Pada hari keduaku di Takengen, aku mengunjungi Bener Meriah sekalian
untuk menghadiri pernikahan seorang teman lama. Mungkin karena datang
dari jauh, kehadiranku cukup diapresiasi oleh temanku ini. Aku diajak
ikut dalam rombongan pengantin yang membawanya dari Takengen menuju ke
Desa Waq Pondok Sayur, kampung teman ini, dimana pesta pernikahannya
dilaksanakan. Untuk menuju Pondok Sayur ada dua alternatif jalan,
melalui Teritit atau Pante Raya. Kami memilih lewat Teritit, melalui
jalan yang sudah sangat aku kenal. 

Dulu aku sering melewati jalan ini untuk menuju ke Isaq Busur di dekat
Simpang Tiga, keluargaku memiliki sawah di sana. Dari Teritit sampai
ke Tingkem,  aku perhatikan belum ada hal yang terlalu istimewa yang
terjadi di Bener Meriah sejak kabupaten ini dimekarkan. Pemandangan
kanan kiri jalan di sepanjang perjalanan ini tetap didominasi oleh
kebun kopi diselingi persawahan yang ditanami palawija atau padi. Kami
juga melewati kampung-kampung khas dataran tinggi Gayo dengan
rumah-rumah berdinding papan kayu yang tidak dicat, beratap seng yang
berwarna kecoklatan akibat karat. 

Di halaman depan beberapa rumah yang tampak bersih terlihat hamparan
biji kopi arabika yang dijemur di atas tikar kain goni dengan seorang
perempuan 'berupuh panyang' yang kadang sambil menggendong bayi di
punggungnya sedang menggaruk biji-biji kopi yang dijemur.  Pemandangan
yang persis sama seperti apa yang ada di dalam kepingan memori tentang
jalan ini yang tertanam di kepalaku. Aku mengenali biji kopi yang
dijemur di halaman rumah-rumah yang kami lewati itu sebagai kopi
arabika dengan melihat warna hamparan biji kopi yang dijemur itu yang
didominasi oleh warna putih gading yang merupakan warna kulit tanduk
biji kopi arabika dan sedikit bercak hitam yang merupakan sisa kulit
merah yang tidak bersih terbuang saat penggilingan gelondong.

Perubahan mencolok baru terlihat ketika kami memasuki wilayah ibukota
Bener Meriah, Simpang Tiga Redelung. Ada banyak bangunan baru yang
dibangun sebagai gedung pemerintahan di sana. Bangunan-bangunan megah
itu dibangun di atas lahan yang luas di antara persawahan dan kebun kopi.

Memasuki Kota Simpang Tiga Redelung dengan bermobil, serasa seperti
sedang berada di Kota Bandung. Guncangan-guncangan sporadis yang aku
rasakan saat berada di atas mobil yang membawaku ke Pondok Sayur ini
menunjukkan adanya kesamaan bentuk permukaan jalan antara jalanan di
ibukota Kabupaten Bener Meriah ini dengan permukaan jalan-jalan di
ibukota Provinsi Jawa Barat. Sama-sama dipenuhi lobang menganga akibat
kurang dirawat.

Selain perubahan mencolok dengan adanya bangunan-bangunan baru gedung
pemerintahan, bangunan-bangunan di dalam kota Simpang Tiga Redelung
masih tetap sama seperti dulu. Didominasi oleh bangunan-bangunan ruko
berdinding papan kayu berlantai dua. Bedanya sekarang di ruko-ruko itu
terlihat aktivitas jual beli yang ramai. Berbeda dengan Simpang Tiga
Redelung, ibukota Kecamatan Bukit yang dulu kuingat nyaris seperti
kota mati. Sangat berbeda dengan Pondok Baru yang merupakan ibukota
kecamatan Bandar yang merupakan kota kedua terbesar di dataran tinggi
Gayo setelah Takengen.

Keluar dari Kota Simpang Tiga Redelung kami melintasi desa Bale yang
juga cukup familiar bagiku. Dulu waktu kecil aku cukup sering
berkunjung ke sini karena aku punya seorang kerabat yang tinggal di
desa ini. Kami terus melewati simpang Isaq Busur, melintasi Wih ni
Konyel tempat kerabatku yang tinggal di desa Bale tadi pernah punya
kebun kopi. Yang paling kuingat dari kebun kopi ini adalah pohon jambu
air yang  dulu ketika aku masih kecil selalu kupanjat setiap musim
berbuah. Pohon jambu itu tumbuh di sisi kebun yang curam dekat alur
sungai kecil yang memisahkan kebun milik kerabatku ini dengan kebun
sebelah. Tapi sekarang kulihat di atas tanah bekas kebun kopi milik
kerabatku ini telah dibangun sebuah pabrik kopi berukuran raksasa
untuk skala Pondok Sayur.

Tidak lama kemudian kamipun tiba di desa Waq, desa kelahiran temanku
yang menikah ini yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Simpang Tiga
Redelung. Sepanjang jalan menuju ke rumah temanku ini berjejer puluhan
karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' yang datang
dari berbagai kalangan baik itu institusi pribadi, partai politik
sampai institusi pemerintahan.

Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, biasanya kalau dalam satu acara
pernikahan ada banyak karangan bunga. Ttu menandakan kalau yang
menikah itu adalah anak dari seoarng pejabat penting. Tapi banyaknya
karangan bunga yang berjejer berisi ucapan selamat atas pernikahan
temanku ini bukan karena temanku ini anak seorang pejabat penting.
Orang tua temanku ini hanyalah seorang seorang guru SD sekaligus
seorang petani kecil. Tapi temanku yang tidak sempat menamatkan
kuliahnya di Universitas Gajah Putih Takengen tapi bergelar MSc
(Master Semasa Conflict) ini sendirilah yang sekarang merupakan
pejabat tinggi di salah satu institusi penting tingkat provinsi yang
dibentuk pasca penanda tanganan MoU Helsinki.

Jika memakaii cara pandang lama dalam melihat seorang pejabat. Kondisi
rumah temanku ini, akan terlihat sangat janggal untuk ukuran rumah
seorang pejabat tinggi di sebuah institusi penting tingkat provinsi.
Orang yang terbiasa melihat mewah dan menterengnya rumah seorang
pejabat pimpro di dinas PU kabupaten yang mengelola proyek dengan
nilai beberapa milyar pasti akan terkejut melihat rumah temanku yang
dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi di institusi tempatnya
bekerja bertanggung jawab mengelola dana sedikitnya 300 Milyar rupiah
per tahun. Aneh, karena setelah beberapa tahun menjabat teman ini
hanya memiliki sebuah rumah berbentuk ruko, berdinding papan kayu
tanpa cat, beratap seng kecoklatan karena karat. Aku taksir nilai dari
seluruh bangunan rumah temanku yang sudah sangat lama dibangun oleh
orang tuanya ini tidak lebih dari 20 juta rupiah. Bentuk dan kondisi
rumah ini persis sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya dan
rumah-rumah yang kulihat di pinggir jalan selama perjalanan dari
Teritit sampai ke desa ini. Sama sekali tidak ada indikasi khusus yang
menunjukkan bahwa rumah ini adalah rumah seorang pejabat tinggi.

Kondisi ini terasa lebih janggal lagi karena saya tahu di Banda
Acehpun si teman ini tinggal di sebuah rumah bantuan untuk korban
tsunami yang dia sewa seharga 7,5 juta per tahun dari si pemilik
rumah. Rumah tempat tinggal temanku yang pejabat tinggi ini berbentuk
rumah panggung dengan dua kamar berdinding kayu, terletak di pinggir
kali yang diepanjang sisinya terlihat pemandangan bagian belakang
rumah-rumah penduduk yang menjorok ke kali. Setiap siang dan sore hari
aku bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang mencuci piring atau
pakaian tepat di seberang kali yang tidak terlalu lebar di sebelah
rumah temanku ini. Tanah urug di halaman depan rumah berwarna hijau
daun yang disewa temanku di Banda Aceh ini becek seperti kubangan saat
musim hujan tiba.

Turun dari mobil, rombongan kami disambut oleh keluarga teman ini.
Berdiri di antara anggota keluarga temanku ini, tampak beberapa
pejabat penting dari kabupaten Bener Meriah dan pejabat tinggi tingkat
kabupaten dari institusi yang dipimpin temanku ini di tingkat
provinsi. Kemudian acara pesta pernikahan inipun berlangsung. Dimulai
dari sambutan tari guel, prosesi melengkan dan seterusnya. Pesta
berlangsung sampai larut malam dengan pementasan seni Saman Gayo dan
Didong Jalu.

Lamanya prosesi pesta ini serta bervariasinya kalangan yang hadir
dalam acara pesta pernikahan temanku ini segera kumanfaatkan untuk
mempelajari situasi yang sebenarnya terjadi di Bener Meriah berkaitan
dengan Isu pemekaran provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Sepanjang
prosesi pernikahan ini aku mewawancarai berbagai kalangan. Mulai dari
warga biasa penduduk kampung Waq ini. Orang Jawa dari desa sebelah
yang melihat ramainya acara pesta datang untuk berjualan gulali.
Pedagang suku Aceh yang membuka toko kelontong di seberang jalan
sampai intelektual Bener Meriah pimpinan sebuah LSM yang juga hadir
dalam acara ini. Tidak lupa aku juga menyempatkan diri untuk
mengunjungi daerah antara Bener Kelipah dan Ramung Kengkang yang
dikenal sebagai basis utama pendukung ALA untuk menanyakan sendiri dan
merasakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi daerah ini sebenarnya,
seperti apa pandangan dan pendapat mereka terhadap isu pemekaran yang
cukup heboh belakangan ini.

Hasil wawancara serta situasi dan kondisi daerah dan masyarakat Bener
Meriah berkaitan dengan isu ALA akan aku tuliskan dalam kesempatan lain.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com

Kirim email ke