Saat saya kembali ke Takengen, saya mendapati Aceh Tengah kabupaten
tempat saya berasal kini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh
Tengah yang beribukota Takengen dan kabupaten Bener Meriah beribukota
Simpang Tiga Redelong.

Ada satu kejanggalan yang saya rasakan berkenaan dengan keberadaan
kabupaten baru yang bernama Bener Meriah ini. Kejanggalan itu saya
rasakan baik saat saya berada di Aceh Tengah maupun di  Bener Meriah
sendiri. Saya merasakan ada suasana yang berbeda di Tanoh Gayo
sekarang dibandingkan dengan ketika saya masih sering pulang dulu. 
Dulu, sebelum ada Bener Meriah semua orang Gayo yang tinggal atau yang
berasal dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah yang meliputi
Kilometer 35 sampai Ise-ise, dari Rusip sampai Samarkilang. Semuanya
memiliki kesadaran sebagai sebuah komunitas Gayo yang sama. Kalau
sedang berada di luar Aceh Tengah, semua mengaku 'Urang Takengen'. 
dan diidentifikasi oleh orang luar Aceh Tengah sebagai `Orang
Takengon'. Kesadaran inilah yang membentuk identitas kegayoan saya. 

Sekarang, saya merasakan di antara masyarakat dua kabupaten ini mulai
muncul semacam rasa keterpisahan secara sosiologis dan psikologis.
Kesan yang saya tangkap, sekarang ini dalam diri orang Aceh Tengah dan
Bener Meriah yang meskipun sama-sama orang Gayo tapi secara
perlahan-lahan dalam individu Gayo yang tinggal di wilayah yang
sekarang dipisahkan secara administratif ini mulai muncul kesadaran
untuk mengasosiasikan identitas kelompok masing-masing sebagai 'kami'
dan 'mereka'. Secara perlahan-lahan pula saya lihat sekarang sudah
mulai muncul bibit-bibit rivalitas antara penduduk dua kabupaten ini.
Salah satu indikasi dari munculnya fenomena ini bisa diperhatikan
dalam kalimat-kalimat yang diucapkan para ceh didong jalu yang
sekarang mendefinisikan `kami' dan `kalian' sekarang sudah dalam skala
kabupaten bukan lagi kampung.

Sebelum Bener Meriah dimekarkan, sebenarnya sudah ada komunitas Gayo
yang terlebih dahulu diasingkan dari komunitas besarnya dengan cara
dipisahkan secara administratif. Mereka adalah Orang Gayo Lues dan
Orang Gayo Serbejadi. Meskipun sama-sama Gayo dan berbicara dalam
bahasa yang sama dengan saya dan orang-orang Gayo Aceh Tengah. Tapi
kedua kelompok suku Gayo yang tinggal di luar wilayah administratif
Kabupaten Aceh Tengah ini tidak termasuk kategori 'kami' dalam
kesadaran kegayoan orang Gayo Aceh Tengah, termasuk saya. Padahal
dalam tubuh saya sendiri mengalir darah keturunan Gayo Lues yang saya
dapatkan dari Datu Anan (Ibu dari kakek) saya.

Dulu sekali sebenarnya Gayo Lues masuk dalam kategori `kami'. Tapi
pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara yang dimekarkan dari Kabupaten
Aceh Tengah melalui UU 4/1974 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni
1974. Telah mencabut kesadaran kegayoan Orang Gayo Aceh Tengah
terhadap Gayo Lues. UU 4/1974 itu mencabut akar kegayoan saya dari
tanah asal Datu Anan saya, tepat 20 hari sebelum saya lahir.

Saat Gayo Lues masih merupakan bagian dari Aceh Tengah dan Takengen
menjadi ibu kotanya. Di Takengen banyak sekali komunitas pelajar asal
Gayo Lues yang bersekolah. Pelajar asal Gayo Lues ini bahkan sampai
punya satu asrama khusus berlokasi di Dedalu dekat rumah orang tua
saya. Panti Asuhan Budi Luhur yang saat itu dikelola oleh almarhum
kakek saya juga banyak dihuni oleh anak-anak yang berasal dari Gayo Lues. 
Pada saat itu orang Gayo Aceh Tengah masih menganggap orang Gayo Lues
sebagai 'kami'. Tidak seperti orang Gayo Serbejadi yang sejak awal
kemerdekaan tinggal di wilayah administrasi kabupaten Aceh Timur yang
cerita tentang keberadaan mereka nyaris seperti dongeng dalam sudut
pandang orang-orang Gayo di Takengen.

Tapi sejak Gayo Lues dimasukkan ke dalam wilayah Aceh Tenggara, Orang
Gayo Lues jadi jarang sekali berhubungan dengan Takengen.  
Ketika saya lahir, Gayo Lues sudah bukan bagian dari kabupaten Aceh
Tengah. Orang Gayo Lues yang bersekolah di Takengen meskipun ada tapi
sudah sangat sedikit. Saat itu mereka lebih banyak yang bersekolah di
Kuta Cane yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tenggara. 
Kegiatan pertandingan olah raga, pentas seni Gayo, Didong dan
aktivitas budaya apapun yang berkaitan dengan Gayo yang
diselenggarakan di kabupaten Aceh Tengah sama sekali tidak pernah
melibatkan Orang Gayo Lues.  Akibatnya interaksi Orang Gayo Aceh
Tengah dengan Orang Gayo Lues menjadi sangat jarang. Sehingga sedikit
demi sedikit Gayo Lues menjelma menjadi identitas Gayo yang asing bagi
kami orang Gayo Aceh Tengah.  Begitu berjaraknya Gayo Aceh Tengah dan
Gayo Lues, sampai-sampai Tari Saman Gayo yang merupakan kesenian khas
Gayo yang banyak dimainkan oleh Orang Gayo Lues menjadi seni yang
asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Demikian pula dengan Didong
Jalu, kesenian yang sering kami mainkan di Aceh Tengah menjelma
menjadi sebuah seni yang asing di mata orang Gayo Lues dan Serbejadi.

Memang ketika sedang berada di luar Tanoh Gayo. Orang Gayo Lues dan
Orang Gayo asal Aceh Tengah merasa mereka adalah saudara. Tapi
hubungan persaudaraan itu bisa dikatakan seperti hubungan antar
sepupu. Bukan hubungan antar saudara kandung. Ada kedekatan tapi
sekaligus ada jarak psikologis yang memisahkan kedua kelompok suku
Gayo ini.

Contoh dari adanya jarak psikologis ini adalah ketika saya tinggal di
Banda Aceh. Di kota ini saya banyak memiliki kenalan orang Gayo Lues.
Tapi meskipun akrab, ketika berada di antara komunitas teman-teman
asal Gayo Lues ini saya tidak merasa senyaman saat berada dalam
komunitas Orang Gayo asal Aceh Tengah. Saat berada dalam komunitas
Orang Gayo Lues ada banyak materi pembicaraan mereka yang tidak saya
fahami yang membuat saya merasa sebagai orang luar. Pembicaraan yang
membuat saya merasa sebagi orang asing itu biasanya berkaitan dengan
daerah asal dengan segala permasalahannya. Entah itu pembicaraan
tentang bupati, pacuan kuda atau kegiatan kesenian yang mereka
lakukan, rencana kegiatan amal yang akan dilakukan saat liburan nanti
dan sebagainya. Semua pembicaraan itu terdengar asing di telinga saya
dan membuat saya merasa tidak berhak untuk melibatkan diri di dalamnya.

Hal seperti inilah yang sekarang mulai terjadi dalam hubungan antara
Aceh Tengah dan Bener Meriah. Contohnya saya lihat ketika seorang adik
sepupu saya ditabrak oleh seorang pengendara motor asal Simpang Tiga
Redelong.

Dulu kalau kejadian seperti itu terjadi lalu kita tanyakan siapa
pelakunya.  Orang Takengen pasti menyebut 'Orang Simpang Tiga' yang
secara psikologis dianggap sebagai 'kita'. Biasanya pula untuk
menyelesaikan masalah seperti ini juga lebih mudah untuk dilakukan
secara kekeluargaan. Berbeda misalnya jika pelakunya adalah orang
'Bireuen' yang dikategorikan sebagai  `mereka'. 

Tapi sekarang situasinya berbeda, orang Redelong yang menabraknya oleh
adik sepupu saya disebut sebagai 'Orang Bener Meriah' yang oleh sepupu
saya ini dipahami sebagai 'mereka'.

Munculnya perasaan sebagai 'kita' dan 'mereka' ini tidak hanya terjadi
pada kalangan remaja seperti sepupu saya. Sentimen perpecahan semacam
ini saya lihat mulai melanda semua kalangan. 

Ketika berada di Takengen saya sempat mewawancarai seorang ulama
berpengaruh yang sekarang menjabat ketua MPU Aceh Tengah. Beliau
berasal dari Teritit, sekitar 10 Kilometer dari Takengen tapi sekarang
 setelah pemekaran masuk ke dalam wilayah Bener Meriah. 
Wawancara itu saya lakukan di rumah beliau di Pasar Pagi.  

Saat sedang mengobrol dengan saya, ulama yang sangat saya hormati ini
menerima panggilan telepon dari seorang kerabat beliau di Jakarta.
Dalam omongan via telepon yang mereka lakukan. Saya mendengar mereka
berdua berbicara tentang penjualan tanah sebuah yayasan di Jakarta
yang uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan yang sama di Bener
Meriah. Secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dalam obrolan
mereka. Tapi ada satu kalimat dalam obrolan mereka yang dilakukan
dalam bahasa Gayo yang membuat saya yang Orang Gayo merasa bukan
bagian dari mereka. 

Saya tiba-tiba merasa menjadi orang asing. Ketika mendengar Tengku
yang saya wawancarai ini berkata kepada lawan bicaranya. Yang artinya
kurang lebih begini "Apa yang kamu lakukan itu baik sekali, karena
memang siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk membangun daerah kita
kalau bukan kita sendiri orang Bener Meriah".

Saya merasa asing karena saya yang lahir di Takengen dengan Bapak yang
berasal dari Isaq dan Ibu dari Temung Penanti yang kedua wilayahnya
masuk dalam wilayah admistrasi kabupaten Aceh Tengah tidak termasuk
dalam `kita' yang mereka bicarakan. Saya yang bukan `Orang Bener
Meriah' tidak termasuk dalam kategori orang yang bisa diharapkan oleh
ulama yang saya hormati ini untuk membangun daerah `kita'. 

Apa yang bisa saya simpulkan dari percakapan antara Tengku yang saya
hormati ini dengan kerabatnya di Jakarta yang berasal dari Teritit
seperti yang saya ungkapkan di atas adalah;  pemekaran sebuah wilayah
Gayo tidak hanya membelah identitas kegayoan orang Gayo yang tinggal
di wilayah  yang dimekarkan. Tapi pemekaran wilayah juga ikut membelah
identitas kegayoan Orang Gayo yang tinggal di luar Tanoh Gayo. 

Sebagaimana dulunya Orang Gayo Deret dan Gayo Lut seperti saya
mengasosiasikan diri sebagai Orang Takengen dan Orang Gayo Lues
mengasosiasikan diri sebagai Orang Belang Kejeren. Tidak lama lagi
orang Teritit sampai Tiga Lima akan menyebut diri mereka sebagai Orang
Redelong. 

Saya dan Orang Gayo Aceh Tengah lainnya akan tetap disebut dan mengaku
sebagai Orang Takengen, tapi dengan kesadaran sebagai individu yang
merupakan bagian dari  komunitas besar Orang Takengen dengan jumlah
anggota yang tinggal setengah dari populasi sebelumnya.


Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com



Kirim email ke