Kemarin aku cukup letih sepulang bekerja dan akupun tertidur lelap meskipun 
malam belum terlalu larut. Tapi saat lelap tertidur aku terbangun oleh suara 
nada dering SMS dari HP yang selalu kuletakkan di dekat kepalaku. Dengan mata 
yang masih mengantuk aku mengambil HP dan bersiap-siap mengutuk kalau ternyata 
SMS yang masuk itu adalah berbagai promosi tidak penting dari Indosat yang 
belakangan ini cukup gencar masuk Ke HP-ku dan kadang sangat menjengkelkan 
karena masuk di saat aku berkendara.

Tapi begitu kotak masuk kubuka, yang masuk adalah SMS dari Uun, adik angkatanku 
di Leuser dan ketika isi SMS-nya kubaca aku merasa seperti disambar petir 
rasanya. Dalam SMS-nya Uun mengatakan kalau Pak Dib telah meninggal dunia.

Pak Dib yang bernama lengkap Sudibyo yang lahir di kecamatan Blora Jawa Tengah 
adalah seorang purnawirawan TNI angkatan Darat dengan pangkat terakhir Peltu 
(Pembantu Letnan Satu) yang berperawakan cukup kecil untuk ukuran seorang 
tentara. 

Sejak Leuser, organisasi pecinta alam kami berdiri pada tahun 1986 silam, Pak 
Dib secara rutin menjadi pelatih kami setiap kali kami menyelenggarakan DIKSAR 
(Pendidikan Dasar) yang menjadi syarat keanggotaan kami. Karena dedikasinya 
yang begitu besar Pak Dib kami jadikan anggota kehormatan organisasi kami.

Aku mengenal Pak Dib pertama kali di akhir tahun 1993 saat aku mengikuti Pra 
Diksar UKM Pa Leuser, waktu itu Pak Dib memberi materi pelajaran navigasi, 
materi yang kemudian menjadi kegemaran dan keahlianku saat aku sudah menjadi 
anggota. Kemudian saat saya mengikuti Diksar, Pak Dib juga selalu hadir berada 
bersama abang-abang dan kakak-kakak yang membina aku. Saat menjalani Diksar itu 
aku benar-benar dibantai habis-habisan oleh abang-abang dan kakak-kakakku  
termasuk Pak Dib, tubuhku dipaksa bekerja sampai ke daya tahan maksimalnya. 
Tapi dalam keadaan seperti itu aku sangat merasakan betapa bijaksananya Pak 
Dib, pensiunan tentara yang sudah pernah bertempur di mana-mana ini.

Ketika itu pada malam Diksar pertama ketika tubuhku masih belum terbiasa 
menerima berbagai beban latihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, aku 
benar-benar kepayahan dipaksa oleh kakak-kakak dan abang-abang seniorku untuk 
melakukan berbagai aktivitas fisik yang luar biasa berat, mulai dari lompat 
kodok, jalan jongkok, push up sampai berguling dari puncak bukit untuk disuruh 
kembali berlari secepat-cepatnya ke puncak bukit tempat awal aku mulai 
berguling.

Ketika aku sudah sangat kepayahan dan belum ada tanda-tanda kalau abang-abang 
akan berhenti 'membina' aku, emosiku sempat naik pada salah seorang abang yang 
aku mintai tanda tangannya tapi untuk mendapatkannya banyak sekali alasan tidak 
masuk akal yang dia perintahkan padaku sampai membuat aku berpikir dia sentimen 
padaku, aku sampai sempat berpikir akan memukul abang ini. Tapi saat aku 
kepayahan seperti itu Pak Dib mengambil alih dan berhentilah penderitaanku. 
Bersama Joel Gunung temanku dari kelompok lain yang juga sudah kepayahan, oleh 
Pak Dib aku diperintahkan mendekat dan disuruh berpura-pura menjadi pengawal 
beliau dan pura-pura menembaki nyamuk-nyamuk yang mendekat kepada beliau.

Meskipun terlihat tegas saat memerintahkan aku dan Joel untuk mendekat, aku 
bisa melihat dan merasakan rasa sayang Pak Dib kepada kami melalui sorot 
matanya. Sorot mata seorang bapak yang menyayangi anak-anaknya. Perasaan ini 
terasa semakin kentara ketika Diksar berakhir dan kami diundang makan-makan di 
rumah Pak Dib.

Sebelum DIKSAR Leuser dipindahkan ke Sabang karena alasan keamanan, biasanya 
kami selalu menyelenggarakan acara puncak DIKSAR di kolam Mata Ie, tidak jauh 
dari rumah Pak Dib. Dan tiap selesai DIKSAR Pak Dib memang selalu mengadakan 
acara kenduri kecil-kecilan di rumahnya dengan mengundang kami semua, panitia 
dan anak-anak yang baru lulus DIKSAR yang seminggu penuh tidak pernah mendapat 
makanan yang layak. Sekarang aku sering berpikir entah darimana Pak Dib 
mendapatkan uang darimana untuk membiayai acara makan-makan yang mengundang 
anak-anak leuser yang rata-rata rakus luar biasa itu karena aku tahu gaji 
pensiunan seorang tentara jumlahnya tidak seberapa. Tapi dulu hal itu tidak 
pernah terpikirkan di kepalaku, dulu saat Pak Dib mengundang kami makan seperti 
itu, sama seperti teman-temanku yang lain, yang terpikir di kepalaku adalah 
bagaimana cara memasukkan sebanyak mungkin makanan ke perutku.

Di masa pensiunnya Pak Dib membuka lahan kebun di desa teladan dekat Seulimum, 
oleh Pak Dib kami sering diundang ke kebunnya dan ketika pulang selalu diberi 
oleh-oleh Pepaya dari hasil kebunnya. Belakangan desa tempat kebun Pak Dib 
berada menjadi sarang GAM yang sangat anti pada tentara. Kami semua sangat 
mengkhawatirkan keselamatan Pak Dib, tapi syukurnya sampai konflik berakhir Pak 
Dib tetap selamat dan tidak terjadi apa-apa.

Pak Dib adalah tentara yang kenyang dengan segala pengalaman tempur dan Pak Dib 
sering menceritakan pengalaman-pengalamannya itu kepada kami, yang paling 
berkesan baginya adalah ketika beliau bertempur di Timor Timur, pengalaman itu 
sering diceritakan Pak Dib pada kami. Tapi saat bercerita kentara sekali 
terlihat kesan bahwa Pak Dib tidak sedang menyombongkan diri. Sebaliknya yang 
terasa jelas adalah seorang tentara yang mengabdi dengan penuh rasa ikhlas 
kepada bangsanya. Bahkan ketika beliau menceritakan tentang pertempurannya 
dengan fretilin-pun aku menangkap kesan bahwa Pak Dib tidak membenci mereka, 
tapi justru menghormati mereka sebagai lawan yang sama-sama bertempur 
berdasarkan rasa cinta pada negara.

Begitulah, meski secara hubungan darah kami sama sekali tidak memiliki ikatan 
apa-apa, tapi di hati kami anak-anak Leuser, status Pak Dib sebenarnya bukan 
hanya sebagai seorang pelatih atau anggota kehormatan saja. Bagi kami lebih 
dari itu, kami anggota Leuser rata-rata adalah anak perantauan yang tinggal di 
Banda Aceh tidak bersama orang tua. Sehingga sosok Pak Dib bagi kami 
benar-benar adalah ORANG TUA.

Karena Pak Dib memang kami anggap sebagai orang tua, teman-teman yang sudah 
menikah dan punya anakpun sering mengajak anak dan keluarganya ke rumah atau ke 
kebun Pak Dib dan anak-anak kamipun menganggap Pak Dib sebagai kakeknya.

Di masa tuanya pak Dib mulai sakit-sakitan, tapi Pak Dib selalu menunjukkan 
senyum tulusnya jika kami anak-anak Leuser mengunjunginya dan terlihat sekali 
Pak Dib berusaha tampak tegar di depan kami. Saat saya ke Banda Aceh kemarin 
kak Cicit, salah seorang seniorku yang tinggal di Banda Aceh mengatakan sakit 
Pak Dib sudah makin parah dan dokter yang merawatnya melarang Pak Dib untuk 
terlalu banyak bergerak. Tapi hal itu tidak bisa dicegah kalau kami 
anak-anaknya datang berkunjung. Ibu Dib sering memarahinya jika begitu. Tapi 
menurut Kak Cicit, meskipun harus menahan rasa sakit, kalau mengetahui ada anak 
Leuser yang berkunjung kentara sekali tampak wajah pak Dib memancarkan aura 
gembira dan matanya menunjukkan rasa bangga.

Sejak tadi malam Pak Dib sudah tiada, tapi senyum Pak Dib, ketulusan Pak Dib 
tidak akan pernah hilang dari hati kami anak-anaknya.

Meskipun sekarang pak Dib sudah tiada, tapi aku yakin sampai akhir hayatnya 
bahkan sekarangpun di alam lain sana Pak Dib pasti merasa bangga pada kami 
anak-anaknya, yang pernah berada di bawah pembinaannya.

Pak Dib sekarang memang sudah tiada, tapi kami yakin bapak tersenyum dan bangga 
saat meninggalkan dunia yang fana ini. Kami yakin bapak tersenyum karena dalam 
hidup bapak yang singkat, bapak telah berhasil membina kami, anak-anak bapak 
yang berkat Bapak telah tumbuh dewasa menjadi manusia-manusia yang jauh dari 
sikap cengeng, yang tahan banting, yang mampu bertahan hidup dalam segala cuaca 
dan kondisi.

Meski bapak sudah tiada, pak Dib yakinlah...semangat, keikhlasan dan ketulusan 
bapak akan terus kami tularkan ke adik-adik Leuser di setiap generasi untuk 
menjadi nilai teladan di organisasi kita. 

Semoga bapak mendapat tempat yang layak di sisinya...Selamat jalan Pak Dib, 
selamat jalan bapak kami yang kami sayangi.

Dari anakmu

LL.165.US
www.winwannur.blog.com






Kirim email ke