ADZAN DAN IQAMAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
http://almanhaj.or.id/content/3081/slash/0

Pada edisi terdahulu, telah kami jelaskan tentang adzan dan iqamat.
Yaitu meliputi pengertian, perbedaan antara adzan dan iqamat, serta
sifat dan lafadznya, maka pada edisi kali ini, kami lanjutkan
pembahasan tersebut, yang merupakan bagian terakhir dari dua tulisan.

HUKUM DAN DISYARIATAN ADZAN
Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di
antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana
tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di
depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.

Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan
nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah
ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam
masalah ini)”.[1]

Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di
dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ
فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا
فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ
النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ
فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ
فَقَالَ رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ

Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu
memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada
suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka
berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian
menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar
berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?”
Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal.
Bangun dan serulah untuk shalat.” [2]

Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu
disyariatkan adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu
Hajar.[4]

Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang
mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat
yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ
قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا
رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا
فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه
البخاري

Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa
orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat
lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga,
maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka,
dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila
datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian
beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ
الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak
ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]

Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh
Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.

Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan
hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia
termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di
negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi
mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri,
sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan
perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum
wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka
yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20).
Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]

Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya :
“Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]

Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami
tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah
(ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah
dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan
pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]

HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui,
di antaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka)
sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai
dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal
dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ
حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan
mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan
beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].

Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan:
“Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat,
sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”.
[13]

2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras
terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam
hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ
يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid
(nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR
Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no.
229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada
hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain),
berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا
وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ

Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya
disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا
وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini,
yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya
‘ala al falah.

Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam
hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah,
yang mustahab ada tiga cara, yaitu :

Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan
sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke
kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat,
kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya
‘ala al falah.

Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat,
kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi
dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan
mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat,
kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.

Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat
satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian
mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu
kali berpaling ke kiri.[15]

4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits
Abu Juhaifah dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا
وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ

Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini
serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At
Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani
menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].

Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah
yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin
memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan
sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua
jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]

5. Disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan [17], berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ
وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala)
sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR
Al Bukhari].

HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum
mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang
dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika
kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan
muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].

Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada
asalnya menunjukkan wajib.

2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa
hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan
hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ
الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar
muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR
Abu Dawud].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab
adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin
Malik :

كَانَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا
طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا
أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ
الهَُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى
الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika
terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau
mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka
Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (الهُa
أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah”
(عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan:
(أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا
أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau
telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian
riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini
terjadi ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh
amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan
Tsa’labah bin Abi Malik :

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى
الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ
يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di
atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak
seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An
Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].

Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi
Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ
الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا
الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju
masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara
(berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi
Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].

Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.

Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang
menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada
zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar
diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang
menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar
ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan,
sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta,
dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang
mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah);
karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti
dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.

MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu
bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah
perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat
ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya
‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian
pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah
sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai
akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik
shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya
‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan
diucapkan di luar shalat”.
Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika
kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan
muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam
shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia
yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan
shalat adalah tempat berdzikir”.[23]

2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits
Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ
عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا
وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat
dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami
memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan
berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”.
[Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang
hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya
saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk
bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak
kekhususan tersebut.

3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat
jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di
atas. Wallahu a’lam.

DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ
صَلَّى الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ
فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ
صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ
سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ
تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ
أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengar muadzin, maka
jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku,
karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan
bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah
untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang
tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap,
(bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah,
maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ
حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ
التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ
وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ
الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ
مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].

Demikianlah sebagian hukum-hukum seputar adzan dan iqamat, yang
penulis sampaikan secara ringkas. Mudah-mudahan bermanfaat.

Maraji`:
1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al
Huwaini, Cetakan Kedua, Tahun 1414H, Dar Al Kitab Al Arabi.
2. Syarhu Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin, Tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khoil dan Dr. Kholid
bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Aasaam,
KSA.
3. Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib
Al Muthi’i, Cetakan tahun 1415H, Daar Ihya At Turats Al ‘Arabi,
Beirut.
4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ibnu Hajar,
Maktabah As Salafiyah.
5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al
Akhbar, Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim,
Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 035Tahun IX/1426H/2005.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke