ADAKAH AYAT AL-QUR'AN YANG MANSUKH?
http://almanhaj.or.id/content/3086/slash/0

Soal:
Ringkasan pertanyaan:
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?
3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: لَيْسَ فِيْ الْقُرْآنِ آيَةٌ
مَنْسُوْخَةٌ
“Di dalam Al-Qur’an tidak ayat yang mansukh!”.
4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah
pendapat golongan Mu’tazilah?

Adli Shidqi bin Minghat
Pesantren Persatuan Islam 1-2 Bandung
JL. Pajagalan, no: 14-16, Bandung 40241

Jawaban.
1. Adakah nasikh mansukh dalam Al-Qur’an?
Nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an itu ada. Dan untuk melengkapi jawaban
ini, silahkan simak Rubrik Fiqih edisi 3 ini.

2. Bagaimana makna ayat 27 surat Al-Kahfi dan ayat 42 surat Al-Fushilat?

Jawab:
Ayat 27 surat Al-Kahfi yang dimaksudkan berbunyi: لاَ مُبَدِّلَ
لِكَلِمَاتِهِ
Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat-Nya. [Al Kahfi
:27]

Yaitu kalimat-kalimat Allah yang ada dalam Al-Qur’an tidak akan ada
seorangpun yang dapat merobahnya dan menggantinya. Dan begitulah
kenyataannya. Semenjak Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak
ada siapapun yang dapat merubahnya dan menggantinya, kecuali Allah sendiri
secara langsung atau lewat rasulNya berdasarkan wahyu Allah. Dan ayat ini
sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh sebagaimana
telah kami jelaskan di atas.

Adapun perkataan Ustadz Abdul Qadir Hassan rahimahullah tentang ayat ini
(beliau berpendapat “tidak ada ayat mansukh dalam Al-Qur’an”): “Menurut ayat
ini, nyata tidak seorangpun dapat atau berhak merobah firman-firman Allah.
Maka tidak patut kita mengatakan “ini mansukh” “itu mansukh”, kalau tidak
ada keterangan dari yang mempunyai firman itu”. [1]

Maka kami jawab:
Benar bahwa kalau tidak ada keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu
tidak seorangpun berhak merobah firman-firmanNya. Oleh karena itulah banyak
ulama ushul fiqih yang menyatakan bahwa Naasikh (Yang menghapuskan hukum)
pada hakekatnya adalah Alloh. Sehingga yang menjadi naasikh adalah dalil
Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun ijma’ atau qiyas tidak menjadi nasikh.

Dan telah datang keterangan dari Alloh yang mempunyai firman itu, atau dari
Rasulnya, atau penjelasan para sahabat –yang mereka adalah manusia terbaik
setelah para nabi- tentang mansukhnya sebagian ayat Al-Qur’an. Sebagaimana
hal itu disebutkan oleh para ulama ahli ushul fiqih. Dan adanya ayat Al-Qur’an
yang mansukh oleh ayat lainnya dalam Al-Qur’an telah terjadi ijma’ padanya,
sebagaimana akan kami sampaikan insya Alloh. Sedangkan ijma’ adalah haq,
karena umat Islam tidak akan bersatu di atas kebatilan.

Adapun ayat 42 surat Al-Fushilat berbunyi:

لاَ يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ
مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

Kebatilan tidak akan datang kepadanya (al-Qur'an) baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji. [Al-Fushilat :42]

Ayat ini dipakai dalil oleh Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang Mu’tazilah,
tentang tidak adanya naskh dalam Al-Qur’an, karena dia menganggap naskh
merupakan kebatilan. Namun pemahaman tersebut tidak benar!

Tentang maksud ayat ini, Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata: “Yaitu: Syaithon dari kalangan syaithon-syaithon jin dan manusia
tidak akan mendekatinya, baik dengan mencuri (dengar-red), memasukkan
sesuatu yang bukan darinya kepadanya, menambah, ataupun mengurangi. Maka
Al-Qur’an itu terjaga di saat turunnya, terjaga lafazh-lafazhnya dan
makna-maknanya. (Alloh) Yang telah menurunkannya telah menjamin
penjagaannya, sebagaimana Dia berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[Al
Hijr:9] [2]

Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi berkata: “Sisi pertama:
Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan firman Allah: “Kebatilan tidak akan
datang kepadanya (al-Qur'an)”, mungkin kebatilan (dalam ayat ini) maknanya
adalah kedustaan. Yaitu: kedustaan tidak akan menyusulnya. Atau, kemungkinan
yang dimaksudkan adalah bahwa kitab (Al-Qur’an) ini tidak didahului oleh
kitab Allah Ta’ala yang membatalkannya, dan tidak akan datang setelahnya
(kitab) yang akan membatalkannya. Sisi kedua: Kita menerima bahwa naskh
adalah membatalkan hukum, sedangkan kebatilan (artinya) bukanlah
membatalkan. Kebatilan adalah kebalikan dari al-haq, sedangkan naskh adalah
haq, tidak ada sisi kebatilan padanya. Dan kita mungkin menambahkan sisi
yang ketiga: yaitu bahwa yang dimaksudkan dengan kebatilan adalah perobahan
dan penggantian sebagaimana terjadi pada kitab-kitab dahulu. Maka kebatilan
dengan makna ini tertolak sama sekali dari Al-Qur’an. [Araul Mu’tazilah
Al-Ushuliyyah, hal: 428-429, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Sholih
Adh-Dhuweihi]

Maka ayat ini sama sekali tidak menolak adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh,
karena adanya ayat yang masukh bukanlah kebatilan, bahkan itu adalah haq,
dan telah terjadi ijma’ tentang hal itu.

3. Bagaimana ucapan Abu Muslim Al-Ashfahani: “Di dalam Al-Qur’an tidak ayat
yang mansukh!”.

Jawaban:
Menangapi perkataan Abu Muslim di atas, para ahli ushul berbeda pandangan,
menjadi beberapa kelompok:

1. Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh di dalam syari’at, namun dia
membolehkannya menurut akal.

Al-Amidi rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat
atas bolehnya naskh secara akal dan terjadinya secara syari’at, dan tidak
ada yang menyelisihi di antara umat Islam dalam hal itu kecuali Abu Muslim
Al-Ashfahani. Dia menolak hal itu secara syara’ dan membolehkannya secara
akal ”. [3]

Bahwa Abu Muslim menolak adanya naskh (yang mansukh) dalam ayat Al-Qur’an,
menurut akal, namun dia mengakui adanya di dalam syari’at.
Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Roozi (wafat 606 H) berkata: “Umat telah
sepakat atas bolehnya naskh (di dalam) Al-Qur’an. Namun Abu Muslim
Al-Ashfahani mengatakan: “Tidak boleh”. [4]

Jika memang kemungkinan 1 atau 2 ini pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, maka
pendapatnya tertolak dengan ijma’ dan dalil-dalil lainnya yang telah kami
sampaikan.

2. Bahwa Abu Muslim tidak menolak adanya naskh, namun dia menamakannya
dengan “takhshiish zamaniy”. Yaitu bahwa hukum itu berlaku pada waktu yang
dikhususkan sebelum turunnya naasikh. Jika memang ini pendapat Abu Muslim
Al-Ashfahani, maka dia hanyalah menyelisihi penamaan, bukan menyelisihi
hakekat adanya naskh. Ini berarti tidak ada satu orangpun di kalangan ulama’
umat Islam yang mengingkari naskh dalam Al-Qur’an!

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Tidak diragukan
bahwa mengingkari naskh merupakan perkara yang rusak, dan bahwa adanya naskh
boleh/mungkin menurut akal –sebagaimana telah kami jelaskan, bahwa naskh
tidak mengharuskan bada’ (nampaknya sesuatu terhadap Alloh yang sebelumnya
samar). Demikian juga adanya naskh nyata secara syara’, dalilnya adalah
firman Allah.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Dan firman Alloh Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya. [An Nahl :101]

Dan pengingkaran Abu Muslim Al-Ashfahani (dia ini seorang Mu’tazilah!)
terhadap naskh, maknanya adalah bahwa dia condong kepada (pendapat) bahwa
naskh adalah pengkhususan pada zaman, bukan menghilangkan hukum, sebagaimana
telah terdahulu penjelasannya”. [Mudzakiroh, hal: 126-127]

Bagaimanapun juga, maka pendapat Abu Muslim di atas adalah pendapat yang
sangat ganjil di kalangan ulama Islam. Abul Husein Al-Bashri berkata: “Umat
Islam telah sepakat tentang bagusnya naskh syari’at-syari’at, kecuali satu
hikayat ganjil dari sebagian umat Islam, bahwa naskh itu tidak bagus”.
[Al-Mu’tamad 1/370]

Imam Asy-Syaukani berkata: “Naskh boleh secara akal dan terjadi secara sam’
(agama). Tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara umat Islam, kecuali
yang diriwayatkan dari Abu Muslim Al-Ashfahani, dia mengatakan bahwa naskh
boleh (secara akal) namun tidak terjadi (secara syari’at). Jika (perkataan)
ini benar darinya, maka ini dalil bahwa dia adalah seorang yang bodoh
terhadap syari’at Nabi Muhammad dengan kebodohan yang sangat buruk. Dan
lebih mengherankan lagi daripada kebodohannya adalah hikayat orang yang
menghikayatkan darinya: adanya perselisihan di dalam kitab-kitab agama.
Karena sesungguhnya yang dianggap (perselisihan) adalah perselisihan ahli
ijtihad, bukan dengan perselisihan orang yang kebodohannya telah sampai pada
puncak ini”. [5]

4. Benarkah pendapat “tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an” adalah
pendapat golongan Mu’tazilah?

Jawaban:
Itu bukan pendapat Mu'tazilah. Karena orang-orang Mu’tazilah, seperti
Al-Qodhi Abdul Jabbar, Abul Husein Al-Bashri, mengakui adanya naskh.
Pendapat di atas adalah pendapat ganjil dari Abu Muslim Al-Ashfahani,
seorang Mu’tazilah.[6]

Wallohu a’lam bish Showwab

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


------------------------------------

Website anda http://www.almanhaj.or.id
Berhenti berlangganan: assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com
Ketentuan posting : http://milis.assunnah.or.id/aturanmilis/
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    assunnah-dig...@yahoogroups.com 
    assunnah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    assunnah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke