Lebay
Oleh: Yudhistira ANM Massardi
 
”Tidak ada lagi privasi. Bangsa kita sudah jadi bangsa infotainmen. Negara kita 
jadi negara lebay! Selalu berlebih-lebihan menghadapi setiap persoalan!” Begitu 
komentar si bungsu Kafka, 15 tahun, yang baru saja lulus SMP. 

          Mendengar itu, aku terpana. Aku jadi pangling: benarkah yang barusan 
bicara di ruang tamu itu anak kami, yang selama ini kami anggap masih bayi? 

          ”Jadi, apa yang harus ditulis tentang kasus Ariel?” Aku merasa jadi 
bodoh.
          ”Sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Lupakan saja. Mudah-mudahan kasus 
itu bisa jadi bahan pembelajaran bagi bangsa ini.”
          Sekali lagi aku terpana dibuatnya. Untunglah, aku teringat 
pemberitaan 
di televisi. Menyusul kehebohan video porno itu, di beberapa kota, polisi 
merazia sekolah-sekolah, dan kantor-kantor pemerintah, memeriksa telepon 
genggam 
para siswa dan pegawai, kalau-kalau benda itu mengandung kecabulan.
          ”Ya, itu, contoh reaksi negara yang lebay tadi,” katanya. ”Memangnya, 
kalau ketahuan ada video pornonya, so what? Let it out!Itu kan hak dia untuk 
menyimpan atau tidak menyimpan. Dengan razia itu, artinya tidak ada lagi 
privasi 
di negara ini. Lagian, kenapa razianya baru dilakukan sekarang? Memangnya, 
dulu-dulu nggak ada video porno?”
          Aku meringis. Beberapa saat lamanya aku mengamati wajahnya yang mulai 
berjerawat. Ia kini tambah jangkung. Kulitnya tambah hitam, karena dia giat 
berlatih bisbol di Senayan, di tengah terik siang.
          “Kalau mau dicari yang salah, ya itu orang yang menyebarluaskannya,” 
katanya kemudian. ”Apalagi, sekarang banyak anak sekolah punya Blackberry. 
Tinggal pake fitur BBM, sudah bisa kirim ke Bandung, ke mana-mana. Ribuan orang 
sudah punya videonya. Apalagi, di sekolah-sekolah, anak-anak pasti ada aja yang 
mau lihat... Tinggal transfer melalui bluetooth.”
          “Kalau di sekolah kamu, bagaimana?” Aku jadi cemas.
          “Ah, anak-anak di sekolahku sih, pada malas melihat yang begituan. 
Sudah bukan zamannya lagi.”
          “Maksud kamu?”
          “Ya, aku juga pernah nonton yang seperti itu, dulu-dulu. Jadi, buat 
apa nonton lagi?”
          Waduh! Aku terpana lagi. 
          ”Oke, kalau begitu, para orangtua harus diingatkan agar tidak 
memberikan hand phone berkamera kepada anak-anak di bawah umur...?”
          ”Lho, teknologi canggih itu kan dibuat untuk mempermudah urusan. Yang 
bermasalah itu bukan alatnya, tapi orangnya. Kalau orangnya bisa berpikir 
bahwa, 
kalau dia melakukan sesuatu, maka akan menimbulkan suatu akibat, pasti dia 
tidak 
akan melakukan itu.”
          ”Oke. Sekarang, tentang adegan dalam video itu, padahal mereka bukan 
suami-istri, menurut kamu bagaimana?”
          ”Ya, kalau menurut agama Islam, itu kan berzina, dosa. Dengan hukum 
Islam, mereka akan dilempari batu sampai mati. Dirajam. Tapi, di sini kan 
hukumannya ringan banget...”
          ”Fakta itu, ditambah dengan kenyataan seperti yang kamu katakan tadi, 
bahwa banyak anak-anak seumur kamu yang dengan mudah bisa mengakses, lewat 
internet atau hand phone, dan juga melakukan...?”
          ”Wah, memang, itu sih, sudah parah banget! Parah...! Nggak tahu, mau 
jadi apa bangsa ini...”
          ”Terus, sebagai warga negara, apa yang harus dilakukan?’
          ”Ya, semua orang harus tahu batasanlah. Pemerintah juga harus taat 
hukum. Konsisten. Jangan selalu bertindak setelah ada kejadian, dan tindakannya 
selalu lebay seperti sekarang ini. Sementara,  kalau ngurusin pemberantasan 
korupsi, nggak selesai-selesai! ”
          ”Kalau orangtua, harus bagaimana?”
          ”Orangtua harus memberi contoh yang baik. Tapi, yang paling penting, 
para orangtua harus bisa mengenali anak-anaknya dengan baik...”
          (Waduh, aku merasa tersindir).
          ”Kalau begitu, apakah aku perlu mengatakan kepada para orangtua...?”
          ”Jangan menggurui!” kata si sulung yang tiba-tiba ke luar dari 
kamarnya, menimpali. ”Orang juga sudah tahu jawabnya, kalau mereka mau 
berpikir, 
belajar, dan mau berubah!” 

          Aku terpana lagi.
          Padahal, aku ingin mengatakan: ketika teknologi informasi digital 
berkembang begitu pesatnya, dan gajet berkamera dijual bebas di pasar, siapa 
saja, bisa membuat film, menyutradarai, sekaligus jadi aktor dan pengedarnya. 
Tanpa perlu belajar, tanpa harus paham etika dan estetika. Dan, itu telah 
mengubah cara berkomunikasi dan berekspresi secara mendasar! 

          Sebuah format kebudayaan (teks-audio-visual) baru, tengah berkembang. 
Tetapi, terutama pemerintah dan orangtua, tidak juga sadar, bahwa tata 
kehidupan 
harus segera di-up date, dan program “antivirus” baru (baca: pendidikan 
karakter 
dan budi pekerti sejak dini!) harus di-install. Jika tidak, negara-bangsa 
seperti Indonesia, yang hanya bisa jadi pasar aneka komoditas global, akan 
terus 
menjadi “korban.” Kualitas kemanusiaan akan semakin merosot. Dan, jika perilaku 
politik dan moralitas pejabat negara begitu bobroknya seperti sekarang, 
pornografi pastilah merajalela![] (Gatra 23 Juni 2010)
  
*Penulis adalah sastrawan/wartawan, penggiat pendidikan gratis untuk anak usia 
dini, dan penerbit Media TK Sentra, tinggal di Bekasi.
 Yudhistira ANM Massardi
email: ymassa...@yahoo.com
Penerbit:
MEDIA TK SENTRA
Panduan Guru TK, RA, PAUD & Orangtua
Membangun Karakter dan Budi Pekerti
http://www.facebook.com/MEDIA.TK.SENTRA



      

Kirim email ke