Betapa sulit saya memahami puisi Nirwan Dewanto
-----------------------------------------------
Oleh: Anwar Holid


Jantung Lebah Ratu (Himpunan Puisi)
Penulis: Nirwan Dewanto
Penerbit: GPU, 2008
Tebal: 94 hal.
ISBN: 978-979-22-3666-8



Seorang kawan menghadiahi Jantung Lebah Ratu, buku puisi karya Nirwan Dewanto 
(ND). Tentu saya senang. Dulu, persis saat buku itu terbit kira-kira pada bulan 
Mei, saya sangat antusias kapan kira-kira bisa baca, bahkan kalau bisa 
memilikinya. Rumah Buku, perpustakaan favorit saya, sebenarnya segera 
mengoleksi himpunan puisi tersebut, tapi entah kenapa saya tak sempat juga 
meminjamnya. Ternyata buku itu sedang dipinjam anggota lain ketika saya ingin 
membacanya. Seorang teman sealma mater ND yang saya tahu langsung beli buku itu 
saya tanya, seperti apa sih puisi-puisi dia? Dia menjawab samar, "Yah, 
begitulah. Khas Nirwan, agak-agak susah dipahami dan berbau filsafat." 
Sementara waktu kawan yang menghadiahi buku itu saya tanya kenapa memberikan 
buku itu, dia menjawab tanpa pretensi, "Hm... susah ya. Mungkin puisinya bukan 
selera saya. Kurang nikmat bacanya."

Nirwan Dewanto merupakan penulis dengan reputasi terkemuka di Indonesia. Dia 
menulis esai budaya dengan beragam subjek, termasuk kritik buku, menjadi salah 
satu eksponen posmodern paling awal di Indonesia, ikut mendirikan jurnal Kalam 
(yang merayakan posmodern secara besar-besaran), bergabung dengan Teater Utan 
Kayu (TUK), dan sudah menulis puisi sejak lama. Boleh dibantah, peristiwa yang 
membuat namanya melambung ialah ketika dia jadi salah satu pembicara kunci di 
Kongres Kebudayaan 1991; dia membawakan makalah berjudul Kebudayaan Indonesia: 
Pandangan 1991. Esai ini pula yang jadi andalan pada buku pertamanya, Senjakala 
Kebudayaan (Bentang, 1996)---sebuah buku yang kini sudah turun dari rak toko 
umum dan hanya bisa ditemui kembali di perpustakaan seperti Rumah Buku. 

Namun harus disebut pula reputasi dia kadang-kadang membuat orang lain jengkel 
atau penasaran. Sebagai kritikus sastra, pilihannya kadang-kadang digugat, yang 
paling terkenal boleh jadi "Siapa Takut, Nirwan Dewanto?" oleh Richard Oh dan 
"Yth Tuan Nirwan" oleh Damhuri Muhammad---isinya kira-kira debat seputar kritik 
dan standardisasi penilaian karya sastra. Saya sendiri menganggap reputasi ND 
di Indonesia mirip dengan Michiko Kakutani di AS---kritikus buku The New York 
Times. Michiko dijuluki "kritikus yang paling ditakuti sedunia." Keberanian 
Michiko memuji atau mengecam buku membuat posisinya sering ekstrem. Sebagian 
penulis jengkel sekali pada Kakutani. Saya juga tahu satu-dua penyair jengkel 
sekali pada ND dan bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan olok-olok dalam 
puisi ciptaan mereka. 

Saya lebih bisa mencerap beberapa esai ND daripada puisinya. Meski begitu, saya 
selalu kelelahan bila baca tulisan dia di Kalam, misalnya, meski kecenderungan 
itu hilang bila saya baca kolom atau resensinya. Saya merasa standar dia 
terhadap sastra atau buku tinggi sekali, dan itu mungkin membuat posisinya jadi 
terasa adi luhung. Lagi pula, tampaknya, puisinya pun lebih jarang dipublikasi 
media massa daripada esainya; dan bila kebetulan bertemu puisinya, saya lebih 
banyak bingung daripada bisa asyik menikmatinya. Bagi saya, dalam selintas 
baca, puisinya sulit dipahami dan kurang nikmat dibaca. Ini lain sekali bila 
saya bertemu dengan puisi Joko Pinurbo, misalnya. Kadang-kadang, sebagian puisi 
Joko Pinurbo mengambang dan sulit dipahami karena makna dan kosakatanya ambigu; 
tapi saya masih bisa merasakan samar-samar nuansa keindahan di sana. Dalam 
puisi ND yang sukar, saya bahkan langsung merasa gagal meraba sebenarnya apa 
yang dia ungkapkan.

Di dalam "Puisi dan Beberapa Masalahnya" (1993), Saini K.M. sudah memuji bakat 
dan kemampuan Nirwan Dewanto. Waktu kuliah di ITB, Nirwan Dewanto merupakan 
salah satu penyair muda yang puisinya mendapat perhatian Saini K.M. di 
Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat. Kata Saini: "Nirwan Dewanto, dalam bentuk 
kesamar-samaran, memperlihatkan kemungkinan yang dapat diharapkan di masa 
depan. Dia tidak saja peka terhadap kehidupan batinnya, melainkan juga terhadap 
dunia (lahiriah) di luar dirinya. Sajaknya menyajikan renungan yang cenderung 
falsafi." Puisi Nirwan Dewanto yang dimaksud Saini berjudul "Agustus."

-*-

Jadi, kegirangan saya menerima buku puisi yang didesain dengan elok dan 
mencolok ini segera berubah jadi semacam bencana dan kejengkelan karena setelah 
membolak-balik ke sana-kemari, saya tak jua menemukan puisi yang enak atau bisa 
dipahami. Saya nyaris putus asa dan merutuk, karena tak kunjung ngerti, maksud 
dia menulis puisi itu apa? Hampir tak ada nikmat-nikmatnya. Jauh lebih nikmat 
bila saya baca puisi amatir kawan-kawan lama. Memang satu-dua puisinya ada yang 
cukup saya pahami atau cukup bisa saya rasakan keindahannya; tapi secara 
keseluruhan, bukunya merupakan himpunan puisi yang sukar.

Begitu baca puisi pembuka, Perenang Buta, saya seperti ditubruk oleh moncong 
pesawat terbang. Blas, buta sama sekali apa maksudnya. Betapa sulit saya 
mengira-ngira dia mau menulis tentang subjek apa. Seolah-olah ada batu karang 
yang begitu besar dan saya harus bisa mengangkatnya agar mampu beranjak dari 
sana dan segala sesuatu mengalir. Saya memaksakan lanjut ke puisi kedua, sama 
saja nasibnya. Rasanya ada yang mampat, "nggak bunyi." Seterusnya, sampai 
akhirnya saya kacau, mencari dari halaman sana-sini, berusaha menemukan puisi 
yang kira-kira bisa pahami atau nikmati.

Betapa susah menemukan frasa pada puisi-puisi yang bisa dengan mudah saya 
pahami sebagai sesama pengguna bahasa Indonesia. ND jauh lebih semangat 
menggunakan kokakata yang terasa asing, jarang digunakan dalam ungkapan 
sehari-hari, misalnya campuhan, zuhrah, bubu---bahkan tak terdaftar dalam 
Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko. Tiga frasa yang membagi himpunan 
puisi ini pun asing sekali, yaitu Biru Kidal, Kuning Silam, dan Merah Suam; 
bahkan makna tersirat ketiganya pun sulit sekali diraba apa maksudnya.

ND tampak sengaja cenderung memilih cara ungkap yang sulit dipahami dan 
berbelit-belit, misal: 
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya. 

Atau: 
Lihat, betapa durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. 

Dengan cara seperti itu, mau bicara apa ND dengan puisi-puisinya? 

ND menempuh cara yang sama sekali tidak populer dalam menulis puisi. Dia 
sengaja menggunakan bahasa adi luhung dan menyembunyikan makna serapat mungkin, 
malah seolah-olah ingin menaruh setinggi mungkin dari jangkauan penafsiran para 
pembaca. Ada kesan dia ingin menyimpan puisi-puisi itu sebagai rahasia yang 
sulit dipecahkan maknanya baik oleh para pembaca awam maupun kritikus ahli. Dia 
sengaja menyulitkan pembaca. Hasan Aspahani, seorang penyair produktif, 
berusaha memahami puisi-puisi ND dalam rangkaian esai cukup panjang: Tiga Belas 
Cara Saya Membaca Sajak Nirwan. Hasilnya, dia bahkan berhenti pada cara 
kesepuluh. Paragraf terakhir di esai kesepuluhnya, Hasan menulis: "Bagi pembaca 
yang suka kerumitan mungkin mengasyikkanlah menebak-nebak apa maunya sajak itu. 
Bagi saya, tidak. Ini sajak melelahkan. Dan saya kesal karena perburuan saya 
sepertinya sia-sia. Tapi, bukankah Nirwan sudah mewanti-wanti agar pembaca 
jangan berburu lambang dalam sajaknya?"

Via email, Saut Situmorang, penyair asal Yogyakarta yang baru-baru ini 
menerbitkan buku puisi Otobiografi, mengomentari buku Nirwan begini: "Dia 
memilih mana yang kira-kira akan membuat pembacanya tahu kalau dia baru saja 
habis baca sajak-sajak orang lain."

Karena saya langsung kesulitan membaca buku puisi itu, seorang teman yang 
sama-sama pernah jadi ketua Grup Apresiasi Sastra (GAS) ITB seperti ND, 
menanggapi: "Komentar kamu mirip orang yang ngomel pada lukisan Picasso tentang 
wanita cantik. Kotak-kotak nggak karuan kok dibilang wanita cantik?! Enakan 
melihat karya Basuki Abdullah... begitu ya. Saya rasa Nirwan mencoba 
menggunakan metafora baru, dengan latar belakang bacaannya tentang negeri 
Amerika Latin, sejarah bangsa-bangsa, dan seterusnya. Mungkin terasa asing buat 
imajinasi kita. Tapi ya nikmati saja kalau ada metaforanya yang enak atau 
kata-kata yang unik."

Ajakan yang persuasif sebenarnya. Dalam sajak, kita berharap mendapat inti 
makna yang lebih sensitif dibandingkan membaca prosa atau berita. Boleh jadi 
karena ada proses internalisasi di sana. Para penyair memiliki ruang yang lebih 
sempit untuk menaruh kata-katanya demi membangun makna. Dibandingkan esais 
sekalipun, pilihannya kurang leluasa. Dia harus lebih hati-hati memutuskan kata 
yang dipilih. Tapi bila hasilnya menyulitkan sebagian pembaca, apa yang 
sebaiknya dilakukan? 

Mari kita mulai dari orang yang mula-mula mengomentari buku puisi Nirwan. 
Melanie Budianta, seorang ilmuwan sastra, berpendapat bahwa puisi Nirwan 
merupakan sehamparan momen estetika. Menurut Melanie, buku Nirwan ini berusaha 
memperluas potensi kata, sensasi imajinasi dan nuansa makna. 

Berbeda dengan penyair yang kerap mengejar imajinasi batin, menerangkan 
idealisme, atau membangun suasana, Nirwan banyak bicara tentang binatang, 
tetumbuhan, juga benda-benda mati. Pilihan subjek ini tampak ajaib sekaligus 
menantang. Di dunia binatang, dia bicara tentang kunang-kunang, ubur-ubur, 
cumi-cumi, harimau, semut, ular, lembu, kucing persia, anjing, burung hantu, 
keledai; di dunia tetumbuhan dia menulis tentang apel, semangka, putri malu, 
nenas, makanan, kopi, mawah, garam; tentang benda mati dia bicara tentang 
peniti, kain, kancing, akuarium, gerabah, patung, bubu, biola, selendang, 
bayonet, lonceng. Subjek itu sangat aneh bila dibandingkan penyair yang gemar 
bicara cinta atau romantisme. Tapi bukan pula Nirwan anti membicarakan 
perasaannya, sebab dia menyisakan ruang untuk menulis tentang puisinya (Semu) 
juga tentang musim gugur dalam dua belas rangkaian haiku yang imajinatif (Dua 
Belas Kilas Musim Gugur.)

Pemikir Islam Ulul Abshar-Abdalla, menyatakan bahwa Nirwan berusaha membiarkan 
benda-benda dan peristiwa mengalir lewat dirinya, menjadi sebentang sajak yang 
mirip cangkang telur putih dan kabur. Dengan begitu, boleh jadi sajak Nirwan 
sebenarnya rapuh karena sudah berusaha menetaskan kata sebagai makna.

Baik setelah membaca urut dan membolak-balik, dari ke 46 puisi itu saya hanya 
menemukan tiga sajak yang terasa paling mudah untuk dimasuki, yaitu Kain Sigli, 
ode tentang keindahan kain dari sebuah daerah di Aceh; Kopi, ode tentang 
kenikmatan minum kopi; dan Dua Belas Kilas Musim Gugur, ode ala haiku tentang 
musim gugur. Sisanya saya merasakan persis yang dikhawatirkan Enin Surpiyanto 
terhadap puisi bebas, yakni saya menghadapi kabut kata dan kalimat yang sulit 
saya cerna untuk sekadar beroleh kenikmatan kata dan bahasa.

-*- 

Setelah berbagi kesulitan membaca puisi Nirwan Dewanto, saya menaruh buku itu 
di antara himpitan buku lain dalam rak, entah kapan lagi saya akan membukanya. 
Jelas saya gentar, lantas teringat komentar Farid Gaban tentang tulisan-tulisan 
sulit karya sejumlah cendekiawan Indonesia. Kata dia: Tulisan itu mengandung 
ide yang bagus dan jarang dibicarakan, namun ide yang bagus itu ditulis dengan 
bahasa yang sulit dipahami orang awam. Buku Nirwan Dewanto boleh jadi salah 
satu buku paling sulit yang pernah saya baca. Tapi untunglah, seorang kawan 
mengirim pesan, "Tax, apa boleh pinjam buku Nirwan?" Wah... tak sabar saya 
ingin mengirim buku itu kepadanya.[]


Anwar Holid, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung, blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com

Anwar Holid, penulis & penyunting, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: [EMAIL PROTECTED] | (022) 2037348 | 08156140621 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.republika.co.id/koran.asp?kat_id=319
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.gramedia.com
http://www.mizan.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke