ASAHAN:

                                     SLAMET RACHMAT

                                          in memoriam

                                           (1933- 2010)


Mencapai usia hingga 77 ( persisnya kurang tiga bulan) dalam situasi kehidupan 
buangan politik di luar negeri, adalah juga prestasi usia yang cukup mendingan 
bahkan untuk ukuran manusia Indonesia sudah termasuk panjang umur. Tapi bukan 
soal umur yang akan menjadi tekanan dalam memoriam sekarang ini. 
Bung Slamet atau  bung Rachmat menurut panggilan akrab teman-temannya, saya 
kenal sejak di Moskow ketika masih sama-sama belajar di Universitas Lumumba. 
Bung Rachmat selalu tampak sederhana dalam penampilan, baik cara berpakaian 
maupun cara bergaulnya, berbicara tidak keras dengan nada selalu mencari solusi 
dalam setiap perbedaan pendapat dan menawarkan advis. Bung Rachmat tidak suka 
menonjolkan diri. Dalam organisasi yang manapun orang akan sukar mencari nama 
Slamet Rachmat yang memangku sesuatu fungsi dalam organisasi dan bila orang 
memintanya agar duduk dalam fungsi-fungsi tertentu, dia akan memulai dengan 
kata penolakan dan itu terdengar jujur tidak pro forma dan itu ternyata 
berlangsung hingga ahir hidupnya. Kwalitas demikian untuk saya sangat 
mengesankan. Penyakit atau syndrom berburu fungsi dalam setiap organisasi dalam 
masyarakat Indonesia begitu dramatisnya dan juga sekaligus begitu memuakkan 
yang juga berlaku dalam kehidupan berorganisasi di luar negeri yang meskipun 
sudah sebagai pelarian buangan politik (tidak pandang apakah sudah memiliki 
paspor yang bukan Indonesia), tapi setelah berhasil mendapatkan fungsi-fungsi 
dalam organisasi itu,  biasanya 99 persen tidak pernah berfungsi kecuali hanya 
mencatatkan nama. Hal itu tidak berlaku bagi bung Rachmat. Dia tidak gila 
fungsi tapi selalu bersedia bila mendapat tugas kerja apa saja, tidak perlu 
harus menyandang fungsi "sekretaris pertama" atau apa saja untuk penghias 
pengumuman atau pernyataan dan bahkan hingga pernyataan duka cita.

Juga dalam hal perbedaan pendapat. Kehidupan kaum buangan politik Indonesia 
akibat peristiwa 65, sebelum mereka menyebar ke Eropah dan Amerika dan 
tempat-tempat lainnya di luar Indonesia adalah kehidupan pertengkaran, 
cakar-cakaran, faksi-faksi, ekstrim kanan dan kiri, bahkan hingga terlibat 
dalam dunia bergajul(terutama di Tiongkok) serta saling pencil memencilkan 
(hingga sekarang). Tapi pengalaman saya dengan bung Rachmat selama berkumpul 
dan bersama dalam berbagai kegiatan, meskipun kami punya perbedaan pandangan 
dalam banyak hal, tapi sikap bung Rachmat terhadap siapa saja yang berbeda 
pendapat dan pandangan, dia selalu punya sikap adil dan tenang dan tidak mencap 
lawan politiknya sebagai musuh dan selalu bisa berteman biasa, normal dan tetap 
bersahabat secara wajar dan tidak dibuat-buat. Untuk saya kwalitas demikian 
selalu menimbulkan kesan mendalam, terutama ketika seseorang telah pergi 
mendahului yang masih hidup. Yang pergi duluan tidak perlu diangkat sebagai 
pahlawan, direkayasa jasa-jasanya atau dibesar-besarkan kwalitas hidupnya yang 
sebenarnya biasa-biasa saja tapi karena sudah meninggal semuanya harus indah 
tanpa cacad yang tidak sesuai dengan kenyataan ketika yang meninggal masih 
hidup. Bung Rachmat telah meninggalkan kesederhanaan dan kejujuran. Dia bukan 
orang yang romantis(meskipun yang pertama berhasil membangun keluarga di antara 
kumpulannya), bukan pemimpin dalam level yang manapun, bukan pemburu fungsi 
dalam dunia organisasi, bukan tokoh terkenal di antara golongannya tapi cukup 
dikenal banyak orang karena kwalitas kesederhanaan hidupnya, sebuah kwalitas 
manusia yang murni, tidak dibikin bikin orang lain atau dibikin-bikinnya 
sendiri. Hidup, dengan demikian telah mencapai  ahirnya dengan baik dan semoga 
tidak diberi tambahan yang tidak diperlukan bagi yang sudah pergi untuk 
kepentingan yang masih tinggal.
ASAHAN
Hoofddorp, 28 Juli 2010.

Kirim email ke