mediacare
----- Original Message ----- 
From: Kumoratih Kushardjanto 
To: swara_maharddh...@yahoogroups.com 
Sent: Friday, November 20, 2009 12:04 PM
Subject: THE MASK - Pergelaran Topeng Langka Nusantara


“The Mask”

Menguak Tradisi Topeng Nusantara yang Kini Langka

Menampilkan:

TARI TOPENG HUDOQ KENYAH & HUDOQ MODANG

Ditarikan oleh Suku Dayak Kenyah dan Dayak Modang, Tanjung Manis, Kalimantan 
Timur

TARI TOPENG PRIANGAN

Karya Mpu Topeng Priangan, Nugraha Sudiredja (alm)

Ditarikan kembali oleh Risyani SST., MSn.

Kurator : Deddy Luthan

 

Rabu, 25 November 2009

Lobby Lounge Grha Bimasena, The Dharmawangsa

Jl. Dharmawangsa Raya 39, Jakarta

19.00 – 22.00 WIB



Program ini dipersembahkan oleh GELAR, bekerjasama dengan BIMASENA, the Mines 
and Energy Society untuk keberlanjutan seni tradisi Nusantara. Informasi lebih 
lanjut silakan hubungi : Hastin 021-7258668 / Wanti 021-7226575

 

 

Indonesia memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi, oleh sebab itu rentan 
sekali mengalami kepunahan. Diantara kekayaan tradisi ini, banyak yang kini 
sudah sangat langka. Salah satunya seni topeng. Seni topeng dapat dikatakan 
tidak asing dalam budaya Nusantara. Hampir sebagian besar kelompok etnis di 
Indonesia mengenal tradisi topeng dalam berbagai bentuk dan fungsi. Tradisi ini 
berakar kuat sejak jaman prasejarah. Kedua jenis topeng yang akan ditampilkan 
pada The Mask mewakili beragamnya kesenian topeng di Nusantara.

 

Pada hari Rabu, 25 November 2009, bertempat di Lobby Lounge Grha Bimasena, 
Hotel The Dharmawangsa, dua jenis seni pertunjukan topeng tradisi yang kini 
sudah semakin langka, akan digelar di hadapan publik dalam program The Mask. 
Kedua topeng itu adalah topeng Priangan karya maestro topeng Priangan Nugraha 
Sudiredja (alm) yang akan ditarikan oleh murid sekaligus pewaris langsungnya 
yaitu Risyani SST., MSn., dan topeng hudoq kita’ Kenyah dan hudoq Modang yang 
akan ditarikan langsung oleh masyarakat suku Dayak Kenyah dan Dayak Modang 
Tanjung Manis, Kalimantan Timur.

 

Program The Mask ini diprakarsai oleh Gelar, produser program berbasis seni 
budaya Indonesia, bekerjasama dengan Bimasena The Mines and Energy Society, 
sebuah komunitas pertambangan dan energi yang terdiri dari korporat dan 
perorangan, yang memiliki kepedulian terhadap konservasi seni budaya Indonesia. 
The Mask diselenggarakan setiap tahun, sebagai bentuk penghormatan bagi para 
maestro seni tradisi Nusantara dimana tahun ini merupakan penyelenggaraan yang 
kedua. Tahun 2008 lalu, program yang awalnya bertajuk The Mask by the Maestro 
ini menampilkan para tiga seni topeng yang kini kian langka. Ketiga topeng itu 
adalah Topeng Kedok Tiga Betawi, Wayang Topeng Yogyakarta dan Topeng Pajegan 
Bali, dimana kesemuanya akan ditarikan langsung oleh para pelaku tari topeng 
yang secara intens hidup menggeluti dunia seni topeng. Mereka adalah Kartini, 
Lantip Kuswala Daya dan I Made Djimat, dimana Mimi Rasinah, maestro topeng 
Indramayu juga hadir untuk menerima bantuan bagi pengobatannya. Kini di tahun 
kedua, The Mask kembali hadir dengan menampilkan tradisi topeng yang berbeda.

 

Tentang Topeng Langka yang Ditarikan :

1. TOPENG HUDOQ KALIMANTAN TIMUR

Menurut antropolog J.U. Lontaan, suku Dayak terdiri dari 6 kelompok besar ; 
Kenyah-Kayan-Bahau. Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Kelompok besar 
ini kemudian terbagi-bagi lagi menjadi 405 sub-etnis yang tersebar di hutan 
Kalimantan. Dari generasi ke generasi, kearifan lokal masyarakat suku Dayak 
memelihara keselarasan dengan alam. Namun deforestasi serta imigrasi secara tak 
terelakkan telah mengubah bagaimana mereka hidup. Tak mengejutkan bila 
pertunjukan ritual yang unik seperti seni topeng, sudah mulai sulit ditemukan. 
Tari topeng hudoq  ini biasanya ditarikan untuk mengawali  musim tanam padi, 
bersih desa dan merayakan panen, ditarikan terutama oleh 3 sub-etnis Dayak 
yaitu : Dayak Kenyah, Dayak Modang dan Dayak Bahau – sebagai persembahan bagi 
pencipta alam semesta. 

 

Hudoq Dayak Modang

Penari hudoq Modang menggunakan topeng kayu yang diukir dengan citra 
binatang-binatang buas dan hama, dimana badan penari ditutupi seluruhnya oleh 
lembaran-lembaran daun pisang serta penutup kepala berbulu. Ritual ini biasanya 
dibawakan oleh 11 penari dengan beragam topeng yang menggambarkan berbagai 
binatang hama. Setelah dibuka oleh seorang pawang, para penari topeng mulai 
menari mengikuti irama sampe’ sekaligus menciptakan musik melalui tubuh mereka. 
Hentakan kaki dan tangan mendominasi gerakan tari. Kostum yang terdiri dari 
lembaran dedaunan juga menghasilkan efek suara yang menambah magis tarian 
topeng ini. Pada tahap ini, para penari sudah siap menjadi medium untuk 
mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu masa tanam dan hasil panen mereka. 
Di akhir ritual, penari bertopeng manusia muncul untuk mengusir penari lainnya, 
sebagai perlambang dari enyahnya binatang pengganggu dan hama yang jahat.

 

Hudoq Kita’ Dayak Kenyah

Hudoq Kita’ yang biasa ditarikan oleh suku Dayak Kenyah juga berhubungan dengan 
siklus tanam padi. Berbeda dengan Dayak Modang, kostum yang digunakan oleh suku 
Kenyah adalah baju lengan panjang, lengkap dengan sarung dan topeng. Topeng 
yang melambangkan manusia terbuat dari kayu dengan ukiran pilin. Karena 
ukurannya sedemikian besar dan tak mungkin dipasang di kepala, maka topeng 
tersebut dipegang did epan muka si penari. Meski ditarikan oleh penari pria, 
kedua topeng manusia ini menggambarkan sepasang manusia (laki-laki dan 
perempuan). Topeng lainnya adalah hudoq kita’ yang berbentuk kotak menyelubungi 
kepala penari, terbuat dengan manik-manik yang penuh. Hudoq kita’ ini 
menggambarkan dewi padi yang akan memberikan kesuburan bagi tanah tempat mereka 
hidup dan menanam padi. Hudoq kita’ biasanya ditarikan di dalam lamin (rumah 
tradisional lamin yang berbentuk panjang), atau di teras. 

 

 

2. TOPENG PRIANGAN

Karya tarinya, Topeng Priangan, bersumber dari Topeng Cirebon gaya Palimanan 
yang penyebarannya ke wilayah Priangan dilakukan oleh dalang (penari) Topeng 
Wentar serta putri-putrinya yaitu Ami, Dasih, dan Suji. Dari catatannya 
diperoleh keterangan bahwa Nugraha, mulai memperdalam Topeng Cirebon pada 9 
September 1959 bersama Enoch Atmadibrata dan Soosman kerabat dekat R. Sambas 
Wirakusumah yang pernah belajar Topeng Cirebon kepada Wentar. 

 

R. Sambas Wirakusumah sangat berperan bagi Nugraha di dalam mewujudkan Tari 
Topeng Priangan. Beberapa pesan diberikan antara lain berbunyi: “Kang putra, 
ari ngaleueut cai Cimanuk the, kedah disaring heula” [ ananda, kalau minum air 
Cimanuk harus disaring terlebih dahulu]. Cimanuk sebagai ganti budaya Cirebon 
yang pasti memiliki perbedaan dengan budaya Priangan. Oleh sebab itu 
Wirakusumah menegaskan kembali: “ngan soal Topeng, tetep kudu disundakeun, 
Sunda oge boga tari Topeng, saurna. Topeng Cirebon keur urang Cirebon, basa na 
oge beda jeung Sunda. Pilih gerakan anu pantes keur urang Sunda, oge laguna”. 
Lagu Sunda teu kurang. [ terutama soal Topeng, tetap harus disundakan. Orang 
Sunda punya Tari Topeng, katanya. Topeng Cirebon untuk orang Cirebon, bahasanya 
juga berbeda dengan bahasa Sunda. Pilihlah gerakan yang pantas untuk orang 
Sunda, juga lagunya. Lagu Sunda tidak kurang (banyak).  

 

Tari Topeng Priangan karya Nugraha, merupakan reinterpretasi, improvisasi, 
modifikasi atau inovasi serta seleksi terhadap Topeng Cirebon sehingga terjadi 
transformasi budaya meliputi aspek gerak, tata busana, iringan, dan konsep 
estetik yang digunakannya, yang menurut Nugraha: “merubah yang kurang pantas di 
alam Parahiyangan disesuaikan dengan ‘kabeuki’ (kesukaan atau selera) Sunda. 
Karena karakter budaya Cirebon besar kemungkinannya mempengaruhi gaya tari – 
gerakan tari ada yang baik dan menguntungkan, ada pula yang sedikit merugikan. 
Misalnya gerakan kalau di Bandung biasa dilakukan oleh Longser dengan istilah 
populer ‘domba nini kencar-kencarkeun, domba nini batu jajar’ – hanya untuk 
ditertawakan. Kecuali kalau dengan pidato dalang dalam ngabodor, jika ada 
permintaan penanggap. Termasuk penyingkatan waktu penyajian dari 90 menit 
menjadi 12, 7, bahkan 5 menit sesuai kebutuhan pentas”. Dalam kurun waktu yang 
relatif singkat, antara tahun 1960 sampai dengan 1963, Nugraha menghasilkan 
Tari Topeng Klana, Tumenggung, dan Kencana Wungu. Karyanya tersebut terus 
menerus disempurnakan disesuaikan dengan kebutuhan sehingga lahir Tari Topeng 
Tiga Watak sekitar tahun 1968. Sebuah tarian yang menampilkan tiga karakter 
kedok / topeng yaitu Pamindo, Patih dan Klana yang dibawakan oleh seorang 
penari sebagaimana kebiasaan dalang (penari) Topeng Cirebon. Kemudian 
berkembang menjadi tarian bertema yang menceritakan tentang Prabu Menakjingga 
jatuh cinta dan tergila-gila kepada Ratu Kencana Wungu. Akhirnya Kencana Wungu  
terbebas dari kejaran sang Prabu berkat pertolongan Patih Logender. Tarian ini 
dibawakan oleh 3 orang penari yang berperan sebagai Ratu Kencana Wungu, Patih 
Logender, dan Prabu Menakjingga.

 

Pengembangan juga terjadi pada busana tari Ratu Kencana Wungu yang tidak 
mengenakan celana sontog serta baju kutung lagi, tetapi berbusana sinjang, 
apok, mongkrong yang menyatu dengan tutup dada, soder, serta makuta Binokasih 
susun tiga. Melalui tari Topeng Tiga Watak ini, Nugraha memperoleh kesempatan 
mengajar tari dan musik di Center for World Music and Dance Berkeley California 
tahun 1974 s.d 1975. Kini, Tari Topeng Priangan karya R. Nugraha Soediredja 
merupakan materi wajib perkuliahan praktek tari di beberapa lembaga pendidikan 
seni formal maupun sanggar-sanggar. 

Kirim email ke