Melestarikan Folklor, Mempromosikan Bahasa Lokal
 
Oleh Djoko Pitono 
 
ilang
jenenge kawula,
sirna
datan ana keri,
pan
ilang wujudira,
tegese
hyang widi,
ilang
wujude iku,
anenggih
perlambangipun,
lir
lintang karainan, 
kasorotan
ngilang ing rudita.
 
                                                                                
                       Sunan Drajat, dalam Sinom
 
Lembaga Kebudayaan Lamongan (LKD) bekerjasama
dengan Pemerintah Kabupaten Lamongan menggelar acara seminar tentang folklor
Lamongan, rembug budaya, dan juga bedah novel Pendekar Sendang Drajat (PSD)
karya sastrawan dan budayawan terkenal Viddy AD Daery.

Apresiasi yang tinggi layak diberikan kepada
para pemrakarsa dan pendukung acara ini. Bukan basa-basi kalau saya sampaikan
hal ini. Di tengah maraknya gempuran beragam produk asing, termasuk karya
sastra dan budaya, muncul perhatian untuk tidak sekedar mengingat folklor
tetapi juga melestarikan dan mempromosikannya. Sudah sepantasnyalah bila Pemkab
Lamongan mendukung acara ini, karena dalam beberapa tahun ini laporan dan
berita “keajaiban”  daerah ini umumnya
menyangkut perkembangan ekonomi dan perdagangan. Tak ada yang membantah bahwa
Lamongan memang maju pesat, terutama sejak daerah ini dipimpin oleh Bupati
Masfuk. 


Tetapi bagaimana kondisi kehidupan seni dan budaya di daerah ini,
itulah yang bakal didiskusikan dalam acara hari ini.
Kita sekarang berbicara tentang folklor.  Makhluk apakah ini? Dalam Kamus Besar 
Bahasa
Indonesia, folklor didefinisikan sebagai adat-istiadat tradisional dan cerita
rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Atau, ilmu
adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang tidak dibukukan.

Menurut Prudentia MPSS, staf pengajar pada
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), folklor dibagi dalam dua
jenis, yaitu tulisan (keberaksaraan) dan lisan. Folklor tulisan di antaranya
meliputi arsitektur rakyat, kerajinan tangan, tenun tradisional, dan musik
tradisional. Folklor lisan di antaranya berupa cerita rakyat, legenda, mite,
dongeng, hukum tak tertulis, dan mantra-mantra pengobatan.

Mungkin ada yang bertanya, boleh jadi dengan
nada sinis, untuk apa di tengah globalisasi seperti sekarang ini kita
membicarakan produk-produk kuno seperti itu? Zaman gini masih bicara folklor?
Adalah hak seseorang untuk bicara seperti itu. Tetapi jelas, folklor bukanlah
cerita omong kosong. Prudentia menegaskan, folklor adalah budaya yang mampu
digunakan sebagai jendela atau alat untuk memahami masyarakat atau komunitas
yang menciptakannya, termasuk kecenderungan-kecenderungan penguasa.

Terkait dengan ini, Lamongan adalah daerah yang
kaya dengan folklor. Cerita-cerita rakyat yang terkait dengan Sunan Drajat saja
amat banyak. Apa yang telah dirintis oleh Saudara Viddy adalah upaya menggali
dan mempromosikan warisan budaya masyarakat Lamongan. Novel Pendekar Sendang
Drajat (PSD) memang kisah fiktif, tetapi Viddy mampu mengemasnya sedemikian
rupa dengan warna sejarah di seputar Sunan Drajat. Sudah lama masyarakat kita
tidak menikmati cerita-cerita silat berlatarbelakang sejarah Jawa, seperti 
Bende Mataram dan Api di Bukit Menoreh. Novel PSD akan mengisi kekosongan 
tersebut.

Siapa yang akan menyusul Saudara Viddy? Saya
pribadi yakin, daerah ini memiliki bibit-bibit pengarang dan intelektual yang
bagus. Kepedulian para cerdik pandai di daerah ini, juga Pemkab Lamongan, akan
memacu semangat generasi muda untuk berkarya. Tetapi yang jelas, untuk menggali
khasanah folklor di Lamongan dan mempromosikannya tentu memperlukan ketrampilan
dan pemahaman hal-hal yang terkait dengan itu. Salah satunya adalah ketrampilan
dan permahaman bahasa daerah atau lokal. 


Untaian kata-kata yang indah dalam tembang Sinom
yang diwariskan Sunan Drajat seperti ditulis di awal tulisan ini adalah sekedar
contoh. Seberapa banyak anak-anak sekolah kita yang memahami makna tembang
tersebut?
 
Pentingnya Bahasa Lokal
 
Di tengah iklim globalisasi sekarang ini, bahasa
lokal terasa makin tersingkir. Apa yang sering dibicarakan adalah peranan
bahasa Inggris yang makin kuat. Bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak
digunakan di internet. Di banyak negara, para pembela bahasa mengeluh karena
bahasa Inggris "merusak" bahasa-bahasa lokal. Di Prancis, Rusia, Italia, 
Indonesia hingga Brasil di Amerika Selatan, penggunaan bahasa Inggris menyeruak 
di
mana-mana. 


Papan-papan reklame dan iklan sering menggunakan
bahasa Inggris. Di seminar-seminar, sebagian pembicara sering menggunakan
bahasa Inggris, juga menggunakan kutipan-kutipan dalam bahasa itu. Mengapa
bahasa Inggris tak terbendung?

Pentingnya bahasa Inggris sekarang adalah
kenyataan yang tidak bisa ditolak. Bahasa itu berkembang pesat karena besarnya
pengaruh ekonomi, politik, budaya hingga militer Inggris, yang kemudian
digantikan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk Internet juga banyak dimotori Amerika
sehingga kekuatan bahasa Inggris pun makin kokoh. Bahasa Inggris memang telah
menggantikan kedudukan bahasa Jerman di bidang iptek dan bahasa Prancis di
bidang diplomasi. 


Tetapi di tengah gencarnya penyebaran bahasa
Inggris, sebenarnya juga sedang berkembang kesadaran baru tentang pentingnya
peran bahasa-bahasa lokal dan bahasa-bahasa etnis. Berkembang pula upaya secara
"diam-diam" untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang hampir punah. Di
negeri ini, misalnya, para pakar bahasa telah memperingatkan bahaya punahnya
bahasa-bahasa daerah. Termasuk bahasa Jawa, meskipun penuturnya cukup besar.

Kecenderungan menyangkut bahasa-bahasa yang
tersingkir itu sebenarnya memberikan banyak pelajaran berharga. Orang boleh
jadi akan diketuk hatinya untuk kembali ke fitrahnya semula, sebagai manusia
yang tak bisa dilepaskan dari bahasa ibu (native
tongue). Selain itu, mungkin juga tumbuhnya kesadaran betapa pentingnya
penghormatan pada setiap bahasa yang ada untuk memelihara harmoni di
masyarakat. Bukan tak mungkin pula akan tumbuh minat dan motivasi untuk
mempelajari bahasa-bahasa nenek moyang, suatu cara untuk memahami budaya
masyarakat tertentu secara utuh.
.
Setiap Bahasa Indah
 
Kesadaran untuk menyelamatkan bahasa lokal juga
muncul di masyarakat Indian di Santa Fe, New Mexico,
Amerika Serikat. Dalam acara Native Youth
Language Fair,  para siswa SMU
keturunan Indian menyanyikan lagu-lagu dalam beragam bahasa Indian. Tak kurang
13 bahasa yang digunakan, mulai dari bahasa Indian Cherokee dan Comanche hingga
Oneida, Navajo dan Apache.

Adapernyataan yang memedihkan sekaligus membesarkan hati dari acara tersebut.
Direktur Institut Bahasa Pribumi, Inee Yang Slaughter, mengatakan, meskipun
tempat-tempat perlindungan masyarakat Indian di seluruh Amerika makin
meningkat, banyak suku Indian memandang bahasa-bahasa mereka sudah punah. Dari
300 bahasa Indian atau lebih, hanya 175 bahasa yang masih hidup.

Dari bahasa-bahasa itu, hanya 20 bahasa yang
dipandang sebagai sebagai Kelas A, artinya digunakan oleh semua usia; 30 bahasa
masuk Kelas B, yang hanya dipakai orang dewasa; 70 bahasa masuk Kelas C, yang
hanya dipakai kakek dan nenek; dan 55 bahasa termasuk Kelas D, yang hanya
digunakan orang-orang Indian berusia di atas 70 tahun.

Lenyapnya bahasa-bahasa itu tak dipisahkan dari
sejarah kelam hubungan ras di Amerika di masa lalu. Sejarah mencatat bagaimana
upaya asimilasi pada abad ke-19 menorehkan kesengsaraan pada masyarakat Indian.
Banyak anak Indian dipisahkan secara paksa dari keluarganya dan dimasukkan
asrama-asrama sekolah. Mereka dipaksa menghilangkan semua identitasnya sebagai
orang Indian. Kadang-kadang mereka dipukuli karena berbicara bahasa ibunya.

Selain menyangkut kebijakan, perselisihan antara
kelompok masyarakat dengan kelompok lain atau suatu negara dengan negara lain
sering pula berakar dari ketidakpahaman bahasa dan budaya. 


Satu poin penting di sini adalah tidak ada
bahasa yang lebih unggul atau lebih indah. Setiap bahasa indah dan punya
keunggulan sendiri. Hanya orang yang congkak --atau sebaliknya rendah diri --
yang percaya satu bahasa tertentu lebih indah, lebih merdu atau lebih rasional
dari bahasa lainnya. Terlepas dari kekuatan perannya, setiap bahasa tentu punya
keindahan. Kata "jujur" sama derajat dan sama merdunya dengan honest, sama 
dengan  eerlijk, juga tak beda dengan  honnete.

Demikian juga kalimat bahasa Jawa Panjenengan pidalem wonten ing pundi? Kalimat 
ini tidak lebih rendah tingkatnya, juga tidak kurang merdunya dibanding
kalimat dalam bahasa lain: Di mana anda tinggal?, atau Where do yo live?, atau 
Waar
woont u?, dan juga Ou demeurez-vous?.
Penghormatan pada eksistensi bahasa-bahasa lokal
dewasa ini memang tuntutan.  Kita memang
harus semakin sadar bahwa dalam galaksi bahasa, setiap bahasa seseorang adalah
bintang.

Persoalannya, ketika kita bicara tentang folklor
di negeri ini, termasuk di Lamongan, apakah senjata kita seperti bahasa daerah
(dan kuno) sudah memadai?  (*)
 
Djoko Pitono adalah Jurnalis, Pengarang, dan
Editor Buku.


      Lebih bersih, Lebih baik, Lebih cepat - Yahoo! Mail: Kini tanpa iklan. 
Rasakan bedanya! http://id.mail.yahoo.com

Kirim email ke