Syafii Maarif 
      Manusia Berhak Menjadi Ateis Sekalipun

      JAKARTA– Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif tak bisa 
berbuka puasa dengan tenang. Ia harus menerima ucapan selamat yang terus 
mengalir dari para tamu yang memenuhi aula Gedung PP Muhammadiyah, Senin (15/9) 
sore itu. 

      Laki-laki yang akrab dipanggil Buya itu baru saja menerima penghargaan 
Magsaysay Award dari The Board of Trustees of the Ramon Magsaysay Foundation 
(RMAF) untuk kategori Peace and International Understanding. Magsaysay 
sebelumnya juga pernah dianugerahkan kepada Mochtar Lubis, Soedjatmoko, 
Pramudya Ananta Toer Abdurrahman Wahid dan Dita Indah Sari.
      Namun pria kelahiran Sumbar itu justru menanggapi biasa saja penghargaan 
itu. “Sebenarnya saya tidak bisa menanggung beban pujian-pujian itu. Karena 
tidak sehebat itu. Tanya saja pada istri saya,” katanya. Ia malah mengharapkan 
penghargaan yang diterimanya itu dapat memberi inspirasi bagi kalangan muda 
untuk meneruskan perjuangan menegakkan demokrasi, inklusivitas dan pluralisme 
dengan serius. Baginya, pluralitas harus mendapatkan perhatian utama, karena 
bangsa Indonesia lahir dari banyaknya suku-suku yang bersatu. Masyarakat di 
dalam suku tersebut memiliki beragama kepercayaan yang hidup. Sehingga, 
pemaksaan atas nama satu keyakinan tertentu pada masyarakat tersebut tidak 
boleh dibiarkan karena bisa melahirkan perpecahan. 

      Bahkan, Sjafii juga menegaskan, di dunia ini, manusia diperbolehkan untuk 
tidak beragama ataupun menjadi ateis sekalipun. Asalkan, masing-masing pihak 
saling menghormati, tidak memiliki agenda tersembunyi ataupun saling 
menghancurkan satu sama lain. Pendapat tersebut didasarkan pada nilai-nilai 
toleransi yang terkandung dalam Kitab Suci Al – Quran. “Menurut saya, Al – 
Quran itu lebih toleransi dibandingkan dengan orang Islam,” katanya. Ia 
mengakui, saat ia memutuskan untuk bicara masalah itu persoalannya tidak mudah. 
Ia menuai kemarahan yang hebat dari para ulama dan juga kaum intelektual. 
Bahkan, salah satu dari mereka sangat kecewa dan segera menanyakan posisi 
teologis Sjafii sebagai seorang muslim. Namun, setelah dijelaskan pandangannya, 
pihak-pihak yang marah tersebut hanya diam hingga sekarang. 

      Menurutnya, beberapa ayat di dalam Al – Quran sangat jelas menegaskan 
tidak boleh adanya pemaksaan dalam beragama. Bahkan, katanya, nabi pun dilarang 
memaksa. “Jadi, kalau orang mau beriman mari beriman kalau tidak juga mari. 
Perkara nanti perkara di depan Tuhan itu urusan mereka. Tapi tidak ada kekuatan 
duniawi untuk memaksa orang atau pengadilan untuk membunuh atau menghukum orang 
yang tidak beriman. Itu pendapat saya,” paparnya.  

      Ia melihat, kemarahan yang ditunjukkan kepadanya, kemungkinan besar 
karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang pemahaman teologis ayat-ayat 
Quran terkait dengan kebebasan untuk berkehendak dan memilih. Dalam 
pandangannya, sesuai dengan Al-Quran, Tuhan sejatinya menawarkan kebebasan 
terhadap seluruh umat manusia untuk mempercayai ataupun tidak mempercayai, 
sedangkan resikonya merupakan urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan.  
“Dengan kata lain, seseorang yang mengklaim dirinya sebagai seorang ateis 
ataupun orang yang ingkar terhadap agama tidak dapat dibawa ke pengadilan untuk 
menghadapi hukuman agama sebagaimana pandangan yang dianut muslim klasik,” 
katanya. 

      Tak Boleh Monopoli
      Ia juga menyadari, saat ini tidak banyak ulama yang mau membuka kembali 
Quran dan menempatkanya secara kontekstual. Sehingga, untuk masalah ini ke 
depan akan sangat tergantung pada kemampuan umat muslim untuk memberikan respon 
secara kreatif dalam menghadapi tantangan hari ini. Pasalnya, interpretasi teks 
keagamaan harus dilihat dalam kaca mata waktu saat itu. Karenanya, seorang ahli 
yang kaliberpun tidak punya hak untuk memonopoli kebenaran. 

      Al – Quran, katanya, secara tegas melarang umat manusia secara buta 
menjadi pengikut para ulama. Bahkan, Al- Quran menegaskan membunuh seseorang 
artinya membunuh seluruh kemanusiaan. Dia melihat, kelompok militan dan radikal 
yang siap untuk mati umumnya mempertahankan fatwa-fatwa dari pandangan Islam 
klasik. Salah satu contohnya adalah peledakan bom di Bali dan JW Mariot. 
Terkadang, untuk kelompok seperti ini, membunuh orang lain yang berbeda secara 
ideologis dari pandangan agamanya dalam beberapa kasus sebenarnya justru demi 
kepentingan uang. Oleh karena itu, yang terjadi sebenarnya adalah 
penyalahgunaan agama untuk kepentingan dan tujuan rendah. 

      “Secara adil tidak hanya orang muslim yang melakukan monopoli praktik bom 
bunuh diri. Beberapa pengikut agama lain juga sering melakukan hal yang sama. 
Ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh beberapa orang harus 
bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang salah tersebut,” imbuhnya. 

      Namun, bagaimana itu dijalankan di Indonesia, ketika hukum negarapun 
ternyata masih mencantumkan pasal tentang penistaan agama? Ia pun menjawab 
dengan singkat, “Undang Undangnya harus diubah”. (tutut herlina) 

Kirim email ke