Fadhal Alhamid, pemuda Papua yang menjadi pembicara pertama dalam Dialog 
Nasional Pemuda bertajuk "Menyoal Identitas Kebudayaan Indonesia", mengatakan 
bahwa Belanda tidak melakukan penyerbuan atau praktek penjajahan di tanah 
Papua. Alih-alih merusak atau membunuh, Belanda justru menggelar pendidikan dan 
juga pembangunan bagi masyarakat Papua.

Terkadang, ketika orang kecewa dengan pemerintah Indonesia, orang kemudian 
bernostalgia dengan jaman Belanda yang dianggap baik, termasuk soal pendidikan.

“Kalau ajar membaca… ‘ini api, api menyala, babi lari’. Sesuatu yang kemudian 
mengakar dalam realita. Sekarang, ‘ini pak madi, pak madi ke sawah’. Siapa pak 
madi? Sawah mana? Orang papua tidak kenal sawah. Orang papua kenal hutan sagu.”

Terlepas dari perbedaan sejarah, kebudayaan, dan ras dengan kebanyakan 
negeri-negeri di Indonesia, Fadhal berharap Papua dapat diterima dalam 
keragaman Indonesia. Papua semestinya diberi ruang untuk turut membentuk dan 
mewarnai identitas keindonesiaan.

Namun, persoalannya tidak mudah. Dalam berbagai iklan yang setiap hari tayang 
di ruang-ruang media massa, apa yang disebut cantik itu adalah orang yang 
berambut lurus dan berkulit putih. Dan kriteria itu membuat orang Papua, di 
tanahnya sendiri, sulit untuk mengisi posisi-posisi tersebut di pasar, seperti 
bank atau supermarket.

Bahkan, ketika ada kontes putri kecantikan yang dibuat oleh kelompok Dharma 
Wanita di Papua, putri-putri (suku) Dani diajak untuk menjadi putri Jawa, yakni 
dengan memakaikan sanggul dan kebaya pada tubuhnya. Padahal, perspektif 
kecantikan bagi orang (suku) Dani bukan itu.

“Perempuan yang cantik itu yang tangannya kuat. Kepalanya kuat untuk memanggul 
itu noken. Dia orang yang pandai mengurus kebun, pandai mengurus anak, pandai 
mengurus babi. Itulah perempuan Papua, perempuan Dani yang cantik.

Fadhal juga mencatat persoalan militerisme di papua. Menurutnya, pemerintah dan 
militer Indonesia lebih merasa terganggu ketika bendera bintang kejora berkibar 
ketimbang sekolah dan layanan kesehatan tidak berfungsi. Nasionalisme Indonesia 
hanya hadir dalam bentuk pos-pos militer dan bendera merah putih.

Kalau ada yang menaikkan bendera Bintang Kejora, pemerintah dan militer 
Indonesia tidak pernah menanyakan kenapa bendera tersebut dinaikkan. Kalau ada 
yang menaikkan bendera, maka tindakan keras langsung diambil: tangkap, adili, 
penjara.

“Padahal kalau ada yang kasih naik itu bendera, itu bisa saja karena anaknya 
tidak lolos itu pegawai negeri, gajinya sekian bulan tidak dibayar, atau karena 
hutannya dirampas,” kata Fadhal.

Selanjutnya saksikan di sini atau di 
http://wisataloka.com/wisatalokatv/keindonesiaan-dalam-perspektif-papua/


Salam,
TM. Dhani Iqbal


      

Kirim email ke