Semeton sami,
Sangat menarik sekali kita bahas ini di milis tanpa emosi tentunya; kami perlu untuk menanggapi ulasan Prof. Wijaya mengingat kami sudah mendampingi masyarakat disana kurang lebih hampir 2 tahun sejak 1 July 2007; Prof. Wijaya pun sudah ikut melakukan beberapa kali survey dengan kami dan sudah pula bicara langsung dengan masyarakat dan para pemimpinnya. Mari kita cari solusi yang lebih realistis dan dapat dipahami oleh semua pihak dengan seksama. Dibawah ini saya sambung dengan warna lain. vieb -----Original Message----- From: bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of wijaya Sent: 06 Mei 2009 18:46 To: bali@lp3b.or.id Subject: [bali] Re: Sumbang saran untuk Banjar Madya, Trunyan Pak Donny, Pak Sudja, dan semeton, Mungkin saya hanya berpikir dan berlaku praktis. Akar dari pemiskinan adalah kurangnya sumber daya air dan energi. Namun, pemenuhan terhadap kedua hal tersebut juga tidak menjanjikan akan mengatasi pemiskinan, kecuali kalau masyarakat disadarkan akan pentingnya kedua sumber tersebut. Karena masyarakat sangat sadar akan kebutuhan dasar maka prioritas kebutuhan mereka adalah sumber daya tersebut. Dengan terwujudnya pengadaan sumber daya tersebut mereka sudah sangat tau bagaimana konsekuensi biaya, pemeliharaan ; karena entrypoint pendekatan kita selalu melalui prinsip CBD yang lebih mendengarkan; fasilitasi mengakomodir kebutuhan mereka, jadi program program adalah program masyarakat bukan program IAA. Masyarakat yang menentukan kebutuhan mereka sesuai dengan kemampuan mengelola; karena itulah yang menjadi dasar kita sharing. Untuk mengatasi air di Banjar Madya, maka masyarakat harus dibangkitkan kemandirian lokalnya. Kemandirian ini bisa dengan cara mengajarkan masyarakat akan tanggung jawab terhadap pemenuhan kedua sumber energi tersebut. Br. Madia tidak ada sumber daya air, energy/listrik, akses jalan, sekolah, upaya kemandirian yang bagaimana yang bisa diharapkan dari mereka untuk mereka? Yang ada adalah proses pembodohan yang membuat mereka makin tidak berdaya, karena para tengkulak, politikus, akademisi hanya menggunakan mereka untuk lahan dan kelinci percobaan. Tahun 1986, saya pernah meneliti dimana tingkat kesadahan air danau Batur sudah cukup tinggi. Air danau Batur, menurut penelitian memiliki BOD dan COD yang kurang bagus, karena air ini tidak bersirkulasi ke luar, namun memperoleh pencemaran yang terus menerus dari perkebunan di sekitarnya. Baca juga beberapa media massa yang menyatakan hal tersebut dalam beberapa minggu ini. Itu sebabnya, saya mendukung penggunaan air danau Batur sebagai sumber air penduduk di Banjar Madya, sehingga sirkulasi air di danau akan semakin cepat. Berarti hal ini sudah diketahui sejak 2 dekade yang lalu, lalu apa solusinya? Kalau kita yakin sesuai hasil penelitian dan solusi yang terbaik sudah di rumuskan, tinggal kita mencari jaringan untuk mengumpulkan dananya agar terwujud tujuannya (pemerintah, akademisi, ngo, donor, dll) Menaikkan air ke Banjar Madya, tentu tidak sulit. Satu pompa (saya sebut pompa 1) dipasang di dekat sumber air, kemudian dialirkan ke tangki air di atasnya. Tangki airnya dibuat dari drum bekas (tentu yang bersih), yang di pasaran dijual sekitar Rp. 100.000,- per buah (bisa ditawar lagi). TIDAK SULIT? Jadi air sudah pasti naik. Saya sudah siap dengan dana sesuai dengan perhitungan anda, silakan kita berkordinasi untuk realisasi pelaksanaan di lapangan, masyarakat pasti sudah tidak sabar lagi. Pompa 1 bekerja mengalirkan air hingga tangki 1 terisi sekitar 100 liter, selanjutnya pompa 2 mulai bekerja mengisi tangki 2. Demikian seterusnya, hingga mencapai puncak tandon. Pada awalnya memang perlu waktu cukup panjang untuk mengisi tandon air yang ada di puncak hingga penuh (dulu saya hitung sekitar 1,5 hari). Namun sekali terisi, maka selanjutnya akan sangat mudah menaikkan air. Dari tandon yang di puncak, maka selanjutnya didistribusikan ke tandon di bawahnya (ke arah rumah penduduk). Ada dua tandon, satu di kiri dan satu di kanan. Pendistribusian air di tandon bawah juga perlu kajian, jam berapa ke tandon kanan, jam berapa ke tandon kiri. Dengan demikian, masyarakat akan mengerti, mengapa pemerintah sulit memenuhi kebutuhan air bersih. Masyarakat akan terbangun kemandiriannya, minimal ada yang mengawasi air, ada yang mengawasi pompa, ada yang mengawasi genset. Mereka sudah siap dengan sistem pengelolaan dan sudah sepakat semua; jadi air naik dulu dengan keyakinan dan akuntabilitas dari pihak anda. Bukankah ini sama dengan tugas subak? Jadi, mereka bisa mebuat suatu sistem subak modern dengan tupoksi mengawasi air, energi listrik dan distribusi air. Kita tidak perlu menyangkal bahwa SDM masyarakat disana masih sangat minim, kita tidak perlu juga berharap mereka paham sistem subak modern. Sederhana saja pemikiran tentang kebutuhan sumber daya. Air ngecor mereka akan bergotong royong dalam hal biaya, pemeliharaan. Kami di Teknik UNUD, selalu menguji pompa, genset, dsb. nya, sehingga kalau mau meguji semuanya, kita siap ber share (seperti nama program ini). Bukankah ini sudah pernah kita bahas? Saya kira ini sudah dilakukan di kampus dengan janji Prof. Wijaya untuk menyumbang sebuah pompa? Kekhawatiran kita akan keberlanjutan program, saya pahami. Namun saya yakin, masyarakat Bali bukanlah masyarakat terbelakang atau (maaf) bodoh, yang tidak bisa dilepas begitu saja. Mereka harus mandiri, setidaknya mandiri secara lokal. Program belum jalan kenapa kita khawatir? Mereka sudah mandiri dari mula, hanya perlu AIR Seperti thread email ini, namanya juga Sumbang Saran, tentu harus dikaji lagi. Tapi yang jelas, bukan Saran Sumbang ;-)) Salam, Wijaya.