Wayang ceng-blong lumayan kreatif dan lucu..tapi bisa tidak bikin dalam bahasa Indonesia dan tetap juga lucu??
Suku Dayak banyak juga yang Hindu lho, terutama di Kalimantan Tengah : Dayak Kaharingan....komunitas Hindu Kaharingan di Kalteng kurang lebih 200 ribu jiwa... Tapi memang sih sisanya sudah Kristen, karena misionaris Kristen begitu gencar masuk sampai jauh ke pedalaman... Tanah Toraja di Sulawesi pun sekarang 90% sudah Kristen, padahal tadinya mereka Hindu... -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Asana Viebeke Lengkong Sent: Wednesday, October 03, 2007 2:00 PM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: Mahabarata Ngaleh gae gen Ngurah Beni ya..... aku juga suka sekali dan pernah main di jalan depan rumah ku loooo... Aku kecil ya bisa nari srimpi dan dan gatotkaca gandrung, tapi kalau nonto wayang wong juga wah sampai pagi... soalnya dulu ketika kecil juga nggak boleh main kalau nggak bisa cerita satu aja episode wayang .... Eyang ku galak.... P Ngurah Ambara suka nggak ya sama wayang Cenk Blonk? kelamaan di Kalimantan nanti malahan ketularan sama suku dayak lagi... masuk kristen.... nggak apa kok.... Seorang Kiayi curhat ama Gus Dur : gimana nih Gus, saya punya anak 2 tapi yang satu masuk Kristen..... Gus Dur santai aja jawab : ah jangan bingung jangan cemas wong Tuhan punya anak satu aja masuk Kristen ...... hehehehe ----- Original Message ----- From: ngurah beni setiawan <mailto:[EMAIL PROTECTED]> To: bali@lp3b.or.id Sent: Wednesday, October 03, 2007 1:40 PM Subject: [bali] Mahabarata Om Suastiastu ikut nimbrung dikit ah...tapi yang ringan aja... kalo ngobrol masalah Mahabarata dan Ramayana...saya jadi ingat wayang Cenk Blonk karena kebetulan saya pecinta (kecanduan .red) sama dalang Nardayana..hehe kalo ada yang mau pinjem koleksi cenk blonk saya, tak pikir2 dulu ya...hehehe.... salam, Ngurah Beni Setiawan ---------[ Received Mail Content ]---------- Subject : [bali] Re: Kasta : kesalah pahaman Date : Wed, 3 Oct 2007 12:38:23 +0800 From : "Asana Viebeke Lengkong" <[EMAIL PROTECTED]> To : <bali@lp3b.or.id> Wah ternyata benar juga intuisi saya yang saya sampaikan ke P Wis, kasi waktu untuk berdialog masalah Mahabaratha, sangat menarik dan malahan bisa membuka wawasan. Salam kenal Niluh Made Ashanapuri...... Dalam filsafat Hindu ada astika yang berpegang pada Veda, dan ada Nastika yang menolak Veda.... keduanya tetap dalam Hindu. Kini, dalam Era wiracarita, epos yang di pakai.... Kita tidak perlu takut pada dialog agama kalau bisa meletakkan dari mula bahwa kita dialog kita tidak punya maksud untuk manyakiti orang lain. Jangan pernah merasa tidak nyaman kalau itu hanya di dasari ketakutan, bayangkan semua leluhur kita hidup dan mati dengan proses dan salah satu proses nya adalah beragama... kita juga perlu berjuang untuk keyakikan dgn menggunakan pengetahuan dan nalar..... Selamat datang Niluh.... vieb ----- Original Message ----- From: niluh made ashanapuri To: bali@lp3b.or.id Sent: Wednesday, October 03, 2007 10:56 AM Subject: [bali] Re: Kasta : kesalah pahaman Dear All, salam kenal Saya mengikuti diskusi mengenai mother nature ini, kalau mau disambung ke forum lain harap ajak-ajak saya juga ya... ini merupakan bahasan yang cukup menarik dan menggelitik saya sebagai manusia yang merupakan bagian dari society, yang saat ini tampaknya agak terlena dengan keberadaan golongannya masing-masing dan agak lupa bahwa di dunia ini kita adalah bagian dari yang lainnya. Selayaknya kita menghargai perbedaan yang ada. Dan mungkin perlu digarisbawahi bahwa ketertarikan saya mengikuti diskusi ini sama sekali bukan untuk mempertajam perbedaan yang ada akan tetapi justru untuk kita bersama-sama melihat bahwa kebersamaan dan saling menghormati antara manusia tanpa melihat dari mana dia berasal atau siapa dia merupakan hal yang jauh lebih penting demi keberlangsungan kehidupan di muka bumi. Lagipula kalau terlalu sibuk mengurusi perbedaan nanti kita nggak punya waktu lagi untuk ngurusin yang lainnya. Padahal lingkungan hidup juga butuh perhatian kita dan jelas bahwa itu adalah tanggung jawab kita semua bersama sebagai penghuni alam semesta ini, sedangkan kalo agama kan itu urusan individu masing-masing dengan Yang Maha Kuasa. Terimakasih Regards Ashanapuri "Ambara, Gede Ngurah (KPC)" wrote: Mbak Asana Sebenarnya tidak ada masalah dengan : warna : "penggolongan Kerja/profesi" seperti dinyatakan dalam Veda, penggolongan ini bermasalah ketika diturunkan. Kebingungan masalah wangsa (bukan warna) di bali adalah hal lain, wangsa tidak sama dengan warna, wangsa lebih kearah mencari siapa leluhur mereka sebelumnya, dan wangsa secara umum saat ini tidak berkaitan lagi dengan profesi/kerja. Warna dan wangsa adalah hal yang berbeda..masalah kasta saya tidak tahu, karena ini bukan istilah Hindu, ini adalah propaganda Barat yang akhirnya diterima oleh orang-orang Indonesia untuk menjelekkan agama Hindu.kasta di Indonesia di masa sekarang?? Ini adalah omong kosong.. kalau di Afika Selatan pernah ada dengan politik Apartheid demi menindas pribumi sehingga ada kelompok putih dan kulit hitam ini adalah contoh perbedaan klas/golongan/kasta.demikian juga di Amerika sebelum perang sipil ..Dimana budak-budak negro menjadi warga kelas dua. Jadi panjang deh diskusinya..oke deh sepertinya mesti ditutup kawatir yang lain pada protes karena bosan/tidak tertarik. Suksme GNA -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Asana Viebeke Lengkong Sent: Tuesday, October 02, 2007 7:17 PM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: Kasta : kesalah pahaman P Lengkey betul juga untuk forum special agama, tapi sabar ya... ini tidak akan berlarut larut karena memang tidak ada maksud demikian. Untuk P Ngurah, Mohon baca buku KASTA DALAM HINDU - Kesalahpahaman berabad-abad oleh Ketut Wiana. Ketut Wiana saya kenal sekali dan yakin bahwa tulisan beliau di dasari pengamatan dari berbagai aspek. Disana beliau menerangkan dengan jelas bahwa istilah warna di terjemahkan dengan kasta. Memang benar di tubuh agama Hindu sama sekali tidak dikenal pembagian kasta dst. Namun kenyataan di masyarakat tidak sama dengan konsep yang kita pahami. Dalam kurun waktu 30 tahun saya banyak mendengar diskusi tentang Kasta di Bali; saya juga ingat sekitar 20 tahunan yang lalu ketika masyarakat Bali di hinggapi sindrom Kasta (timbul para Gusti baru) tetapi mereka menemui jalan buntu ketika tidak bisa menemukan silsilah keturunan warna, wangsa dan kasta. Yang saya maksud adalah bukan KASTA atau WANGSA nya atau WARNA nya tetapi lebih ke PENGGOLONGAN. Saya rasa memang sudah cukup apa yang bisa saya share disini karena yang di jawab oleh P Ngurah hanya konteks KASTA dalam teoritis. Kalau soal agama, saya rasa banyak anggota milis ini yang tidak nyaman, kapan kapan kita sambung lagi. Namun saya ingin sedikit 'nyambat sara' dengan P Ngurah Ambara selaku semeton: Pak.... mohon jaga diri, hati-hati di jalan, karena kalau saja ada pendatang yang berani melampiaskan pendapat ataupun pernyataan seperti yang P Ngurah sampaikan di forum ini selama 3 hari terachir; maka 'kul-kul bulus kal nyambut'; kita semua kan anak Tuhan...... Ampurayang, Suksme, Vieb From: Ambara, Gede Ngurah (KPC) To: bali@lp3b.or.id Sent: Tuesday, October 02, 2007 2:08 PM Subject: [bali] Kasta : kesalah pahaman Sepertinya Mbak Asana terpengaruh terhadap propaganda pandangan orang-orang Barat tentang Kasta, padahal di Hindu (Veda) tidak ada kasta yang ada adalah warna: Kasta sendiri berasal dari bahasa portugis : caste, bukan dari bahasa India. Sementara itu warna sangat berbeda dengan kasta: Warna adalah penggolongan manusia karena pekerjaan/profesi. Di dalam Veda disebutkan tentang warna ini: Brahmana adalah orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan, intelektual Ksatria adalah orang-orang yang bekerja/bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan Wesia adalah orang-orang yang bergerak dibidang ekonomi Sementara sudra adalah orang-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani .. Dan penggolongan ini tidak diturunkan..Artinya kalau sang Ayah Brahmana, tidak otomatis anaknya menjadi Brahmana. Menurut Veda, Brahmana menempati posisi yang diagungkan, artinya Veda mendukung masyarakat yang dipimpin oleh orang-orang Intelektual/Bijaksana (Civil society) dan tidak sekedar kekuasaan/kekuatan. Apa yang terjadi di India adalah distorsi dari ajaran-ajaran Veda.. di Indonesia sendiri kasta tidak ada, yang ada adalah wangsa (garis leluhur). Wangsa yang ada di Bali sebagai contoh hanya sebagai pengenal bahwa garis leluhurnya mereka dahulu berasal dari keluarga tertentu : misalnya soroh pande, artinya keluarga mereka pada jaman dahulu adalah "pengrajin/pande-besi", arya tegeh kori contoh lain artinya jaman dahulu keluarga mereka dari kelompok "arya" (ksatria yang berasal dari jawa masuk ke Bali). Jadi tidaklah benar kalau umat Hindu itu mengenal kasta..ini merupakan bentuk pelecehan, dengan tujuan halus agar nama Hindu menjadi buruk, sehingga agama-agama baru (Kristen, Islam) lebih mudah berkembang ..kalau Mbak Asana yang lama tinggal di bali saja masih salah paham tentang Kasta, apalagi orang-orang lain yang tinggal di luar Bali.mungkin karena Umat Hindu tidak pernah menjelaskan secara gamblang apa itu wangsa/warna.atau seperti tadi, memang secara politis, mass media yang telah dikuasai oleh orang-orang Kristen/Islam cendrung lebih menonjolkan Ke Islaman dan Kekristenan dan dengan sengaja merendahkan agama Hindu. Mahatma-Gandi berusaha memperbaiki keadaan ini, sehingga Gandi menyatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara umat manusia sehingga ia menyatakan Semua manusia sebagai Hari-Jan (anak-anak Tuhan). Dan nama yang ada di Bali bukan berarti itu kasta, itu sekedar nama: nama saya misalnya Gede Ngurah Ambara, apakah saya ksatria?? Tentu bukan! Saya seorang engineer bekerja di pertambangan, seorang yang digaji, maka saya sebenarnya sudra (buruh).siapa itu para ksatria?? Para ksatria adalah bapak-bapak yang bekerja di pemerintahan, para polisi, militer yang bergerak dibidang pertahanan. Suksme -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Asana Viebeke Lengkong Sent: Tuesday, October 02, 2007 1:41 PM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: mother-nature Saya jawab dengan interaktif saja ya (jawaban saya dengan tanda **** dibawah tulisan P Ngurah) .... kita terbuka saja, jadi tidak ada yang merasa perlu 'tidak nyaman' ya... kita nyaman nyaman kan saja; karena ini adalah termasuk kebebasan berpendapat... jangan perlu ada yang tersinggung atau tidak nyaman, semua perlu proses pendewasaan... Saya sendiri berdialog dengan P Ngurah nggak mau dianggap ada agama saja.... kalau saya bawa agama... pasti banyak yang tersinggung... jadi jangan buang tenaga lah untuk tersinggung... hehehe ----- Original Message ----- From: Ambara, Gede Ngurah (KPC) To: bali@lp3b.or.id Sent: Tuesday, October 02, 2007 11:07 AM Subject: [bali] mother-nature Mbak Asana. Toleransi dalam kehidupan sosial memang sangat diperlukan, karena sesungguhnya manusia adalah mahkluk sosial..dan kalaupun misalnya tidak ada, tidak pernah muncul agama-agama di muka bumi, maka toleransi ini bisa tetap terjadi, karena manusia saling memerlukannya untuk hidup/bertahan hidup. Tapi begitu menyangkut masalah-masalah yang subtle dari agama, maka manusia dengan agama berbeda menjadi tidak bisa ketemu, karena secara mendasar : Hindu, Buddha, Islam dan Kristen sangat berbeda. - Islam/Kristen tidak mengenal Karma-reinkarnasi maupun moksa (nirvana), tapi mengenal sorga. - Hindu-buddha mengakui adanya hukum karma-reinkarnasi dan menuju moksa (bersatunya Roh dengan Maha Roh: Tuhan) . Hindu dan Budda menyatakan hidup ini bukan sekali, tapi ribuan kali bahkan tidak terhitung kita pernah dilahirkan dalam tubuh yang berbeda-beda.. Menyadari bahwa hidup ini tidak hanya sekali maka orang Hindu-budda melihat dunia ini dengan cara yang lebih bijaksana, Hindu-budda cendrung lebih menyatu dengan alam, seimbang dengan alam, jarang sekali ada orang Hindu merusak alam sekitarnya, karena mereka percaya, alam adalah bagian integral dari dirinya, roh yang sama juga terdapat pada tumbuhan dan hewan, sama seperti roh yang ada pada manusia.. ****P Ngurah mengarah ke perbedaan jadi kapan ketemunya? Karena sorga ya pengertiannya persatuan antara kita dengan Tuhan kata lainnya mungkin kehidupan kekal; jadi mungkin bahasanya yang berbeda.... Sebalikya orang Islam/Kristen menganggap bahwa tumbuhan/hewan berbeda dengan pada manusia, sehingga agama-agama semitik (Islam, Kristen, Yahudi) cendrung dengan mudah melakukan exploitasi terhadap alam.namun sebenarnya pada kondisi sekarang, orang-orang Kristen/barat mulai mengakui adanya peranan alam ini, sehingga sekarang ini bukan hanya umat Hindu yang sering berkata : Ibu Bumi (Pertiwi) yang lagi menderita, tapi orang-orang Barat juga berkata dengan terminolgi serupa mereka menyebutnya sebagai : the Mother-nature is suffering, padahal istilah mother-nature ini saya yakin tidak pernah muncul di Bible (Injil).. **** Saya tidak berani YAKIN bahwa Mother Nature tidak muncul dalam Bible - coba di telaah asal muasal istilah Mother Nature dalam Wikipedia, agama agama baru itu melanjutkan agama kuno dengan proses evolusi yang cukup panjang, jadi tidak valid lah kalau kita menilainya melalui superioriti....bukankah yang superior adalah Tuhan? Sehingga konsepsi Veda bahwa : Alam semesta ini sesungguhnya perwujudan dari Brahman (Tuhan) : sarwa-idam kalu Brahman, maka seluruh alam semesta ini adalah suci menjadi dasar kuat bagi umat penganut Veda (tidak mesti orang Hindu, tapi siapapun yang percaya Veda) untuk senantiasa mengupayakan kelestarian alam. ***** Saya adalah pembaca Veda bukan penafsir... jadi mencoba untuk melihat segala sesuatunya dengan pengetahuan dan nalar..... Orang-orang suci di Bali, para leluhur dari sebelum masa Mpu Kuturan telah menggariskan konsep keseimbangan yang sempurna antara : Manusia-Tuhan-Alam. Tri Hita Karana : Urip-pawongan-palemahan.. *****Cantik ya konsep di "Bali"... kita sekarang menghadapi realita yang berbeda yang belum ada solusi nyatanya.... Kalau menurut saya, dengan agama kita memang mesti serius (tidak boleh setengah-setengah) karena bisa fatal. Suatu contoh, mantan raja Buleleng: I Gusti Panji Tisna, yang pernah pindah menjadi Kristen (sebelumnya beragama Hindu), akhirnya setelah meninggal, kehidupan di alam sana tidak jelas (terkatung-katung), teman saya, masih keturunan Panji Tisna, menuturkan bahwa sang roh Panji Tisna masuk ke salah satu keluarga (kesurupan) meminta agar dibuatkan upacara pengabenan.. Keluarga Panji Tisna yang sebagian sudah Kristen menolak, karena mereka tidak percaya, sang Roh Panji Tisna bercerita di alam sana, ia tidak mendapat tempat, di tempatnya Kristen ditolak, sebaliknya di tempat Hindu juga ditolak.akhirnya keluarga Panji Tisna yang masih Hindu melakukan upacara pengabenan ini, agar roh Panji Tisna ini bisa mendapatkan tempat yang layak di alam sana.. *****Jadi Roh Panji Tisna sudah PASTI ya SEKARANG mendapatkan tempat layak di alam sana.....apakah melalui proses cenayang makluk luar-bumi bentara zaman baru (new age extraterestrial communicators), saya perlu nomor HP nya kalau ada (becanda ya Pak); wah kalau hal yang begini saya kurang paham; apalagi kalau baca dan nonton di Discovery sejarah para Firaun dari 3500 tahun lalu yang sampai sekarang pun masih utuh dan sejarahnya jelas; nama, umur dan mereka tidak melalui proses ngaben. Sehingga menurut saya, kita masing-masing dengan agama berbeda sebaiknya serius di agama masing-masing, dan menjaga toleransi diantara sesama umat beragama. karena Veda ternyata juga membuat arahan/guidance yang serupa : salah satu sloka Bhagavadgita Tuhan bersabda sbb "Jalan apapun yang engkau tempuh padaKU, berbakti sepenuhnya di jalan itu, maka engkau akan mencapai Aku" ***** Wah sama dengan yang tertulis di Al Q'uran dan Kitab Injil; persis sekali lo.... apa yang nulis sama kali ya..... penerbitnya yang berbeda..... Kehidupan saya di perantauan sejauh ini cukup nyaman, mungkin karena jauh dari tempat-tempat yang potensial konflik tinggi seperti Sampit, Kalteng. Namun sekarang ini yang cukup memprihatinkan adalah orang-orang Dayak masuk (merusak) Taman Nasional Kutai, dengan dalih politis bahwa mereka sampai sekarang terpinggirkan oleh kaum pendatang yang kebanyakan suku Bugis, Jawa dlll..dengan tindakan ini mereka berharap bisa diperhatikan dan bisa mendapatkan hak-hak politik mereka di pemerintahan dan dewan perwakilan yang saat ini malah sebagian besar dikuasai oleh pendatang. Pura di Balikpapan sekarang ini juga masalah, karena di sebelahnya persis dibangun Gereja, umat Hindu protes sudah diajukan ke wali-kota, namun mereka, orang-orang Kristen justru menantang balik, mereka bilang, kalau kita tetap ribut maka mereka bisa saja bikin seperti di Sampit dengan mengerahkan orang-orang Dayak. Menurut undang-undang aturannya sudah jelas, rumah ibadah yang berbeda tidak boleh didirikan pada jarak kurang dari 200 meter satu sama lain..nah Gereja ini jaraknya Cuma 1 meter dari Pura, langsung berbatasan dengan tembok pura. **** Di BALI di NUSA DUA, mererot lo antara mesjid, vihara, gereja dan pura..... dan OK OK saja semua; jadi saya rasa yang 'bler' itu orang-orangnya ya... nggak ada hubungannya dengan agama, yang protes sekelompok orang yang belum paham, agamanya sih ok saja...... Pendapat saya ya P Ngurah cocok hidup di jaman sebelum Axial Age dimana penggolongan menjadi cara kehidupan manusia ketika itu... sedangkan kita yang hidup sekarang mencoba untuk menyederhanakan dan meminimalisasi adanya penggolongan yang mencolok antar manusia hidup. Saya kutip: "Mengapa begitu besar perubahan terjadi selama jaman Aksial yang seribu tahun itu? Dalam kurun masa tersebut penduduk bertambah dengan cepat dan senyampang dengan bertambahnya jumlah anggota serta kerumitan masyarakat, agama-agama besar terpaksa menghadapi masalah-masalah baru yang timbul. Pada mulanya, agama Hindu dan Yahudi menghadapi ketegangan-ketegangan sosial dalam lingkungan masyarakat sendiri dengan menempatkan orang dalam berbagai penggolongan. Penggolongan seperti PENAKLUK DAN TAKLUKAN, KAYA DAN MISKIN, menyebabkan agama Hindu menerapkan sistem kasta. Dalam Agama Yahudi golongan parisi membedakan orang yang baik dari yang jahat. Timbulnya agama Budha, Kristen dan Islam adalah akibat gelombang reaksi penggolongan tersebut" Donal B. Calne. Kita belajar dari sejarah ya P Ngurah supaya kita bisa membangun masyarakat kedepan yang lebih berani because IT TAKES COURAGE TO BE A HUMAN BEING.... and the Key is UNDERSTANDING.... Suksme GNA -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of Asana Viebeke Lengkong Sent: Tuesday, October 02, 2007 10:05 AM To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: Mahabaratha P Ngurah Ambara, Kalau sebatas ignorance yang di jabarkan oleh P Ngurah ini, ya bagi saya agak sedikit terlalu sempit.... tapi kita tetap tidak bisa berhenti ber-dialog jadi jangan pernah memberi perintah kepada orang lain untuk menghentikan dialog hanya karena pendapat bahwa orang lain kurang memiliki potensi untuk berbicara soal Mahabharata, karena sudah ada ribuan tahun yang lalu. Kita semua memiliki keterbatasan dalam segala hal. Saya kecut sekali ketika membaca email Bapak terdahulu tentang Mahabharata; saya jadi tidak ingin beragama, bayangkan saya ini hidup di keluarga yang menganut multi agama, jadi pengertian serta toleransi di tuntut mutlak oleh semua anggota keluarga dalam kesepakatan bahwa kita boleh berbicara bebas dengan menggunakan nalar bebas juga ketika kita melakukan kritik dan lainnya. Karena tentunya ada hal lain juga yang harus diperhatikan, moral dan etika dan banyak hal lagi. Ketika keluarga berkumpul kita membicarakan agama secara bebas; saya ingat (masih umur 7 tahun) salah satu anggota keluarga sepuh bicara soal Jaman Axial sekitar 500 sebelum masehi sampai 600 Masehi yang disebut jaman renaisans agamawi. Di jaman itu lahir kesemestaan dan hidup sesudah mati terbuka bagi siapa saja yang melaksanakan kehidupan yang baik (karma); gagasan hak-hak yang setara untuk bisa memasuki kehidupan surgawi itu secara cepat sekali merambah ke berbagai budaya seantero jagad. Tapi sayangnya setiap agama punya pandangan yang beda tentang yang di anggap sebagai kehidupan yang baik. Banyak masalah masalah agama ketika itu yang sangat rumit dan membingungkan yang melatar belakangi terbangunnya Axial age itu dengan dogma-dogma agama yang lebih sederhana dan juga terjadi reformasi sosial. Apakah kemudian ajaran Budha, Kristen, Islam tentang toleransi itu sifatnya agamis atau politis? tentunya untuk menerima gagasan bahwa orang yang sakit, miskin, atau kaum minoritas, marjinal perlu mendapat perhatian itu menjadi tugas yang bersifat agamis dan politis. Agama-agama baru itu terbuka untuk semua orang karena para pemeluknya diberikan kebebasan untuk dapat ikut serta dalam kegiatan agamawi dan juga mendapatkan pengakuan terhadap kehidupan sosial mereka. Jadi, P Ngurah, ayolah berbagi dalam dialog terbuka dengan menggunakan nalar yang bebas tanpa ada rasa benci, marah dan mari kita buang syak wasangka. Kalau boleh saya bertanya; P Ngurah kan hidup di perantauan antara Jakarta dan Kalimantan (maaf kalau salah); bagaimana hubungan P Ngurah dengan orang lain dari budaya dan agama yang lain pula yang ada di sekitar? Nyamankan P Ngurah? atau terganggu? Bisa share nggak? Maaf kalau tidak berkenan. Vieb ----- Original Message ----- From: Ambara, Gede Ngurah (KPC) To: bali@lp3b.or.id Sent: Monday, October 01, 2007 1:46 PM Subject: [bali] Mahabaratha Ok Suksme Mbak Vieb atas info-nya..kejahatan yang dibuat oleh manusia karena ignorance (ketidaktahuan) bahwa sang roh (atma) berasal dari sang Maha-Roh (Maha-Purusa) yang sama .dan bahwa sang roh tidak bisa membunuh dan tidak bisa dibunuh, abadi, selalu sama (selalu muda), bukan laki-laki bukan perempuan (ardanareswaria), tidak terfikirkan (acintya), tidak dilahirkan (awyakta) dsb.sudahlah jadi terlalu berat diskusi-nya he-he-he...:)) Ok nanti kalau sempat saya akan baca Info Bali-post ini. Semoga damai selalu..suksme ------------------------------------------------------------------------ ------ Yahoo! oneSearch: Finally, mobile search that gives answers, not web links. pi = 3.14 love just like 'pi'...it's natural, irrational and very important -- Milis Diskusi Anggota LP3B Bali Indonesia. Publikasi : http://www.lp3b.or.id Arsip : http://bali.lp3b.or.id Moderators : Berlangganan : Henti Langgan :