Hal yang paling saya suka dalam pekerjaan saya di bidang pariwisata ini adalah 
seringnya saya bertemu dengan orang baru yang memiliki banyak pengetahuan dan 
pengalaman menarik yang memberi saya kesempatan untuk berdiskusi tentang 
tema-tema menarik. 

Selama ini, kebanyakan klien saya adalah para pensiunan yang tidak lagi bekerja 
yang sedang menikmati masa tua. Mereka ini seringkali di masa tuanya mendalami 
hal-hal yang merupakan ketertarikannya di masa muda tapi tidak sempat dijalani 
karena banyaknya waktu yang tersita oleh pekerjaan mereka.

Jika beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan Jean Panis, seorang petani 
yang gila terbang, sekarang saya bertemu dengan Jean Pierre Bourdery, seorang 
pensiunan dokter spesialis anestesi asal Bourdeaux yang di masa pensiunnya 
menaruh minat besar dalam bidang serangga. Sebagai ahli anestesi Jean-Pierre 
sangat tertarik pada sistem syaraf serangga karena berkaitan dengan 
pekerjaannya sebagai ahli anestesi dia banyak berurusan dengan sistem syaraf. 

Menurut Jean Pierre, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana tapi secara 
ajaib sistem syaraf serangga yang dia temui ternyata banyak kemiripan fungsi 
dengan sistem syaraf manusia.

Jean Pierre sangat senang ketika saya tertarik pada ceritanya karena menurutnya 
tidak banyak orang yang tertarik mendengarkan cerita tentang hobinya tersebut. 
Setiap ada waktu luang di sela-sela kegiatan wisata, Jean Pierre 
memanfaatkannya untuk bercerita dengan saya, bahkan ketika di dalam bis yang 
membawa kami dari Jogja menuju Ambarawa, ketika guide kami yang bernama Ibu 
Agatha dengan serius bercerita tentang hal-hal menarik yang ditemui di 
sepanjang perjalanan, Jean Pierre  memilih berdiskusi dengan saya.

Dari cerita soal serangga pembicaraan kami berkembang ke hal yang lebih luas,  
mengenai lingkungan, manusia sampai ke hakikat semesta dan kisah terbentuknya 
alam. Tentang teori-teori baru yang berkembang belakangan untuk mengukur 
luasnya semesta, mengenai lubang hitam dan juga ide-ide dari penulis terkenal 
Stephen Hawking juga Fred Hoyle, ilmuan astronomi terkenal yang meneliti 
tentang proses pembentukan planet-planet. 

Meskipun kami berdua tidak memahami teorinya secara detail, kami membicarakan 
tentang batas alam semesta dalam kerangka teori Relativitas Umum (General 
Relativity Theory) yang diperkenalkan oleh Einstein, yang memperkirakan secara 
ekperimental bahwa ruang semesta itu melengkung dalam dimensi ke-4 dan 
tertutup. Tapi selain perkiraan alam semesta yang berada dalam dimensi ke-4 
itu, Jean-Pierre mengatakan kalau sekarang juga sudah ada usaha dari beberapa 
ilmuwan yang juga menggunakan General Relativity Theory yang menghitung luas 
semesta dengan perhitungan x,y,z ala dimensi tiga.

Kepada Jean Pierre saya mengatakan pikiran saya tentang anehnya semesta ini 
yang sebegitu luas tapi hanya memberi tempat pada satu noktah kecil di tepian 
galaksi bima sakti untuk menjadi tempat kehidupan berkembang. Tapi menurut Jean 
Pierre, bisa jadi faktanya memang seperti itu, tapi lebih besar lagi 
kemungkinan bahwa itu karena ketidak tahuan kita. Kita tidak tahu karena kita 
hanya bisa berpikir sebatas realitas yang bisa kita cerna menurut perangkat 
panca indera dan mental yang kita punya. Gambaran yang kita punya dalam 
kesadaran kita akan dunia realitas secara umum adalah semata-mata rekonstruksi 
dari semua yang kita tangkap dengan panca-indera dengan logika kita sebagai 
alat rekonstruksi, sehingga kita bisa memahami  saling keberhubungannya 
(hukum-hukum alam) dan juga sebab-sebabnya (hukum kausalitas), dan menjadi 
puncak dari semuanya, mengontrolnya.

Di luar itu, semua serba spekulasi. Soal kehidupan misalnya, kita hanya 
mengenal kehidupan berbasis karbon, karena memang kehidupan jenis itu yang 
berkembang di planet yang kita diami ini. Sementara di tempat lain bisa jadi 
berkembang jenis kehidupan yang berbasis unsur lain, katakan berbasis belerang 
(sulfur) misalnya. Kita tidak tahu.

Mengenai alam dan kehidupan segala isi dan permasalahannya ini, belakangan saya 
melihat banyak orang dan  malah seperti menjadi trend untuk memhaminya bukan 
berdasarkan pengamatan dengan panca indera tapi berdasarkan pada teks-teks 
kitab suci. Trend ini terutama berkembang di kalangan penganut dua agama samawi 
(abrahamic) yaitu Islam dan Kristen.

Saya sendiri adalah orang Islam yang terlahir sebagai orang Gayo yang merupakan 
bagian dari Aceh. 

Sebagaimana orang Aceh lainnya, cara kami di Gayo memandang keislaman berbeda 
dengan cara pandang banyak suku-suku lain di Nusantara dalam memandang 
keislaman mereka. Kalau beberapa suku di Nusantara yang beragama Islam bisa 
menolerir ada penganut agama yang berbeda dalam satu keluarga atau bisa 
menerima pernikahan beda agama. Tidak demikian halnya dengan kami di Aceh, bagi 
kami orang Aceh, Islam bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Di Aceh kami 
merasa menjadi Islam itu bukanlah sebuah pilihan, tapi merupakan takdir yang 
dibawa lahir. Kami orang Aceh sama sekali tidak bisa membayangkan mengganti 
agama yang kami anut sebagai mana kami tidak mungkin bisa membayangkan 
mengganti orang tua yang melahirkan kami.

Karena begitu melekatnya Islam dengan identitas kami inilah, kami orang Aceh 
bisa menolerir berbagai bentuk hujatan dan hinaan terhadap diri kami dengan 
tingkat kesabaran dan daya tahan yang bervariasi dari rendah sampai tinggi. 
Tapi kami orang Aceh sama sekali tidak bisa menerima perkataan bahwa KAMI BUKAN 
ISLAM. Kami sama sekali tidak bisa menerima omongan itu, tidak peduli siapapun 
yang mengatakannya, termasuk orang-orang berjenggot yang karena memahami Islam 
ala wahabi dan bersikap ala kaum wahabi merasa diri lebih Islam dari kami. 

Orang-orang Non-Aceh atau orang yang secara genetik Aceh tapi tidak lahir di 
Aceh dan tidak tumbuh dalam nilai-nilai keacehan, terutama orang-orang yang  
menganut pandangan bahwa sesuatu agama itu murni sebagai pilihan pribadi, 
banyak yang tidak memahami karakter kami ini. Mereka tidak bisa mengerti jika 
melihat kami bereaksi sangat keras terhadap orang yang berani mengusik 
identitas keislaman kami.

Karena itulah dulu banyak orang non-Aceh dan orang Aceh yang tidak pernah hidup 
dengan nilai-nilai Aceh tidak bisa memahami kemarahan saya saat ada seorang 
simpatisan PKS menuduh saya sebagai musuh Islam dan agen Yahudi. Sebaliknya 
orang Aceh yang dibesarkan di Aceh dan dengan nilai-nilai keacehan sangat 
memahami alasan kemarahan saya.

Tapi meskipun Islam melekat pada identitas kami dan kami semua tidak bisa 
menerima cap BUKAN ISLAM dilekatkan pada diri kami, cara kami di Aceh dalam 
memandang dan memahami Islam sebagai sebuah agama sangat bervariasi. 

Di Aceh kita bisa menemui berbagai macam karakter penganut Islam, mulai dari 
yang memahami dan mempraktekkan Islam secara ketat ala kaum wahabi yang sama 
sekali tidak menolerir segala bentuk praktek keagamaan yang bercampur dengan 
praktek-praktek kegamaan pra-islam seperti kenduri, peusijuek dan lain 
sebagainya, yang agak moderat yang ketat dalam berbagai hal tapi masih menerima 
praktek kenduri dan peusijuek sampai kepada yang masih mempraktekkan perdukunan 
dan upacara-upacara berbau animisme ala masyarakat pra-islam yang memberi 
sesajen pada benda-benda tertentu seperti pohon besar, kuburan dan batu yang 
dianggap keramat. 

Saya sendiri mengenal Islam pertama kali melalui almarhum kakek saya yang 
bernama Tgk. Ashaluddin. Seorang ulama yang cukup dikenal di tempat kelahiran 
saya. 
Almarhum kakek saya fasih berbahasa arab dan sangat gemar membaca Al Qur'an dan 
selalu terkagum-kagum dengan bahasa dan informasi yang ada dalam kitab suci 
yang sangat beliau hormati itu. Tapi satu hal yang selalu saya ingat dari kakek 
saya adalah beliau sama sekali tidak pernah berani memahami Al Qur'an secara 
literer apalagi menggunakan ayat-ayat suci dari Al Qur'an yang sangat beliau 
kagumi itu sebagai bahan argumen dalam berdebat. Kakek saya juga suka menggubah 
Sya'ir Gayo : Sa'er) dan sama seperti dalam berdebat, dalam menggubah syairpun 
kakek saya tidak pernah berani menggunakan ayat-ayat suci Al Qur'an karena 
beliau tahu beliau atau manusia manapun tidak akan pernah bisa menafsirkan Al 
Qur'an sesuai dengan maksud 'penulisnya'.

Kepada orang yang menanyakan soal sikapnya itu, kakek saya selalu mengatakan 
"Al Qur'an itu berisi ucapan sempurna dari yang maha sempurna yang hanya bisa 
dimengerti dengan tepat maknanya juga oleh yang maha sempurna, karena saya 
bukan yang maha sempurna ayat-ayat itu hanya bisa saya pahami sebatas kemampuan 
saya yang tidak sempurna". 

Dulu saat kakek saya masih hidup, saya tidak pernah benar-benar memahami 
kata-kata kakek saya ini, tapi belakangan ketika informasi yang saya dapatkan 
semakin banyak saya mulai memahami alasan kakek saya.

Sekarang saya bisa memberikan contoh sederhana dari pemahaman kakek saya 
tentang relevannya kesenjangan pengetahuan dalam membuat kemungkinan salah 
tafsir. 
Contoh sederhana itu adalah resep dokter. 

Kalau seorang dokter menuliskan resepnya dengan benar (tidak diakal-akali 
dengan tulisan yang dijelek-jelekkan), semua orang yang bisa baca tulis bisa 
membaca resep tersebut. Tapi tidak semua orang paham apa makna dari kata-kata 
yang tertulis di resep tersebut, karena itulah perlu profesi apoteker, yang 
berguna untuk menterjemahkan resep tersebut, yang bisa memahami dengan persis 
apa yang dimaksud oleh dokter (yang bahkan dapat memahami dengan maksud resep 
tersebut dengan tepat ketika dokter menulisnya dengan tulisan cakar ayam) dan 
bisa memberikan obat yang kegunaannya tepat sesuai resep.

Contoh lain, seorang ahli kimia dapat dengan mudah berkomunikasi dengan sesama 
ahli kimia menggunakan berbagai istilah aneh yang sama-sama mereka pahami. Tapi 
kalau orang awam yang tidak mengerti istilah-istilah itu ikut-ikutan merasa 
mengerti hal itu bisa menjadi masalah dan malah bisa menimbulkan kekacauan, 
kalau si awam yang sok tau yang karena menurut persepsi awamnya merasa ada yang 
tidak beres langsung bertindak menyerang sumber ketidakberesan itu. 

Contoh kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tapi sok 
tau ini adalah heboh kasus Hydrolicic Acid atau Dihidrogen Monoksida yang 
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan teh botol SOSRO. Mereka bereaksi begitu 
keras sampai menghujat pemerintah segala karena dianggap lalai mengawasi 
penggunaan Dihidrogen Monoksida sebagai bahan baku makanan. Padahal yang 
namanya Dihidrogen Monoksida itu sebenarnya tidak lain adalah Air Murni yang 
kita minum sehari-hari.

Dua contoh di atas adalah contoh antara manusia dengan manusia yang sama-sama 
makhluk, yang sama-sama tidak sempurna tapi bisa memiliki tingkat kesenjangan 
pengetahuan yang sangat berbeda dan bisa membuat kesalah pahaman akibat 
kesenjangan pengetahuan itu.

Kalau antar manusia saja bisa sangat berbeda memahami sebuah kata atau kalimat, 
apalagi dengan YANG MAHA SEMPURNA, bukankah kesombongan yang luar biasa 
besarnya namanya kalau ada MANUSIA yang untuk memahami pemikiran manusia lain 
yang pengetahuannya melebihi dirinya saja masih tergagap-gagap tapi dengan 
berani menggunakan perkataan YANG MAHA SEMPURNA sebagai bahan argumen untuk 
mendebat manusia lain?

Bukankah itu mempertuhankan diri namanya?

Al Qur'an saya percaya sebagai firman dari YANG MAHA SEMPURNA tapi karena 
tertulis dengan tulisan yang bisa dipahami manusia, kita bisa membacanya, kita 
bisa membacanya dengan bacaan yang benar karena ada ahli tajwid yang bisa 
membenarkan kesalahan ucapan kita, sebagaimana seorang ahli membaca tulisan 
bisa membaca resep dokter dengan benar.

Tapi untuk mengerti persis seperti apa maksud ayat-ayat yang SEMPURNA itu 
seperti maksud yang menurunkan firman itu JELAS dibutuhkan syarat bahwa yang 
membaca juga memiliki pengetahuan yang PERSIS sama soal materi yang dibicarakan 
dengan yang menurunkan firman. Seperti untuk yang bisa bisa mengerti PERSIS 
maksud resep dokter, yang  dibutuhkan adalah seorang apoteker, bukan seorang 
yang ahli membaca tulisan tangan.

Dalam Al Qur'an, YANG MAHA SEMPURNA banyak menjelaskan soal diriNya, alam 
semesta dan juga manusia. Karena DIA adalah YANG MAHA SEMPURNA. Dalam bayangan 
saya, ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman menurunkan ayat-ayat itu DIA tentu 
tahu persis setiap detail firmannya. Tentang Alam misalnya, saya membayangkan 
ketika YANG MAHA SEMPURNA berfirman, DIA tahu persis jumlah bintang, jumlah 
galaksi luasnya semesta dan batas-batasannya sampai ke atom-atom terkecil 
penyusunnya dan jenis-jenis kehidupan yang berkembang di sana, kapan awal dan 
akhirnya bahkan sampai ke banyak hal lain yang tidak sanggup saya pikirkan 
karena perangkat untuk memikirkan itu tidak tersedia dalam diri saya. 

Tapi apakah di planet ini ada manusia yang bisa mengerti persis maksud dari 
YANG MAHA SEMPURNA ketika berkata seperti itu?

Dari pembicaraan dengan Dr. Bourdery,  saya bisa memahami betapa luasnya alam 
ini dan betapa sedikit yang kita ketahui dan betapa terbatasnya pengetahuan 
kita sebagai manusia dibandingkan dengan 'sesuatu' yang kita percaya telah 
menciptakannya sehingga sayapun sependapat dengan kakek saya bahwa TIDAK ADA 
SATUPUN MANUSIA YANG BISA MEMAHAMI AL QUR'AN PERSIS SAMA SEPERTI MAKSUD 
PENULISNYA yang dipercaya adalah 'sesuatu' yang sama dengan yang menciptakan 
alam semesta ini. 

Karena itulah saya merasa tidaklah relevan seorang manusia mengutip ayat dari 
kitab suci untuk berdebat. Hakekat Tuhan sendiri bagi saya adalah sesuatu yang 
bersifat pribadi yang hanya bisa dihayati dari pengalaman rohani masing-masing 
individu manusia. Saya berpandangan begitu karena bagi saya YANG MAHA SEMPURNA 
itu tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan juga TRANSENDEN yang artinya diatas 
atau diluar kemampuan logika manusia.

Tapi sedikit sekali orang yang sependapat dengan saya dan banyak sekali 
orang-orang yang belajar dalil-dalil agama, yang mempelajari Al Qur'an lengkap 
sampai ke arti per khalimah, sejarah turunnya ayatnya, sejarah penafsirannya 
dan lain sebagainya lalu merasa sangat mengerti dengan maksud ayat-ayat itu 
lalu menjadikannya sebagai bahan argumen untuk memaksa manusia lain untuk 
mengikutinya, manusia lain yang menentang pendapat orang-orang yang belajar dan 
ahli dalam dalil-dalil agama ini dibuat seolah-olah menentang pendapat YANG 
MAHA SEMPURNA.

Seperti kekacauan yang timbul akibat orang sok tau yang tidak mengerti 
Dihidrogen Monoksida yang mempost cerita itu kemana-mana. Orang-orang sok tau 
yang merasa memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis sama seperti maksudNya 
juga menimbulkan kekacauan di mana-mana. Tapi skala kekacauan dan kerusakan 
yang ditimbulkannyapun bukan hanya sebatas kekacauan yang terjadi akibat kasus 
Teh Botol Sosro yang mengandung Dihidrogen Monoksida yang mengakibatkan 
penurunan volume penjualan Teh dalam kemasan botol tersebut. 

Skala kerusakan yang ditimbulkan oleh kengototan orang-orang sok tau ini jauh 
lebih besar, orang-orang seperti ini telah membuat Islam turun ke titik 
terendah sepanjang sejarah peradabannya, bahkan menyebabkan banyak manusia 
kehilangan nyawa akibat kekejaman yang mengatasnamakan AGAMA.

Salah satu orang yang merasa mampu memahami perkataan YANG MAHA SEMPURNA persis 
sama seperti MaksudNya ini adalah  IKHWANA MEHATDI KOBAT, orang Gayo yang 
tinggal di Medan yang dengan gagah berani mengutip ayat-ayat Al Qur'an dalam 
argumennya. 

Meskipun dalam balasan ke blog saya Sang Ketua Dewan Pengurus Nasional Generasi 
Muda Masjid Indonesia ini mengatakan dia beristighfar berulang-ulang ketika 
membaca balasan saya. Tapi dengan keberaniannya menggunakan ayat-ayat Al Qur'an 
yang merupakan firman dari YANG MAHA SEMPURNA sebagai dasar argumen tentang 
Manusia dan Bumi dan segala isinya, ketika menuliskan itu dan merasa apa yang 
dia tuliskan itulah kebenaran yang tak terbantahkan, maka secara tidak 
langsung, jelas saat itu IKHWANA MEHATDI KOBAT orang Gayo yang tinggal di Medan 
ini sedang merasa dirinya adalah sesuatu yang MAHA SEMPURNA juga.

Inilah yang saya sebut sebagai SYIRIK YANG NYATA.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com





Kirim email ke