topic: 
                Buku & Membaca >
Resensi Buku: 

Pendekar Masa Transisi -- By : Sjifa Amori
                
                
                

        
        

        

        



        
          
          Comments

  
(showing 1-1 of 1)
  
    (1 new)
  



        
      post a comment »
          
        
        
          date
            
          
            newest »
          
        





                
                

  
  
    
        
                
                  message 1:
                
                by
                Amang, Moderator
                
      
        (new)
      
        
        
                07/14/2009 09:27AM
        
        

  
  
        

    
          Judul: Pendekar Sendang Drajat (Pesisir Utara Majapahit di Abad Ke-16)

Penulis: Viddy AD Daery

Terbit : Mei 2009

Penerbit: Pustaka Alvabet

Tebal : 236 hlm



Raden Ahmad atau Pendekar Sendang Drajat, adalah potret pahlawan
yang muncul demi membenahi situasi dengan keutuhan sifatnya manusianya.



BARANGKALI Pendekar Sendang Drajat termasuk salah satu novel silat
berlatar sejarah yang gaya tulisannya paling berapi-api sejak awal
cerita hingga klimaksnya. Meski penulis Viddy Ad Daery mengaku kalau
proses penulisan Pendekar Sendang Drajat lebih lama dibandingkan novel
karyanya yang lain -materi cerita sudah memenuhi otak penulis sejak
kanak-kanak-, alur cerita mengalir begitu lancar seolah ditulis tanpa
jeda karena pengarang seperti tak pernah kehabisan inspirasi.



Mungkin juga karena materi cerita sudah tertanam di benak penulis
sejak kecil, ada daya tarik kanak-kanak karakter penceritaan Pendekar
Sendang Drajat, yaitu gaya berkisah ceplas-ceplos penuh keyakinan dan
keberanian yang jadi pesona novel silat yang satu ini. Berdasar
kekuatan riset sejarah yang kemudian diracik bebas dengan fantasi
mengenai pendekar muslim ideal, Viddy menyuguhkan dimensi masa lalu
yang menyegarkan.



Sejak awal, pengarang sudah mengawali ceritanya dengan latar waktu
masa-masa senja kekuasaan Majapahit Raya. Ini adalah era “kegelapan”
yang menggiring wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya masuk dalam
kondisi chaos karena kehilangan pegangan. Termasuk sendi kehidupan dan
sistem pemerintahan di wilayah otonom Sendang Duwur di daerah Kerajaan
Pamotan, Tuban (kini Lamongan).



Di masa itulah, seperti dituturkan Viddy, yaitu sekitar tahun
1565-an, hidup seorang jagoan silat berusia 30-an yang mumpuni dalam
olah kanuragan, olah perkelahian. Dialah Raden Ahmad yang lebih dikenal
dengan sebutan Pendekar Sendang Drajat.



Kelihatan tak mau berbasa-basi dengan plot, setting kekacauan ini
menghalalkan pengarang untuk langsung menampilkan Raden Ahmad di awal
tulisannya. Pengarang langsung bergulat dengan konflik yang akhirnya
juga menjadi seluruh pokok permasalahan yang mesti dihadapi sang
pendekar.



Meski baru sedikit saja diulas tentang kepiawaian si tokoh utama,
perkelahian dan interaksi yang kemudian terjadi akan segera mengungkap
tentang kepribadian pendekar. Tentunya masih ada serapan karakter
jagoan klasik seperti gagah, bijaksana, kharismatik, dan tentu saja
berakhlak mulia. Bedanya, Pendekar Sendang Drajat agak galak dan tidak
bertele-tele. Bisa jadi karena pengaruh suburnya pertumbuhan Islam yang
menggantikan Hindu di masa itu, maka ciri khas pendekarnya pun lekat
dengan budaya dakwah dan penegakan nilai Islam selayaknya para Sunan
yang menyebarkan Islam di bumi nusantara.



Pendekar Sendang Drajat sesekali menghabisi lawan tanpa
pertimbangan yang lambat jika ia yakin musuhnya hanya akan menambah
maksiat di bumi. Misalnya ketika pendekar ini membantu Ki Suryadadi
menghadapi gerombolan penjahat sadis pimpinan Ki Suradadu. Tanpa
ragu-ragu, Pendekar Sendang Drajat memenggal kepala lawannya yang sudah
menyerah karena segala kebejatannya terbongkar.



“Rupanya kau adalah manusia yang sangat berbahaya jika dibiarkan
hidup, Darmo,” seru Raden Ahmad gusar mengetahui kalau musuhnya
menculik banyak perempuan untuk dijadikan “penghibur”. Segeralah ia
mencabut pedang dan menebaskannya ke leher laki-laki yang dipanggil
Darmo tersebut.



Adegan yang lumayan sadis macam ini memang umum dijumpain dalam
novel silat. Viddy pun mengemukakannya dengan gamblang selayaknya
keputusan macam itu bukan sesuatu yang luar biasa. Untungnya, penulis
mengimbangi kekelaman yang penuh adu cabut-nyawa ini dengan kejenakaan
yang diselipkan di sana sini.



Humor menggelitik dalam novel ini tak membutuhkan eksistensi sosok
konyol tertentu, karena sesungguhnya yang menggelitik adalah gaya tutur
pengarang. Viddy terbilang piawai memilih timing yang tepat untuk
melontarkan hal-hal yang lucu sehingga karakter mana pun bisa jadi lucu
kapan pun dimana pun. Terkadang panas hati, lembut, humoris, atau
konyol karena jatuh cinta, adalah sifat dasar manusia yang dipaparkan
dengan jujur oleh pengarang denga membiarkannya terjadi pada beberapa
tokoh cerita. Biasanya sisi manusia yang kompleks macam ini
disederhanakan dalam sebuah cerita untuk mempertegas positioning peran
dan karakter.



Makanya tak heran kalau Raden Ahmad yang berwibawa juga bisa
bercanda dan tokoh jagoan lainnya macam Raden Khavid juga bisa
bertingkah konyol luar biasa saat melihat gadis idaman. Yang juga kocak
dengan masih sarat muatan sejarah adalah ketika pengarang menggambarkan
reaksi masyarakat saat menerima kedatangan pertama pelaut Belanda di
wilayah tersebut. Selain berkumpulnya masyarakat menonton keajaiban
fisik bangsa asing yang merejka anggap raksasa, Viddy dengan santai
menciptakan percakapan lintas bahasa yang mengundang senyum. Misalnya
ketika bangsawan Belanda salah mengeja nama Raden Khavid.



“Ah…I see, you are David, young man of the richest man,” kata si
bule beramah tamah. Setelah diralat, ia pun meminta maaf, “It’s so easy
to call David, and so difficult to call Khavid.”



“Lhhaa, bisa gitu kok.”



“Hahaha..yeah yeah,” mereka semua tertawa atas kelucuan yang
ditimbulkan keterbatasan pemahaman bahasa masing-masing. Barangkali
hanya tertawa itulah bahasa universal yang bisa dimengerti oleh semua
bangsa.



Adegan di atas sarat akan berbagai pesan yang dibawa pengarang
dalam sastra silat ini. Pertama adalah kemampuannya memanfaatkan adegan
menjadi perbincangan menarik yang tidak membosankan, kemudian penulisan
bahasa Inggris yang apa adanya dan tidak terlalu muluk namun sangat
kontekstual, lalu juga adanya relevansi gambaran penerimaan masyarakat
terhadap bangsa asing dengan kondisi pengetahuan umum di zamannya,
meskipun mungkin tidak terlalu akurat. Seperti yang diungkapkan
sastrawan Eka Kurniawan dalam literatur mengenai sejarah dalam cerita
silat di blog pribadinya bahwa salah satu sejarah menjadi elemen utama
dalam novel adalah karena ia menjadi media yang dipergunakan untuk
memperkuat unsur-unsur fiktif di dalam karya. Sejarah tidak menjadi
elemen penting di sini meskipun ia mengambil porsi yang sangat
signifikan.



Bagaimanapun, karya Viddy ini bukanlah novel sejarah seperti tujuan
utamanya ia dibuat, melainkan sebuah kisah fiksi silat berlatar sejarah
yang menurut kritikus sastra dan dosen Universiti Malaysia Mohamad
Saleeh Rahamad: telah menjalankan perannya sebagai karya sastra yang
membangunkan jiwa manusia untuk sadar akan tugasnya sebagai khalifah
Allah di muka bumi. Meski begitu, penulis pentalogi Gajah Mada Langit
Kresna Hariadi, melihat kisah Raden Ahmad ini sebagai karya yang
menempatkan pembaca untuk memahami sejarah tanpa pernah berniat
mempelajarinya. (Sjifa Amori)



Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 12 Juli 2009 
    
        


  
  
        
          
            reply
            |
          
                
                
                flag
      *
        
  
  



  







  back to top



  

  

  


      Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman 
ke Yahoo! Messenger sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke