Tari Cikeruhan

                
                
                 
        
         
      
                
        
        
                
        
        Kompas Jawa Barat,Sabtu, 29 Mei 2010 | 14:33 
WIBhttp://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/29/14335116/tari.cikeruhan
Oleh Fandy Hutari

Budayawan Jatinangor resah dengan seni cikeruhan. Pasalnya,
 seni yang diduga berasal dari Desa Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, 
Kabupaten Sumedang, ini sudah jarang dipentaskan di tempat asalnya. 
Seniman yang ahli bermain musik pengiring cikeruhan juga semakin langka.
Di
 kalangan masyarakat, definisi cikeruhan sering ambigu. Pada sebuah 
program Sanggar Motekar bertema "Cikeruhan Ceuk Urang Cikeruh" untuk 
meneliti keberadaan seni cikeruhan, tidak ada jawaban gamblang soal 
definisi cikeruhan. Ada yang menganggap cikeruhan itu judul tembang lagu
 Sunda. Ada juga yang menyebut bahwa cikeruhan adalah seni sandiwara, 
tari, dan genre musik.
Namun, Supriatna (58), Ketua Sanggar 
Motekar dan budayawan Jatinangor yang fokus mengangkat dan memajukan 
seni tradisi di wilayahnya, mengatakan, cikeruhan merupakan seni tradisi
 tari pergaulan yang sudah lama sekali dikenal masyarakat Cikeruh. Bias 
sejarahSupriatna mengatakan, tidak mustahil cikeruhan itu 
merupakan seni tradisi yang lahir di Cikeruh, Jatinangor. "Ya, memang 
belum ada bukti tertulis. Tapi, kalau kita analogikan, cianjuran berasal
 dari Cianjur, cigawiran berasal dari Cigawir. Begitu juga pencak silat.
 Cimande itu memang berasal dari Cimande dan cikalong memang berasal 
dari Cikalong. Jadi, kalau kita beranalogi ke sana, cikeruhan juga 
mustahil tidak ada kaitannya dengan Cikeruh," ujar Supriatna yang 
ditemui di kediamannya, Sanggar Motekar, Jalan Achmad Syam Nomor 70, 
Jatinangor.
Lebih lanjut ia menjelaskan, cikeruhan merupakan seni 
tari pergaulan yang usianya sudah sangat tua. Embrionya lahir dari 
tradisi ritual panen padi sebagai wujud rasa syukur kepada Dewi Sri 
Pohaci (dewi kesuburan) sekitar abad ke-18. Saat itu orang-orang 
berjalan kaki memikul padi dari sawah ke lumbung sembari menari dan 
membunyikan alat-alat yang mereka bawa. Lalu, ada seorang pejabat 
Belanda yang bekerja di perkebunan menghentikan mereka di tengah jalan. 
Orang Belanda itu ikut menari bersama mereka.Selanjutnya, pejabat
 Belanda yang bekerja di kompleks perkebunan karet dan teh sekitar 
Jatinangor kerap mengundang pemusik dan pelantun lagu yang juga penari 
(ronggeng) untuk beraksi di kompleks perkebunan tersebut. Saat itu 
Cikeruh termasuk dalam lingkup kompleks perkebunan teh dan karet 
Jatinangor. Dari situ tradisi tersebut berlanjut menjadi tari pergaulan.
 Kata Supriatna, perkebunan merupakan lahan basah bagi para seniman itu 
untuk menggelar pertunjukan.
Namun, hal itu berbeda dengan 
keterangan Mas Nanu Munajar. Dalam bukunya berjudul Deskripsi Sajian 
Tari Cikeruhan (1995), berdasarkan keterangan yang ia himpun dari 
wawancara, Mas Nanu menyimpulkan, cikeruhan adalah tari tradisional yang
 dibawa dan dikembangkan di Cikeruh oleh salah seorang pangeran 
Sumedang. Tariannya berupa tarian tunggal pria yang diambil dari tingkah
 laku manusia dan binatang (Munajar, 1995:11-12).Bukan hanya 
masalah sejarahnya yang berbeda, definisinya pun masih ambigu. Mas Nanu 
mengatakan, cikeruhan awalnya merupakan nama lagu untuk mengiringi ketuk
 tilu gaya Bandung (pakidulan) (Munajar, 1995:37). Ia menyimpulkan, 
ketuk tilu ada lebih dulu daripada cikeruhan dan cikeruhan ini adalah 
salah satu bentuk lain dari ketuk tilu.
MenyempitUntuk
 membuat kesimpulan akhir tentang sejarah cikeruhan tentu perlu diadakan
 penelitian lebih mendalam. Namun, yang pasti, menilik sejarah 
kemunculannya, cikeruhan merupakan seni tari pergaulan. Pada dasarnya 
cikeruhan terdiri dari penabuh kendang; penggesek rebab; serta pemukul 
goong, ketuk tilu, dan kecrek. Kemudian, ada seorang ronggeng yang 
menyanyi sambil menari.
Pada tahap selanjutnya ditambah seorang 
pesinden. Ronggeng bertugas menari saja. Penonton akan menari bersama 
ronggeng dan membayar lagu yang dipesan. Yang khas dari cikeruhan adalah
 gesekan rebab dan tabuhan kendangnya. Tariannya bebas tanpa pakem. 
Tarian tersebut merupakan interaksi antara penonton dan ronggeng.Kini
 ambuguitas cikeruhan semakin terasa dari gerak tarinya. Seniman 
akademisi menciptakan konsep koreografi tari cikeruhan. Mas Nanu 
merupakan salah seorang pelaku seni yang menciptakan koreografi 
cikeruhan. Dalam buku Deskripsi Sajian Tari Cikeruhan ia menerangkan 
alur sajian gerak yang terdapat pada cikeruhan, yaitu arang-arang 
bubuka, cikeruhan, kangsreng, dan arang-arang panutup. Ia juga 
mengombinasikan cikeruhan dengan pencak. Jadi, cikeruhan berbentuk seni 
tari pertunjukan yang terdiri dari dua penari perempuan (ronggeng); dua 
penari pria sebagai jawara; pengendang; penabuh goong, kecrek, ketuk 
tilu, dan rebab; serta pesinden.
Menanggapi hal itu, Supriatna 
yang juga pensiunan guru di Jatinangor berpendapat, hal tersebut wajar. 
Ia setuju dengan pengembangan seperti itu. Sebab, menurut dia, kesenian 
harus selalu mengikuti perkembangan zaman dengan catatan tidak 
meninggalkan akarnya. Supriatna menjelaskan, upaya itu bisa menimbulkan 
persepsi bahwa cikeruhan merupakan seni pertunjukan, bukan pergaulan 
lagi."Iya, cikeruhan itu kan sebuah tari pergaulan. Artinya, tari
 yang tidak berpola baku. Tapi, kalau sudah dalam bentuk CD, misalnya, 
nanti anak cucu kita akan menyangka bahwa cikeruhan itu tari yang 
seperti itu. Jadi, menyempit. Padahal, sebenarnya cikeruhan kan tidak 
hanya begitu. Dia menari boleh bebas. Jadi, nanti ada perubahan genre 
dan sifat dari tari pergaulan menjadi tari pertunjukan. Perbedaannya 
jelas antara pergaulan dan pertunjukan. Kalau pertunjukan, orang tidak 
ikut menari. Kita hanya menonton, tidak bisa ikut menari," papar 
Supriatna.
Meskipun terkesan ambigu dan multitafsir, pada akhirnya
 Sanggar Motekar tidak mau terlibat dalam perdebatan panjang soal 
sejarah cikeruhan. Di daerah asalnya, cikeruhan sudah masuk ke taraf 
gawat. Di sana tinggal ada satu orang yang ahli menggesek rebab dan 
menabuh kendang cikeruhan. Padahal, kedua alat musik itu adalah yang 
khas dari cikeruhan.
Sanggar Motekar kini berusaha membangkitkan 
kembali cikeruhan dengan memberikan pelatihan penggesek rebab dan 
penabuh kendang di sanggar. Mereka juga aktif mempertunjukkan cikeruhan 
pada acara tertentu di sekitar Sumedang.Usaha Sanggar Motekar 
sudah mulai berbuah ketika SMPN 3 Jatinangor memasukkan cikeruhan 
sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Sekolah ini menjadi satu-satunya 
sekolah di Sumedang yang mengangkat cikeruhan sebagai kegiatan siswa. 
Semoga cikeruhan tetap lestari, khususnya di Cikeruh, Jatinangor. 

FANDY
 HUTARI Penulis Lepas dan Penyuka Seni             
        


      

Kirim email ke