Warisan Literer Bernama Tetralogi Laskar Pelangi
---Anwar Holid

Baru saja saya menemukan kartu voucher isi ulang seri Laskar Pelangi keluaran 
sebuah operator telepon selular. Gambarnya sama dengan versi poster film 
tersebut. Begitu melihat kartu itu, angan-angan saya mencari tahu, produk apa 
saja yang sudah memanfaatkan merchandise dari turunan karya ini? Apa sudah ada 
cangkir dan handuk bergambar Laskar Pelangi? Mendadak saya membatin, "Kalau 
sudah begitu berhasil menyelusup ke banyak celah kehidupan, apa buku itu pantas 
disebut sebagai warisan literer bangsa Indonesia?" 

Pertanyaan ini seakan-akan terasa "grandeur", tapi entah kenapa saya tergoda 
untuk menemukan jawabannya. Boleh jadi karena meledaknya tetralogi Laskar 
Pelangi membuat saya mengira bahwa novel ini merupakan contoh sempurna dari 
teori "Black Swan" (Angsa Hitam), yakni sesuatu yang muncul secara mendadak, 
kebetulan, namun pengaruhnya mampu meruntuhkan pandangan dunia sebelumnya.

Saya mengeksplorasi sejumlah komentar terhadap tetralogi tersebut. Cukup banyak 
komentar tersedia, bahkan sebuah situs mencuplik pendapat saya sendiri terhadap 
Laskar Pelangi, yakni berasal dari kolom Selisik (Republika), pada 30 Januari 
2006: "Laskar Pelangi nyata-nyata mampu menarik perhatian publik dan membuat 
banyak orang merasa terlibat." Waktu itu saya menghadiri talkshow di Galeri 
Soemardja, ITB beberapa minggu setelah novel itu terbit. Orang-orang membahas 
isu pendidikan di dalamnya. Salah satu aspek menonjol yang lahir dari fenomena 
Laskar Pelangi ialah betapa tetralogi ini mampu menjadi bahan pembicaraan 
banyak orang terutama dalam hal pendidikan dan berhasil memenuhi selera massa 
yang begitu besar---meski golongan yang resisten juga terus-menerus 
mempertanyakan ada apa di balik fenomena tersebut. 

Saya butuh pendapat yang relevan dan cukup menguatkan bahwa tetralogi ini 
memang pantas untuk dinisbatkan sebagai warisan literer Indonesia, kira-kira 
setara bila kita dengan bangga menyebut-nyebut bahwa sebuah buku tertentu 
pantas masuk dalam kategori masterpiece (adikarya)? Adakah syarat tertentu yang 
membuat sebuah buku bisa dianggap sebagai warisan literer? Atau boleh 
semata-mata dilihat dari penerimaan publik? 

Misal pada kasus gambar kartu voucher isi ulang tadi. Operator telepon selular 
memilih mengeluarkan kartu voucher seri para pesohor jelas karena alasan dan 
sasaran khusus, di antaranya ialah mempertimbangkan faktor popularitas. Seperti 
dulu saya pun pernah mengambil kartu voucher bergambar Coldplay, grup rock asal 
Inggris yang mendunia. Karena image mereka sudah begitu familiar, operator 
berharap massa bisa dengan mudah menyerap komoditas tersebut. Di sisi lain, 
produser merasa telah mengeluarkan sesuatu yang berharga, collectible (pantas 
dikoleksi dan dicari-cari), dan membanggakan buat pangsa pasarnya. 

Begitu juga halnya dengan Laskar Pelangi. Sebagai komoditas, dikemas lewat 
berbagai media Laskar Pelangi tetap mampu menarik minat banyak orang. Berbagai 
produk turunan dari sana pun tetap diserbu pembeli, bahkan berpotensi menjadi 
fetish. Itu menunjukkan mereka sama-sama merasa ikut memiliki atas sebuah 
produk. Ingin menjadi bagian dari budaya massa.

Komentar Riri Riza (sutradara) dan Mula Harahap (pelaku penerbitan) terhadap 
novel tersebut mungkin cukup bisa menggambarkan kekuatan kandungan sosio-kultur 
di dalamnya. Kata Riri, "Andrea Hirata memberi kisah indah tentang keragaman 
dan kekayaan tanah air, sekaligus memberi pernyataan keras tentang realita 
politik, ekonomi, dan situasi pendidikan kita. Tokoh-tokoh dalam novel ini 
membawa saya pada kerinduan menjadi orang Indonesia." Sementara Mula 
berkomentar, "Cerita-cerita yang dituturkan oleh Andrea Hirata ini menjadi 
menarik karena ia diletakkan dalam setting Magai yang terpencil itu, tempat 
budaya Melayu berinteraksi dengan budaya Cina Khek, dimana ekonomi nelayan 
berinteraksi dengan ekonomi perusahaan tambang timah, dan nilai moral Islami 
berinteraksi dengan nilai modern yang dekaden."

Lepas dari sejumlah bocel yang diperlihatkan oleh para pengkritik untuk 
membuktikan kelemahan kisah tersebut, tetralogi Laskar Pelangi menyimpan banyak 
daya tarik. Begitu kuat dayanya, hingga bisa mempengaruhi keluarga-keluarga 
yang 
awalnya boro-boro mau belanja buku selain buku wajib untuk sekolah anaknya, 
akhirnya rela membelikan novel itu dengan harapan agar anaknya terinspirasi 
oleh Ikal dan kawan-kawan.

Kritik yang paling menarik minat saya terhadap tetralogi tersebut ialah kajian 
sisi poskolonialisme di dalamnya. Topik ini mula-mula muncul dari esai Heru 
Hikayat---yang lebih terkenal sebagai kurator seni rupa daripada kritikus 
buku---untuk diskusi lain Laskar Pelangi di sebuah universitas. Persoalan itu 
muncul lagi dari esai "Mengantar dari Luar" (Puthut E.A.) dan buku LASKAR 
PEMIMPI; Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi (Nurhadi Sirimorok). Ketiga 
orang ini penasaran, kenapa Ikal begitu terpikat pada Jakarta, sementara 
masyarakat kaumnya menganggap bahwa Jawa merupakan simbol peradaban, kemudian 
saat dewasa menilai Eropa sebagai jantung kemajuan umat manusia. Mereka 
menemukan ternyata Ikal inferior terhadap budaya sendiri, dan kerap 
menjadikannya sebagai bahan olok-olok. Ironi yang menghibur. Kritik Puthut E.A. 
masuk akal: "Semoga akan ada banyak karya yang mengkritisi isi produk sastra 
kita; semoga ada yang punya waktu luang, kesabaran dan
 keberanian untuk membeberkan dimensi politik dan ekonomi sastra kita. Tanpa 
pengetahuan soal itu, para pelaku sastra ibarat bermain pedang di lanskap 
gelap."

Di Maryamah Karpov (Bentang, 2009)---novel terakhir tetralogi Laskar 
Pelangi---olok-olok itu sangat terasa, sampai menghabiskan hampir seperempat 
bagian isi buku. Meski begitu, Ikal kembali pada akarnya, menggali dan 
mengagungkan kekuatan budaya setempat, menggunakan warisan leluhurnya. Dia 
berani menanggalkan atribut kebanggaan setelah merantau amat jauh dari luar 
pulau untuk menyadari betapa kaumnya sendiri memiliki sesuatu yang pantas 
dibanggakan. 

Sebagai produk budaya, tetralogi Laskar Pelangi cukup universal, ia bisa 
dinikmati baik oleh orang dewasa dan anak-anak. Isu utama yang muncul dari 
komoditas produk tersebut ialah soal pendidikan, warisan budaya, identitas, dan 
penghormatan pada orangtua. Rupanya, publik juga menerima strategi tersebut 
dengan antusias. Ini terlihat dari reaksi para guru, orangtua, murid-murid, 
pembaca buku, juga penonton film. Produk turunannya boleh dibilang selalu 
mereka tunggu. Seperti sekarang, ketika film Sang Pemimpi sedang dalam tahap 
proses produksi.

Nah, apakah publik akan benar-benar menganggap rangkaian buku Laskar Pelangi 
ini sebagai warisan budaya atau semata-mata komoditas, bisa jadi bergantung 
pada penilaian masing-masing orang, terutama seberapa berharga makna buku 
tersebut buat dirinya.[]


ANWAR HOLID, eksponen TEXTOUR, Rumah Buku Bandung. Bekerja sebagai editor & 
penulis freelance. Blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141

Copyright © 2008 oleh Anwar Holid

Informasi lebih banyak di:
http://www.klub-sastra-bentang.blogspot.com
http://www.mizan.com

***
Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke