-----Original Message-----
From: Fariq Anuz 
Sent: Thursday, November 13, 2008 9:44 PM
Subject: kirim makalah

Kutitip surat ini untukmu

   Assalamu’alaikum,
   Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu 
untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi 
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…
   Wahai anakku,
   Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir 
panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan 
rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores 
tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu 
pula hati terluka…
   Wahai anakku!
   Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi 
laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas 
membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau 
merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau 
robek pula perasaanku.
   Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun 
kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar 
tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. 
Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal 
mula dari perubahan fisik dan emosi…
   Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan 
dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan 
kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
   Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan 
dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan 
balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena 
semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat 
dalam rahimku.
   Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar 
pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap 
pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa 
dilukiskan.
   Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. 
Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga 
tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur 
dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan 
dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu 
semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku 
meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke 
kerongkonganku.
   Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku 
dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan 
kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.
   Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku 
setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu 
untukmu… itulah kebahagiaanku!
   Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan 
tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak 
pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi 
pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan 
taufiq untukmu.
   Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. 
Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah 
menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik 
ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.
   Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat 
itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa 
rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur 
pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena 
engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
   Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah 
perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi 
pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang 
ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, 
sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang 
hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi 
karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

   Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik 
demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan 
sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti 
kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang 
yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang 
menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang 
datang.
   Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur 
berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari 
semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang 
memang telah ditakdirkan oleh-Nya.
   Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu 
yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam 
kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar 
bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia 
masa kecilmu.
   Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan 
denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!
   Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat 
persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya 
satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau 
kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu 
dan engkaupun berlalu pergi.
   Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku 
telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya 
dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih 
seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti 
angin yang tidak pernah berhenti.
   Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau 
akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana 
balas budimu, nak!? Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas 
dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau 
balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala telah berfirman, "Bukankah balasan 
kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!" (QS. Ar Rahman: 60) Sampai begitu 
keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan 
berselangnya waktu?!
   Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, 
setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah 
dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari 
semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan 
diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu 
selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
   Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai 
budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu . Semua 
mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!
   Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan 
kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi 
mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai 
orang yang berbuat baik.
   Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan 
yang lain.
   Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat 
wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, 
dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang 
wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah 
renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian 
kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah 
berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan 
luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati 
durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula 
memutuskan tali silaturrahim?!
   Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah 
jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan 
dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih 
sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: "Orang tua adalah pintu surga 
yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau 
jagalah!!" (HR. Ahmad)
   Anakku. Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau 
telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga 
begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan 
shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.
   Akan tetapi, anakku! Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu 
keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu 
‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku 
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, 
amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: "Shalat pada waktunya", aku 
berkata: "Kemudian apa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Berbakti kepada 
kedua orang tua", dan aku berkata: "Kemudian, wahai Rasulullah!" Beliau 
menjawab, "Jihad di jalan Allah", lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya 
lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)
   Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk 
memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar 
cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan 
berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh 
tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan 
kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut 
tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah 
perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang 
kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
   Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, 
engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala 
yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat 
amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah 
kemurkaan-Nya?
   Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan 
engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: 
"Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang", dikatakan, 
"Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, "Orang yang mendapatkan 
kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga". (HR. Muslim)
   Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan 
duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus 
awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan 
kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat 
menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan 
melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat 
menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. 
Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau 
bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
   Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa 
hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… "Engkau akan 
memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…" Aku tidak ingin engkau nantinya 
menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu 
sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
   Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! 
Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, 
kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku… 
Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan 
kembali atau engkau ingin merobeknya.
Wassalam,
Ibumu
Diketik ulang dari buku
‘Kutitip Surat Ini Untukmu’
karya Ustadz
Armen Halim Naro, Lc rahimahullah

------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Download MP3 -Free kajian Islam- http://assunnah.mine.nu
Berhenti berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke