BAHAYA PANDANGAN MATERIALISTIS, BAGI KEHIDUPAN RUMAH TANGGA MUSLIM
http://almanhaj.or.id/content/3720/slash/0/bahaya-pandangan-materialistis-bagi-kehidupan-rumah-tangga-muslim/


Pandangan Materialistis Terhadap Dunia
Pandangan materialistis saat ini, banyak menerpa kehidupan manusia. Bahkan
sebagian kaum muslimin ada yang juga terpengaruh dengan kehidupan yang
melalaikan ini. Yaitu mengedepankan cara pandang tentang kehidupan yang
hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia fana
ini, sehingga aktifitas hidup yang dijalankan hanya berkisar pada masalah
bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi,
membangun rumah dan gedung, memenuhi kepuasan hidup dan hal-hal lain yang
bersifat duniawi, tanpa memikirkan akibat dan sikap yang seharusnya
dilakukan. Seolah menganggap, bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih
dengan harta. Alhasil, pandangan materialistis ini mengusik keharmonisan
dan ketenangan rumah tangga seorang muslim. Melalaikan tujuan inti
penciptaannya, penghambaan diri kepada Allah semata dalam setiap aspek
kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم
مِّن رِّزْقٍ وَمَآأُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ


"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha
Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz Dzariyat/51
: 56-58]


Sebagai efeknya, tak jarang wanita juga ikut bekerja membanting tulang,
mengerahkan segala cara untuk mendapatkan harta yang banyak. Dalam
benaknya, yang berkembang hanya bagaimana bisa menguasai dunia dengan harta
berlimpah, seolah kebahagiaan dan ketenangan bergantung dengan harta;
padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzar.
Apakah engkau menyangka karena banyak harta orang menjadi kaya?” Saya (Abu
Dzar) menjawab : “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Dan engkau
menyangka, karena harta sedikit orang menjadi miskin?” Saya (Abu Dzar)
berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya kekayaan
adalah kecukupan dalam hati, dan kemiskinan adalah miskin hati”. [1]


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


خَسِرَ الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ


"Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang
nyata". [Al Hajj/22 : 11]


Allah menciptakan dunia tidak untuk main-main atau sendau gurau, tetapi
Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung, sebagaimana firman
Allah.


إِنَّا جَعَلْنَا مَاعَلَى اْلأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ
أَحْسَنُ عَمَلاً


"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan
baginya agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik
perbuatannya". [Al Kahf/18 :7].


Allah menciptakan dunia tidak lain ialah sebagai ladang kampung akhirat dan
kampung untuk beramal. Sedangkan akhirat sebagai kampung menuai balasan.
Barangsiapa mengisi dunia dengan amal shalih, niscaya ia akan menuai
keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya, barangsiapa yang
menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.


Pandangan Yang Salah Terhadap Dunia
Allah menjadikan berbagai kenikmatan dunia dan perhiasan lahiriah berupa
harta, anak-anak, isteri, kedudukan, kekuasaan dan berbagai macam
kenikmatan lainnya, yang seharusnya digunakan sebagai sarana untuk
mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Dari Tsauban, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :


لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً
مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ


"Hendaklah di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang
berdzikir dan isteri yang shalihah yang membantu dalam urusan akhirat"[2]


Pada kenyataannya, sebagian besar manusia memusatkan perhatiannya pada
aspek lahiriah dan kenikmatan materi semata. Setiap hari disibukkan dengan
bekerja untuk mendapatkan harta dan kenikmatan dunia, sehingga lupa
menyiapkan bekal untuk amal kehidupan sesudah mati; bahkan ada yang
mengingkari kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.


وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَانَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ


"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula) “Hidup hanyalah kehidupan kita di
dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”. [Al-An’am/6 :
29].


Allah mengancam orang-orang yang memiliki pandangan kerdil terhadap dunia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا
وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ


"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu
apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan". [Hud/11 : 15-16].



Ancaman Allah Terhadap Orang-Orang Materialistis
Dampak ancaman di atas berlaku bagi semua orang yang memiliki pandangan
materialis, yaitu mereka yang beramal hanya sekedar mencari keuntungan
dunia, misalnya: orang-orang munafik, orang-orang kafir, orang-orang yang
menganut faham kapitalisme, komunisme dan sekulerisme. Allah akan
menjadikan kehidupan ini terasa sempit bagi mereka. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :


مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا
كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ
أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ
رَاغِمَةٌ


"Barangsiapa yang menjadikan dunianya sebagai tujuan utamanya, maka Allah
akan membuat perkaranya berantakan, kemiskinan berada di depan kedua
matanya dan dunia tidaklah datang, kecuali yang telah ditentukan baginya
saja. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat (sebagai) niatnya, niscaya
Allah akan memudahkan urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam
dalam dalam hatinya dan dunia akan datang dengan sendirinya". [3]


Pandangan Yang Benar Terhadap Dunia
Dunia bukanlah segala-galanya, akan mengalami kehancuran. Ia hanya jembatan
penyeberangan belaka. Segala prasarana dan sarana yang Allah adakan di
dunia ini, harta, kekuasaan dan lain-lain, semestinya dioptimalkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan yang lebih besar, meraih kehidupan
akhirat yang paling baik.


Karena itu, pada hakikatnya dunia tidak tercela dzatnya. Pujian atau celaan
tergantung pada tindak-tanduk seorang hamba dalam menjalani siklus
kehidupannya di dunia. Sekali lagi, dunia, kehidupannya bersifat maya.


Kehidupan yang baik yang diperoleh penduduk surga, tidak lain karena
kebaikan dan amal shalih yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka
dunia adalah kampung jihad, shalat, puasa dan infak di jalan Allah, serta
medan untuk berlomba dalam kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
kepada penduduk surga, artinya :



كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَآأَسْلَفْتُمْ فِي اْلأَيَّامِ الْخَالِيَةِ


"(Kepada mereka dikatakan) “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal
yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia)”.
[Al-Haqqah/69 : 24].


Selayaknya kita bersiap diri meninggalkan kampung dunia menuju kampung
akhirat dengan selalu menambah simpanan amal kebaikan dan bersegera
memenuhi panggilan Allah.


Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah
habis berlalu dan akhirat semakin mendekat. Dan masing-masing mempunyai
anak keturunan. Jadilah kalian anak keturunan akhirat dan jangan menjadi
anak keturunan dunia, karena sekarang kesempatan beramal tanpa ada hisab
(peratnggungjawaban) dan besok di akhirat masa perhitungan amalan dan tidak
ada kesempatan beramal”. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu juga
mengatakan: “Halalnya adalah dipertanggungjawabkan, dan haramnya adalah
neraka”.


Wahai saudaraku kaum muslimin, ingatlah terhadap empat hal : Aku tahu bahwa
rezekiku tidak akan dimakan orang lain, maka tenteramlah jiwaku. Aku tahu
bahwa amalku tidak akan dilakukan orang lain, maka akupun disibukkannya.
Aku tahu bahwa kematian akan datang tiba-tiba, maka segera aku
menyiapkannya. Dan aku tahu bahwa diriku tidak akan lepas dari pantauan
Allah, maka aku akan merasa malu kepadaNya. [4]


Orang yang mengosongkan hatinya dari keinginan dunia akan merasa ringan
tanpa beban, total menyongsong Allah dan mempersiapkan diri untuk datangnya
perjalanan. Mengosongkan hati untuk dunia yang fana bukan berarti
meninggalkan dunia kerja, enggan mencari kehidupan dunia dan tidak mencoba
berusaha. Islam sendiri memerintahkan untuk bekerja dan menganggapnya
sebagai satu jenis jihad, bila dengan niat yang tulus dan memenuhi syarat
amanah dan ikhlas, serta tidak melanggar syariat. (Ummu Ahmad).


Maraji’:
- Kitab Tauhid III, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan.
- Islahul Qulub, karya Syaikh Abdul Hadi Wahbi.
- Faraidul Kalam Lil Khulafail Kiram, karya Syaikh Qasim ‘Asyur.
- Ad Dunya Dhillul Zailun, Abdul Malik bin Muhammad Al Qasim.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Kirim email ke