AKAD BA’I TERPAKSA
Oleh
Ustadz Dr Erwandi Tirmidzi MA
http://almanhaj.or.id/content/3241/slash/0

Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri, banyak barang yang 
dibutuhkannya dimiliki orang lain, seperti seorang petani yang memiliki bahan 
pangan dia butuh pakaian, maka dia harus menukar sebagian hasil panennya dengan 
uang dan membeli pakaian dengan uang tersebut, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian dia mesti berinteraksi dengan orang lain untuk menutupi 
kebutuhannya.

Interaksi seseorang dengan pihak lainnya untuk bertukar barang/jasa diatur oleh 
Islam dalam fiqh muamalat (fiqh jual beli).

Islam menjelaskan syarat-syarat sahnya sebuah muamalat yang bila tidak 
terpenuhi maka perpindahan barang dan alat tukar (uang) menjadi haram

Diantara syarat sahnya jual beli yaitu harus dilakukan oleh kedua belah pihak 
dengan saling ridha (suka sama suka) tanpa ada unsur keterpaksaan.

Seorang yang terpaksa yaitu : Orang yang berada dibawah ancaman fisik pihak 
lain yang mampu melakukan ancaman tersebut, bila pihak yang dipaksa tidak mau 
melakukan jual beli. Seperti jual beli yang terjadi di sebagian tempat di 
beberapa kota di Indonesia, pada saat calon pembeli menawar harga sebuah barang 
maka dia dipaksa dengan berbagai cara untuk membeli, terkadang dengan ancaman 
dan gertakan bernada tinggi.

Hukum jual beli ini tidak sah dan perpindahan barang dan status uang dan barang 
adalah haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ 
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu 
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan 
suka sama suka di antara kamu” [An-Nisaa : 29]

HARAMKAH, MEMBELI BARANG DENGAN HARGA MURAH KARENA PENJUAL SEGAN TERHADAP 
PEMBELI?
Telah dijelaskan bahwa tidak sah jual beli terpaksa. Namun, apakah juga 
termasuk terpaksa bila penjual menurunkan harga karena rasa malu? Seperti 
seorang meminta diturunkan harga dengan cara merayu penjual di hadapan orang 
banyak sehingga yang diminta merasa malu, lalu menjualnya dengan harga yang 
diinginkan pembeli. Para ulama juga memasukkan jual beli ini dalam kategori 
terpaksa. [1]

Hal ini berbeda bila penjual menurunkan harga barang, atau pembeli membeli 
melebihi harga pasar atas dasar suka, iba atau hormat kepada pihak kedua tanpa 
ada unsur keterpaksaan, seperti ; menurunkan harga barang karena pembelinya 
masih ada hubungan kerabat, atau pembelinya orang miskin atau pembelinya adalah 
tokoh masyarakat. [2]

Maka hal ini dibolehkan dan jual belinya sah. Dengan dalil, bahwa bersedekah 
dengan keseluruhan harga barang dibolehkan oleh syari’at maka bersedekah dengan 
sebagian harga barang tentu dibolehkan.

Sebagaimana jual beli yang terjadi antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
dan Jabir, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat melihat unta Jabir 
yang berjalan dengan lambat lalu menawarnya, maka Jabir berkata, “aku hadiahkan 
untukmu, wahai Rasulullah”, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarnya 
berulang kali, sehingga Jabir menjualnya dengan harga 1 uqiyah (+/- 119 gr emas 
24 karat). Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membayarnya 1 uqiyah + 1 
qirath (+/- 0,18 gr emas 24 karat). (HR Muslim).

Dalam hadits ini jelas bahwa Nabi melebihkan harga unta atas dasar iba kepada 
sahabatnya.

HARAMKAH, MEMBELI BARANG DENGAN HARGA MURAH KARENA SI PENJUAL TERDESAK BUTUH 
UANG?
Hidup ini tidak selalu berjalan seperti yang kita rencanakan, terkadang kita 
telah merencanakan dan mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi kemungkinan 
yang akan terjadi, akan tetapi yang terjadi diluar kehendak kita, hal ini 
karena hidup yang kita jalani telah ditentukan Allah 50 ribu tahun sebelum 
Allah menciptakan langit dan bumi. [3]

Maka terkadang seseorang menghadapi keadaan sulit di mana dia terdesak butuh 
uang segera untuk keperluan yang mendesak. Dan dia tidak mendapatkan pinjaman 
uang yang bebas dari bunga riba. Maka dia harus menjual barangnya dengan harga 
murah dibawah harga pasar. Apakah boleh bagi seorang muslim membeli barang 
tersebut dengan harga murah?

Ulama dalam mazhab Hanafi dan sebagian ulama dalam mazhab Hanbali menyatakan 
tidak sah jual beli ini yang berarti perpindahan uang dan barang tidak halal. 
Yang menjadi argumen pendapat mereka adalah sebuah hadits :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan orang yang terdesak”. 
[HR Abu Daud]

Imam Ahmad menjelaskan maksud hadits ini bahwa seseorang yang terdesak butuh 
biaya lalu datang kepada anda untuk menjual barang miliknya dengan harga 10 
dinar, sedangkan harga pasar barang tersebut 20 dinar. [4]

Akan tetapi hadits yang menjadi dalil pendapat ini dhaif karena di dalam 
sanadnya ada seorang perawi yang tidak dikenal. [5]

Pendapat kedua yang merupakan pendapat mayoritas para ulama bahwa jual beli ini 
sah, karena pembeli sesungguhnya turut meringankan beban penjual, andai dia 
tidak membelinya dengan segera mungkin, maka kesusahan penjual semakin lama 
untuk mendapatkan biaya yang dia butuhkan.

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : Bahwa tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi 
wa sallam mengusir Yahudi Bani Nadhir [6] dari Madinah, Beliau menganjurkan 
mereka untuk menjual barang-barang, agar tidak merepotkan dalam perjalanan.

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa boleh hukumnya menjual dan membeli barang 
dengan harga miring disebabkan penjual terdesak butuh uang, karena Yahudi Bani 
Nadhir terpaksa menjual barang-barang mereka dengan harga murah agar tidak 
merepotkan mereka dalam perjalanan keluar dari kota Madinah. Jika jual beli ini 
tidak dibolehkan tentu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan 
menyarankan mereka untuk melakukannya.[7]

JUAL BELI TERPAKSA YANG DIBOLEHKAN
Pada dasarnya jual beli terpaksa hukumnya tidak boleh dan tidak sah, namun 
dalam kondisi tertentu jual beli terpaksa dibolehkan syari’at.

Seperti, Qadhi (hakim) yang menjual terpaksa sisa harta orang yang jatuh pailit 
untuk menutupi utangnya atau ia menjual barang agunan untuk menutupi utang 
pemilik barang yang jatuh tempo. [8]

Termasuk juga dalam jual beli terpaksa yang dibolehkan orang yang dipaksa untuk 
menjual tanah dan rumahnya karena terkena proyek pembuatan jalan raya atau 
perluasan fasilitas umum, seperti ; masjid, rumah sakit, taman kota, stasiun, 
terminal bis dan lain sebagainya [9]. Maka jual beli yang terjadi hukumnya sah 
sekalipun mereka dipaksa untuk menjual rumah dan tanahnya, dengan syarat pihak 
pemerintah memberikan ganti rugi yang adil (layak sesuai dengan harga pasar).

Hal itu didasarkan atas kebijakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang 
menggusur rumah-rumah yang berada di sekitar Masjidil Haram dan memberikan 
ganti rugi kepada para pemilik rumah dan tanah yang terkena penggusuran, namun 
pada saat itu ada beberapa orang yang menolak penggusuran rumah mereka, maka 
Umar menggusur paksa serta meletakkan uang ganti rugi di dalam Ka’bah. [HR 
Baihaqi]

Kebijakan ini diikuti oleh Khalifah setelahnya Utsman bin Affan Radhiyallahu 
anhu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Azraqy (wafat 223H), “…Di masa khalifah 
Utsman jumlah kaum muslimin berziarah ke Mekkah terus bertambah … maka beliau 
memperluas Masjidil Haram…. Beliau membeli rumah-rumah di sekitarnya. Sebagian 
orang enggan menjualnya. Lalu Utsman membongkar paksa rumah mereka. Namun para 
pemilik rumah menghalanginya. Maka Utsman memanggil mereka, seraya berkata ; 
“Kalian berani menghadang kebijakanku karena tahu akan kesantunanku. Padahal 
dulu Umar membongkar rumah disekitar Masjidil Haram dan tidak seorangpun yang 
menghadangnya”. Lalu Utsman memenjarakan mereka beberapa hari lamanya”. [10]

Kebijakan dua orang khalifah tersebut untuk menggusur paksa tidak ditentang 
oleh para shahabat, dengan demikian ini bisa dianggap sebagai ijma.

Jual beli paksa untuk kepentingan umum ini dibenarkan dan dikukuhkan oleh 
Himpunan Ulama Fiqh Sedunia Islam yang tergabung di bawah OKI dengan nomor 
keputusan (29) 4/4 Tahun 1988M, dengan menambahkan beberapa persyaratan yang 
wajib diperhatikan saat hal itu dilakukan. Bunyi keputusan tersebut adalah : 
“Setelah menelaah penelitian-penilitian yang diajukan oleh para pakar fiqh 
tentang hukum penggusuran secara paksa demi kepentingan umum yang membolehkan 
hal tersebut berdasarkan dalil dari hadits dan perbuatan para shahabat 
(khalifah Umar dan Utsman) serta kebijakan para pemimpin selanjutnya …. Maka 
diputuskan. :

Tidak boleh melakukan penggusuran paksa untuk kepentingan umum keculi dengan 
memperhatikan hal berikut :

• Pemilik tanah dan rumah yang digusur paksa harus mendapat ganti rugi yang 
adil, ditentukan oleh pihak ketiga yang berpengalaman, dan harganya tidak boleh 
di bawah harga pasar serta dibayar sesegera mungkin
• Pihak yang menggusur hanyalah pemerintah setempat atau instansi yang ditunjuk 
oleh pemerintah.
• Tujuan penggusuran untuk kepentingan umum yang sifatnya menyangkut kebutuhan 
mendesak untuk orang banyak, seperti masjid, jalan dan jembatan.
• Tujuan penggusuran bukan untuk investasi pemerintah atau pribadi.

Jika salah satu persyaratan di atas di langgar maka status penggusurannya 
termasuk kezaliman dan merampas hak rakyat yang dilarang oleh Allah dan 
Rasul-Nya. [11]

CATATAN
Tidak termasuk dalam akad ba’i terpaksa, transaksi yang dikenal dengan akan 
iz’an (contract of adhesion) dimana pihak yang kuat secara ekonomi memaksakan 
harga dan persyaratan-persyaratan yang menguntungkannya terhadap pihak yang 
lemah. Seperti transaksi pemasangan air bersih, telepon, listrik, angkutan umum 
dan lainnya.

Dalam akad ini, para pelanggan sama sekali tidak dapat mengubah harga serta 
persyaratan yang dibuat oleh pihak perusahaan pemberi layanan. Kalau tidak 
menyetujui, mereka tidak akan mendapatkan pelayanan yang mereka butuhkan.

Akad ini tidak mengandung unsur paksaan, karena pelanggan saat ingin mengajukan 
permohonan tidak seorangpun yang memaksa mereka. [12]

Oleh karena itu, akad ini dibenarkan oleh Islamic Fiqh Council (OKI) dengan 
keputusan no. 132 (6/4) tahun 2004M. selama harga yang ditentukan oleh pemberi 
jasa/barang layak dan tidak zalim. Wallahu a’lam bishshawab..

Riyadh, 24 Rajab 1432H

[Disalin dari Majalah Pengusaha Muslim, Edisi 19 Volume 2/Agustus 2011. Alamat 
Redaksi Gang Timor Timur D-9 Jalan Kaliurang Km 6.5 Yogyakarta, Telp Kantor 
0274 8378008, Redaksi 0815 0448 6585. Penerbit Yayasan Bina Pengusaha Muslim 
Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Ar-Ramli Nihayatul Muhtaj jilid 5 halaman 146 dan Ibnu Utsaimin Asy-Syarh 
Mumti jilid 8 halaman 108.
[2]. Walid Al-Muiidy, AlMuhabah fil uqudil maliyah, jilid 1 halaman 83
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Nabi bersabda, “Allah telah menuliskan 
takdir seluruh makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan 
bumi. No hadits 2653
[4]. Walid Al-Mu’iidy, AlMuhabah fil uqudil maliya, jilid 1 halaman 180
[5]. AlBani Dhaif Sunan Abu Daud halaman 273
[6]. Dikarenakan pelanggaran mereka terhadap perjanjian yaitu mereka 
merencanakan pembunuhan Nabi ketika beliau berada di pintu benteng Yahudi untuk 
suatu keperluan dengan melemparkan batu besar ke arah Nabi. Rencana pembunuhan 
gagal karena saat itu Jibril memberitahukan kepada Nabi rencana busuk tersebut. 
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-4 Hijriyah.
[7]. Walid Al-Mu’iidy, AlMuhabah fil uqudil maliya, jilid 1 halaman 183
[8]. DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah hal.215
[9]. DR. Fahd Al Umary Naz’ul Milkiyyah Al Khasshah hal.317
[10]. Az Raqy Akhbar Makkah, jilid II hal 69
[11]. Qararat wa Taushiyat Majma’ Fiqh Islami hal.29
[12]. DR Shaleh Al Ghulaiqah, Shiyagah al Uqud fil Fih Islami hal 99            
                          

Kirim email ke