitas yang bisa membuat mereka ribut atau 
pisah. Apa yang dilakukan pria itu sampai membuat si gadis ini bisa menoleransi 
kebiasaan acak-acakannya? Apa yang terjadi dalam diri si pria atau apa yang 
dilakukan si gadis sampai-sampai laki-laki ini
 mengabaikan prasangka kebenciannya pada etnis Cina? Dari surat itu terbaca 
niat masing-masing untuk terus berusaha saling cinta, tetap bareng, meski itu 
harus mereka perjuangkan dengan gigih.

Sebuah surat cinta. Rasanya aku terakhir kali mengirim sejenis surat cinta pada 
Ubing dan anak-anak pada akhir 2006, ketika aku ada di Banda Aceh. Memang pada 
Maret 08 lalu aku kirim lagi sebuah surat cukup panjang ke dia, tapi sebenarnya 
itu karbon kopi dari surat curhatku pada seorang kawan, tentang beberapa 
kejujuran atas diriku. (Nanti mau aku posting setelah diedit dulu.) Memang agak 
susah bikin surat cinta kalau sepasang manusia berdekatan, karena cinta 
tampaknya lebih mudah langsung diucapkan pada seseorang daripada repot-repot 
harus ditulis lebih dulu. Lebih mudah kirim sms cinta daripada harus bikin 
surat cinta dulu, termasuk lewat email, kecuali kita hidup terpisah dengan 
kekasih, dan satu-satunya cara menghubunginya, mengungkapkan perasaan, ialah 
lewat snail mail.

Pada 1992 lalu, waktu OPSPEK fakultas, surat cintaku terpilih sebagai surat 
cinta terbaik buat senior. Aku tentu cengar-cengir ketika harus membacakan 
surat itu di hadapan semua orang, sementara si senior yang aku maksud ini 
berdiri persis di sampingku. Aku heran kok bisa suratku mengalahkan semua 
tulisan para junior. Entah mereka kurang berbakat atau aku yang terlalu 
menganggap serius tugas itu, jadi aku kerjakan sungguh-sungguh. Beberapa 
kalimatnya sering disoraki oleh orang-orang, dan aku lihat si gadis senior ini 
wajahnya jadi bersemu merah dan kesulitan menahan senyum karena aku rayu. 
Rasanya, kalau itu bukan kewajiban norak perintah dari senior, aku ingin bilang 
bahwa aku jujur dengan yang aku tulis di surat itu. Sayang surat itu nggak 
dikembalikan setelah aku bacakan, jadi aku juga sulit mengira-ngira kenapa 
surat itu sampai bisa menang. Jadi kesaktiannya nggak teruji. Yang lucu, 
beberapa minggu setelah masuk kuliah, aku sering digodain
 teman-teman si senior bila kebetulan kami ketemu. Sementara gadis senior itu 
mungkin agak-agak jengkel, kenapa juga ada anak culun kok bisa-bisanya menembak 
dia sebagai sasaran rayuan. Apa yang ada dalam kepalaku waktu itu? Mungkin dia 
terlalu cantik untuk mendadak jadi senior judes dalam OPSPEK, atau secara fisik 
dia memenuhi selera fantasi seksualku. Sekarang aku bahkan lupa nama gadis itu. 

Namun sayang kemampuanku menulis surat cinta yang sungguh-sungguh malah gagal 
meyakinkan seorang gadis yang dulu ingin aku jadikan istri. Kalau ingat itu aku 
ingin ketawa juga. Padahal seingatku waktu itu aku sudah kerja, punya karir di 
sebuah perusahaan "yang sedang berkembang pesat." Padahal rasanya hubungan kami 
baik-baik saja ketika aku lama-lama cukup yakin bahwa gadis ini bakal rela 
diajak ke level hubungan yang lebih serius. Ini membuktikan ternyata 
kepercayaan seorang calon pasangan kadang-kadang gagal dijamin oleh adanya 
karir atau penghasilan. Tapi meski dia menolak harapanku, dia nggak 
mengembalikan surat cintaku itu. Atau jangan-jangan sebenarnya begitu selesai 
baca---entah tamat atau tidak---langsung dia cabik-cabik dan dilemparkan ke 
tempat sampah. Sayang aku nggak memfoto kopi dulu surat cinta itu. Mungkin 
menarik mengenang lagi betapa ada seorang pemuda menyusun sebuah rencana ideal 
akan cinta, tapi apa lacur dia salah strategi. Mestinya
 yang pertama-tama diyakinkan ialah memastikan bahwa gadis itu bakal menerima 
cintanya, bukannya mengajukan proposal pembangunan kehidupan masa depan.

Tapi yang paling konyol, kalau aku ingat sekarang, ialah entah darimana aku 
mendadak merasa dapat keberanian atau gagasan hebat pada suatu hari memutuskan 
mengirimi surat seorang jomblo yang ikut kontak jodoh di Kompas. Rasanya aku 
tolol sekali kalau ingat sekarang. Mungkin ada waktu kepalaku gelap hingga 
merasa begitu hebat atau malah putus asa bisa menulis risalah tentang hubungan 
lelaki dan perempuan. Keputusan memalukan. Untunglah surat itu berhenti segera. 
Aku berharap penerimanya---seorang gadis yang ciri-ciri fisik dan kriteria 
keinginannya sekarang sudah aku lupa---langsung mengibas-ngibaskan surat itu 
dari tangannya, menolak memegangnya sama sekali setelah itu. Itu lebih mending 
daripada dia menyangka aku seorang psikopat yang berusaha menjebak gadis 
baik-baik yang sedang sungguh-sungguh berusaha mencari jodoh baik-baik. 
Sekarang aku merasa menyesal dan berdosa berbuat itu.

Kebiasaan menulis surat ternyata memudahkan aku bercerita tentang apa saja ke 
beberapa kenalan dan sahabat pena yang awalnya aku tahu dari Hai. Di antara 
mereka ada yang bertahan hingga kini, aku kunjungi di kota mereka kala bisa. 
Menurutku ini agak menakjubkan. Dengan teman-temanku itu kami bisa saling kirim 
surat berbelas-belas halaman. Ada salah seorang gadis yang kerap curhat tentang 
pacarnya yang malah sering membuatnya jengkel karena hubungan mereka banyak 
masalah. Aku untungnya tetap waras untuk berposisi sebagai teman sejati, bukan 
lelaki yang diam-diam berusaha menebar pesona dan kemudian mengirim sebuah 
surat balasan dengan tulisan: Sudah, putuskan pacar kamu. Aku di sini 
menunggumu. Untung aku tidak memanfaatkan kemalangan seseorang demi keuntungan 
atau kesenangan pribadi. Kali ini aku lebih bisa menguasai diri. Aku bersyukur 
bisa mempertahankan sikap baik seperti itu selama hubungan kami.

Di zaman orang kirim surat via email dan chatting berkepanjangan dengan kekasih 
atau selingkuhan, sementara kadang-kadang mereka ceroboh dengan file itu, aku 
jadinya beberapa kali menemukan berkas surat cinta atau chatting mereka. Aku 
pernah baca surat seorang gadis yang antara marah atau putus asa pada lelaki 
yang sudah sembilan tahun berhubungan dengannya. Gadis itu merasa dikhianati 
dan sakit hati karena si lelaki menolak mengakui mencintainya atau minimal 
mereka saling mencintai; malah sebaliknya, si lelaki ini tampaknya dengan 
sombong bilang bahwa dia yang dikejar-kejar oleh gadis itu, bukannya mengakui 
bahwa hubungan mereka resiprokal. Si gadis meradang: Kurang ajar sekali kamu 
bilang seperti itu. Kamu pikir hubungan kita ini apa hah? Apa artinya kita 
berhubungan selama sembilan tahun itu? Wah... jelas hubungan mereka sedang 
gawat. Aku membatin: mungkin lelaki ini sedang terjebak dalam badai perkawinan 
dan berharap si gadis tetap mau jadi
 selingkuhan daripada jadi istri keduanya. Rasanya tipikal seorang laki-laki 
bilang bahwa dirinya dikejar-kejar gadis, untuk mengangkat egonya, seolah-olah 
"dicintai" itu lebih unggul daripada "mencintai." Lelaki malang. Dasar male 
chauvinist pig!

Setelah beristri dan beranak (yah, ini penegasan saja: aku beristri dulu baru 
punya anak; bukan punya anak dulu baru kemudian beristri), rasanya aku baru 
bisa menulis sejenis surat cinta lagi justru bila kami sedang berjauhan, misal 
karena sedang di luar kota. Sebenarnya menyenangkan bisa menulis cinta, apalagi 
yang mesra-mesra, bukan yang malah penuh masalah seperti surat yang aku temukan 
di atas. Tapi kan tiap orang punya maksud sendiri-sendiri. Gadis di atas, yang 
surat pribadinya aku temukan, lepas bahwa dia sedang dirundung masalah, 
sebenarnya mencintai pacarnya dengan segenap hati. Gadis itu waras, meski 
ejaannya sembrono. Kata dia dalam ungkapan khas anak gaul 2008-an: "i have much 
more than my chinsse part. aa juga gitu, u have much more dari pada sekedar 
messy. dan itu artinya kita DESERVE buat saling mendampingi. karena kita gak 
sempurna dan kita coba untuk saling berusaha ngerti."  Aduh, senangnya punya 
kekasih pengertian seperti dia!

Beberapa tahun lalu aku sempat baca novel Subject: Re (Novita Estiti) yang 
sedikit bikin heboh di media karena penulisnya ngambek menolak novelnya dipaksa 
dilabeli kategori chick-lit oleh penerbit, Gagas Media. Aku membela kengototan 
penulisnya. Beberapa minggu kemudian aku dikirimi novel itu. Isinya ternyata 
kumpulan email-emailan surat cinta (dalam sastra bentuk itu disebut sebagai 
novel epistolari) antara gadis yang tinggal di Indonesia dengan seorang lelaki 
yang tinggal di Australia. Aku kurang terkesan oleh isi novel itu, karena 
tampaknya kurang ada aksi atau plot yang bisa membuat ceritanya lebih 
menegangkan atau menyedot aku masuk dalam dunia mereka. Isinya tampak melulu 
tentang hubungan mereka, membicarakan aspek psikologis wanita dan pria ketika 
sedang jatuh cinta. Sebenarnya menarik sepasang manusia bisa membicarakan cinta 
jadi seintens itu, setebal itu, dengan bahasa yang tampak dingin, lewat surat 
elektronik. Seingatku, ada kala mereka ragu
 tentang hubungan mereka, meski aku ragu apa ada unsur selingkuh di sana. 
Akhirnya aku menghadiahkan novel itu ke komunitas Asoe Kaya di Banda Aceh.

Yang sedikit mengejutkan aku malah kisah di balik novel itu. Fakta ini baru aku 
ketahui belakangan saja waktu jalan bareng ke Jakarta dengan seorang kawan. 
Cerita punya cerita surat-surat dalam novel itu memang surat pribadi penulis 
dengan lelaki yang membalas suratnya. Artinya setengah dari isi novel itu 
sebenarnya karya si lelaki, yakni balasan yang bersubjek Re:. Kata kawanku, si 
penulis dan lelaki ini sampai bikin surat perjanjian perihal isi surat yang 
dimasukkan dalam novel itu. Entah apa maksudnya; apa kira-kira untuk mencegah 
jangan sampai ada gugat menggugat atau sakit hati di antara mereka di kemudian 
hari atau bagaimana. Yang jelas hubungan cinta wanita dan pria ini sekarang 
sudah kandas secara menyakitkan. Bagaimana kamu tahu? tanyaku. Aku kenal 
penulisnya, kata dia. Karena itu dia masih menyimpan novel itu. Sementara si 
lelaki ini dia kenal reputasinya saja. Aku juga kenal reputasi si lelaki itu 
sebenarnya, bahkan pernah sekali waktu kami
 email-emailan. Menurutku, lelaki ini tipe kritikus jujur paling nyelekit yang 
pernah ada, dengan integritas yang bisa dipercaya dan berlandas pada argumen 
hebat. Tipe kritikus yang paling aku takuti bila sampai ketemu. Wah, kenyataan 
ternyata lebih ajaib dari fiksi.

Banyak sebenarnya kisah tentang surat cinta, termasuk yang dilagukan oleh Vina 
Panduwinata (Surat Cintaku yang Pertama) atau Sinead O'Connor (Love Letters.) 
Film Message in the Bottle yang dibintangi Kevin Costner juga cerita tentang 
itu. 

Seperti apa surat cinta Anda? Kalau belum pernah, sesekali tulislah sebuah 
surat cinta. Pada kekasih, orang tua, adik, kakak, untuk benda atau Tuhan Anda. 
Mungkin surat cinta bisa melampiaskan emosi-emosi lembut dan terdalam dalam 
diri Anda.[]

Anwar Holid, eksponen TEXTOUR Rumah Buku Bandung.
Ngeblog @ http://halamanganjil.blogspot.com


Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: (022) 2037348 | [EMAIL PROTECTED] | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.digibookgallery.com
http://rumahbuku.info
http://www.rukukineruku.com
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://halamanganjil.blogspot.com 


Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke