ORANG YANG HENDAK MENAFSIRKAN AL-QUR'AN HARUS MEMPERHATIKAN DALALAH
MUTHABAQAH, DALALATUT TADHAMMUN DAN DALALAH ILTIZAM.

http://almanhaj.or.id/content/3645/slash/0/orang-yang-hendak-menafsirkan-al-qurn/

Orang yang hendak menafsirkan al-Qur’ân harus memperhatikan Dalâlah
Muthâbaqah [1], Dalâlatut Tadhammun Dan Dalâlah Iltizâm yang ditunjukkan
oleh ayat. Sebagaimana juga harus memperhatikan makna lain yang tidak
ditunjukkan secara eksplisit oleh ayat

Ini merupakan salah satu kaidah terpenting dalam menafsirkan al-Qur’ân,
yang menuntut kecerdasan, pengamatan yang cermat dan niat yang benar.

Sesungguhnya al-Qur’ân diturunkan oleh Dzat yang mengetahui segala sesuatu.
Rabb yang ilmu-Nya meliputi segala yang terkandung dalam hati manusia, Maha
mengetahui makna-makna yang terkandung dalam al-Qur'an, mengetahui segala
yang mengiringi atau yang mendahului makna-makna itu serta mengetahui
segala yang terkait dengannya. Oleh karena itulah, para Ulama sepakat untuk
berdalil dengan menggunakan konsekuensi makna pada setiap firman Allah Azza
wa Jalla .

Metode untuk menerapkan kaidah ini yaitu (pertama-red) dengan memahami
makna-makna yang ditunjukkan oleh teks ayat. Apabila telah dipahami dengan
baik, maka (kedua-red) harus dipikirkan segala yang terkait dengan makna
tersebut, sarana-sarana untuk mewujudkannya serta syarat-syaratnya. Juga
harus dipikirkan akibat-akibatnya, karena segala yang muncul darinya juga
yang akan terbangun di atasnya. Dengan konsisten pada unsur-unsur di atas,
maka akan memiliki kemampuan yang baik untuk menyelami makna-makna itu
dengan detail. Sesungguhnya al-Qur’ân itu haq; maka konsekuensi dari
sesuatu yang haq itu adalah haq; segala yang terkait dengan sesuatu yang
haq juga haq; cabang dari sesuatu yang haq itu juga haq. Barangsiapa yang
diberi hidayah oleh Allah Azza wa Jalla untuk menempuh metode ini, berarti
telah terbuka baginya ilmu-ilmu yang bermanfaat dan pengetahuan yang sangat
agung.

Berikut adalah beberapa contoh sebagai penjelasan:
1. Dalam Asmâ'ul Husnâ “ar-Rahmân ar-Rahîm”. Lafal ini menunjukkan sifat
rahmat (kasih sayang) yang dimiliki oleh Allah Azza wa Jalla juga
keluasannya. Jika anda sudah paham bahwa sifat Rahmat (kasih-sayang) yang
tidak ada tandingannya ini merupakan sifat yang ada pada Allah Azza wa
Jalla ; juga anda paham bahwa Allah Azza wa Jalla memberikan rahmat-Nya
kepada seluruh makhluk, tidak ada seorang pun yang luput dari rahmat Allah
Azza wa Jalla meski hanya sekejap. Maka, anda juga akan tahu bahwa Allah
Azza wa Jalla itu Maha hidup, Maha kuasa untuk melaksanakan keinginan-Nya,
Maha tahu dan Maha bijak. Karena sifat rahmat berkaitan erat dengan semua
ini. Kemudian juga keluasan rahmat Allah Azza wa Jalla ini, bisa anda
jadikan sebagai dalil untuk menunjukkan bahwa syariat Allah Azza wa Jalla
itu adalah cahaya dan rahmat-Nya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla
sering menjadikan rahmat dan ihsan-Nya sebagai alasan menetapkan banyak
syari'at.

2. Contohnya lainnya adalah firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. [an-Nisâ`/4:58]

Apabila seseorang telah paham bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar
menunaikan semua amanah kepada orang yang berhak. Maka ia dapat menjadikan
ini sebagai dalil atas wajibnya menjaga amanah, tidak menyia-nyiakannya
atau menelantarkannya. Karena amanah tidak mungkin bisa ditunaikan kecuali
dengan menjaga amanah itu sendiri.

Juga, jika seseorang telah mengetahui bahwa Allah Azza wa Jalla
memerintahkan agar memutuskan suatu perkara dengan adil. Maka, ia dapat
menggunakan ini sebagai dalil atas wajibnya setiap hakim yang memutuskan
semua perkara, yang besar maupun yang kecil, untuk mengetahui dan memahami
apa yang akan dipergunakan untuk menetapkan hukum. Jika ia seorang hakim
agung, maka ia wajib memiliki ilmu yang luas sehingga ia berhak menduduki
posisi itu. Sedangkan jika ia seorang hakim dalam sebagian masalah saja,
seperti hakim yang akan menyelesaikan percekcokan dalam rumah tangga, maka
dia wajib memiliki ilmu tentang masalah yang akan ditanganinya. Ini juga
bisa kita jadikan sebagai dalil atas wajibnya menuntut ilmu. Yaitu menuntut
ilmu tentang masalah-masalah yang dibutuhkan seorang hamba menjadi fardhu
'ain atas hamba yang bersangkutan; karena Allah Azza wa Jalla telah
memerintahkan banyak perintah kepada kita dan juga melarang kita dengan
banyak larangan. Sebagaimana diketahui bersama, pelaksanaan perintah dan
usaha menjauhi larangan oleh seorang hamba tergantung pada ilmu yang dia
miliki. Sebab, bagaimana mungkin orang yang tidak tahu bisa melaksanakan
atau menjauhi sesuatu yang dia sendiri tidak tahu.

Begitu juga perintah Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya agar
ber-amar ma’ruf (menyeru kepada keibaikan) dan nahi munkar (mencegah
kemungkaran). Penerapan perintah ini juga tergantung kepada pengetahuan
seseorang tentang perkara-perkara yang ma'rûf dan perkara-perkara yang
mungkar, sehingga dia bisa menyerukan yang ma'rûf dan mencegah dari yang
mungkar. Dalam kaidah :

مَا لاَيَتِمُّ الْوَاجِبْ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu perkara yang wajib, jika tidak bisa sempurna dilaksanakan kecuali
dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib.

Demikian pula sesuatu yang menjadikan sebuah larangan tidak bisa
ditinggalkan kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya juga wajib.
Karena, meninggalkan larangan hukumnya wajib. Jadi, sebelum melaksanakan
amal shalih, terlebih dahulu harus memiliki ilmu tentangnya. Begitu juga
dalam meninggalkan larangan, harus mengetahui ilmunya dulu baru bisa
meninggalkan larangan. Karena seseorang tidak mungkin bisa meninggalkan
sesuatu yang dia tidak tahu dengan sengaja dan dalam rangka beribadah
kepada Allah Azza wa Jalla .

3. Contoh lain tentang penerapan kaidah di atas adalah dalam perintah dan
dorongan Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya agar berjihad.
Konsekuensi dari perintah jihad ini adalah perintah terhadap semua sarana
untuk bisa melaksanakan jihad, seperti belajar memanah, berkendaraan,
belajar menggunakan peralatan jihad, juga perintah untuk memproduksinya.
Dalâlatul iltizâm dari perintah jihad ini juga merupakan dalâlah muthâbaqah
dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi. [al-Anfâl/8:60]

Ayat ini mencakup segala kekuatan, baik pikiran, fisik, strategi dan
lainnya.

4. Contoh yang lainnya adalah permohonan para hamba kepada Allah Azza wa
Jalla supaya dijadikan imam bagi orang-orang yang bertakwa. Permohonan ini
mencakup semua hal yang menjadikan mereka layak sebagai imam dalam agama,
seperti ilmu yang banyak, pengetahuan yang tinggi, amal shalih dan akhlak
terpuji. Karena permohonan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla agar
diberi sesuatu, berarti memohon agar diberi sesuatu yang diminta itu,
sekaligus memohon agar diberi segala sarananya. Sebagaimana permohonan
seorang hamba agar dimasukkan ke surga dan dijauhkan dari neraka. Maka ini
sekaligus sebagai permohonan agar diberi petunjuk terhadap semua yang bisa
mendekatkannya ke surga dan menjauhkan dirinya dari neraka.

5. Contoh yang lain, Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar para hamba
berbuat baik dan mengadakan perbaikan. Allah Azza wa Jalla memuji
orang-orang yang mengadakan perbaikan. Dan Allah Azza wa Jalla mengabarkan
bahwa Allah Azza wa Jalla tidak akan memperbaiki perbuatan orang-orang yang
suka berbuat kerusakan.

Ini bisa dijadikan dalil bahwa setiap perkara yang mendatangkan kebaikan
agama atau dunia bagi seorang hamba serta sarana untuk mewujudkan perbaikan
ini, masuk dalam perintah dan anjuran Allah Azza wa Jalla di atas.
Sebaliknya, semua keburukan, bahaya serta kerusakan, masuk dalam lingkup
larangan Allah Azza wa Jalla .

Ini juga bisa dijadikan dalil wajibnya mengusahakan sesuatu yang bisa
mewujudkan perbaikan sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana perkataan Nabi
Syuaib Alaihissallam :

إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. [Hûd/11:88]

6. Contoh yang lain adalah firman Allah Azza wa Jalla :

حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ

Kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang. [al-Anfâl/8:65]

Dan juga:

وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang Mukmin [al-Ahzâb/33:47]

Perintah dalam ayat ini berarti juga perintah untuk melaksanakan sarana
agar bisa memberikan kabar gembira serta perintah untuk melaksanakan segala
sarana yang bisa memberikan dorongan dan motivasi; segala yang terkait
dengannya dan segala yang mengiringinya seperti latihan untuk menumbuhkan
keberanian serta usaha membangun kekuatan mental seperti menggalang
persatuan dan lain sebagainya.

7. Contoh yang lain adalah perintah Allah Azza wa Jalla untuk menyampaikan
hukum-hukum syariat, mengingatkan manusia serta perintah agar mengajarkan
hukum syari'at kepada manusia. Maka segala hal yang menjadi sarana untuk
melaksanakan perintah ini yaitu menyampaikan hukum-hukum syariat kepada
para mukallaf masuk dalam perintah Allah Azza wa Jalla di atas. Seperti
perintah agar menyampaikan tentang hilâl untuk penetapan puasa, hari raya
dan haji. Maka perintah menyampaikan di sini meliputi perintah menyampaikan
dengan suara, atau tembakan atau cara yang lebih cepat seperti mesin
faksimile dan lain-lain. Demikian juga perintah menyampaikan ini mencakup
perintah terhadap setiap sarana pendukung untuk menyampaikan suara kepada
pendengar, seperti berbagai perangkat modern saat ini. Tidak adanya
berbagai perangkat ini pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
, tidak menjadikan perangkat-perangkat ini terlarang dalam Islam. Al-Qur’ân
tidak melarang penggunaan sesuatu, selama bermanfaat bahkan bagi orang bisa
memahami al-Qur’ân dengan baik; sehingga dia akan mendapati bahwa al-Qur'an
menganjurkan penggunaannya.

Ini merupakan bukti kebenaran al-Qur’ân, bahwa ilmu yang benar tidak akan
bertentangan dengan al-Qur’ân. Karena sesungguhnya al-Qur’ân itu datang
membawa hal-hal yang dapat difahami logika secara global atau terperinci;
dan hal-hal yang tidak terjangkau akal manusia. Sedangkan pemahaman bahwa
al-Qur'ân datang membawa sesuatu yang ditolak oleh akal sehat, maka hal itu
tidak mungkin terjadi. Berbagai percobaan telah membuktikan pernyataan ini.
Bukti lainnya adalah kemajuan teknologi dan industri, perkembangan
pengetahuan alam yang pesat, sehingga manusia sekarang ini mampu mengetahui
hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui, semua ini tidak dinyatakan
mustahil oleh al-Qur'ân, bahkan ada sebagian ayat yang secara umum
mengisyaratkan adanya kemajuan ini. Wallâhu a’lam wa ahkâm.

(Di kutip dari kitab Al-Qawâidul Hisân, Syaikh Abdurrahmân bin Nâshir
as-Sa`di, Hal 34-37)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dalâlah muthâbaqah yaitu sebuah kalimat menunjukkan makna lengkapnya.
Misalnya, kata "mobil" yang bermakna mobil secara keseluruhan, mulai dari
bagian terkecil sampai terbesar. Bila kata mobil disebutkan tapi yang
diinginkan adalah bagian dari mobil berarti itu dalâlah tadhammun, contoh,
mobil rusak. Yang rusak hanya bagian tertentu saja, tidak semua. Sedangkan
dalâlah iltizâm, maksudnya adalah penunjukkan sebuah kalimat terhadap
hal-hal yang berkait dengan maknanya tetapi bukan bagian dari makna
sendiri. Misalnya, kalimat "mobil itu berjalan". Orang yang mendengar
kalimat ini akan terbayang keberadaan sopir yang mengendalikannya.

Kirim email ke