PAGI itu
Wayan Budi tidak menggepeng (meggelandang dan mengemis). Ia datang
bersama dua saudara perempuannya. Dia tiba saat diskusi di Kantor BP3A
sudah berlangsung. Tak mudah mengajak Wayan Budi datang ke forum
diskusi. Dia mengaku kehilangan pekerjaan jika tidak bekerja (mengemis).
Dia meminta Rp 20.000 sebagai ganti waktunya yang
hilang. Wayan Budi berasal dari Pedahan Kaja Karangasem. Ia
memiliki empat saudara lagi. Ibunya tukang suun (menjinjing
barang) di pasar dan bapaknya bekerja di proyek. Mereka tidur bertujuh
dalam satu kamar. Wayan sering tidur di luar karena kamarnya sempit.
Dalam forum diskusi itu pandangan Wayan Budi tampak kosong. Dua
saudara perempuanya asyik mengobrol dengan dialek mereka yang khas.
Mereka tidak mempedulikan diskusi yang sedang membahas nasib mereka.
Hari itu Wayan Budi diminta menuturkan pengalamannya sebagai
gepeng. Namun, walaupun uang Rp 20.000 sudah diterima, ia menjawab
pertanyaan moderator, Luh Anggreni, S.H. hanya sekenanya. Akhirnya,
Wayan dibolehkan pergi setelah duduk bengong satu jam.
Berpenyakit Menular Perbudakan terhadap anak-anak yang
berasal dari Karangasem sudah terjadi sejak lama. Aturan hukum
perlindungan anak sudah ada, namun tidak diterapkan dalam kasus
ini. Sanksi tidak ada kepada bos atau germonya. Dikatakan
mereka diekploitasi orangtuanya, namun ironisnya setelah ditangkap
aparat mereka diekploitasi lagi. Mereka digunduli dan
disuruh membersihkan WC. Dalam Diskusi Terbatas Komisi Perlindungan
Anak Indonesia Daerah (KPAID) Bali bekerja sama dengan BP3A Bali, Kamis
(11/3) di Denpasar, Asana Viebeke L dari I am an Angel lebih jauh
mengungkapkan, perbudakan anak tetap terjadi di jalanan, di pantai Kuta
dan Legian. Anak-anak itu usia hingga 12 tahun berasal dari
Karangasem Timur dan Kintamani bagian timur dekat Buleleng.
“Sejak bayi, mereka digendong orangtuanya mengemis.
Setelah bisa berjalan mereka disuruh meminta-minta di pinggir
jalan. Setelah lebih besar lagi disuruh menjual gelang. Usia 10-12 tahun
dijadikan pekerja seks komersial (PSK),” tutur Asana. Ia
mengatakan, bos mereka keluarga sendiri yang lebih dewasa. Sekolah tidak
menjadi prioritas. Mereka diharuskan menjual gelang, mengemis,
menjadi PSK. Jika pendapatan tidak memadai, mereka tidak dibolehkan
tidur dan diharuskan terus bekerja di jalanan.
“Kalau
mereka ditangkap, orangtuanya membayar petugas Rp 2.000 s.d. Rp
20.000 tergantung jenis pekerjaan anaknya,” katanya. Asana
menambahkan, bos/famili yang diketahui bertindak kejam mendapat
keleluasaan untuk menentukan keputusan terhadap anak-anak
tersebut. Eksploitasi terus berlangsung. “Hansip kantor lurah yang
mengangkutnya juga menyakiti mereka dengan berbagai cara, seperti
mencukur rambutnya, memukuli, menyuruh membersihkan toilet, merampas
uangnya saat mereka menanti orangtua/bos yang akan menjemputnya,”
ujarnya.
Tempat mereka tinggal bersama orangtua/bos/sanak
familinya di Jalan Mataram dan Jalan Kubu Anyar, Kuta. Kawasan
tempat mereka menjual gelang, Pantai Double Six, Jalan Benesari, dan
Jalan Poppies. Mereka selalu berpindah tempat. Selain itu,
ada lokasi tempat orang-orang yang lebih tua bisa dilihat
mendekati mereka. “Kaum pedofil ini sudah seperti orang asli Kuta.
Lokasinya di belakang hotel Jayakarta, bahkan ada kantornya.
Pukul 09.00-11.00 mereka mengajak anak-anak menyantap
sarapan. Alasan mereka, memberi anak-anak pekerjaan seperti
menjaga anjing atau pergi ke tukang penatu. Anak-anak diiming-imingi
uang dan mereka dengan senang hati menerimanya,” papar Asana.
Asana mengutip penuturan warga masyarakat Pedahan yang
menyatakan, mereka menghadapi masalah tidak adanya air. Padahal,
sudah banyak LSM yang membangun cubang air. Rosela, jambu mete,
lontar, tumbuh bagus di sana. Ada juga LSM yang memberi
pelatihan membuat topi. Namun, terganjal masalah
pemasaran. “Apakah dengan terbukanya pekerjaan, menjamin
mereka tidak akan mengemis lagi?” ujarnya.
Ia berpandangan, yang
harus diwaspadai bongkolnya yakni bapak atau omnya yang menjadi
mafia. “Hidup enak, anak-anak ini bisa menghasilkan Rp 3
juta s.d 10 juta per bulan. Walau sudah ada cubang air, sudah ada lahan
pekerjaan, fakta menunjukkan anak-anak mereka tetap masih mengemis,”
kata Asana. Mereka menjadi pengemis bukan karena miskin, namun
sudah ada indikasi sindikat atau mafia. Jangan samakan
permasalahan gepeng di Jakarta dengan di Bali. Mengemis sudah
menjadi sumber pendapatan stabil. Di desanya, ada rumah gedung milik bos
dan mereka sudah mampu membeli ternak.
Tahun 2004, Asana
bersama I am an Angel melakukan pemeriksaan pap smear kepada para ibu di
Desa Pedahan Kaja. Kemaluan mereka berbau dan lumutan. “Februari
2010 kami melayani 60 ibu untuk pap smear, sebagian besar mengalami
penyakit menular seksual. Sudah ada infeksi dan mengarah kanker 70-90%,”
tandasnya. Sebagian besar mereka mengonsumsi ketela dan jagung.
Akibatnya, anak-anak kekurangan gizi dan yodium.
Ia berpandangan
perlu rancangan program terpadu yakni menjauhkan mereka dari
jalanan dan melibatkan mereka dalam pembangunan di desanya, Bangun balai
sebagai tempat mengumpulkan anak-anak dengan berbagai kegiatan. Arahkan
mereka tinggal di panti asuhan sambil mengikuti kegiatan/pelatihan
sesuai usia dan potensinya. Kebanyakan jaringan ini bersifat
homogen dari satu kelompok desa atau satu keluarga besar, jadi
lebih mudah diputuskan jaringannya sebelum menjadi heterogen.
Perlu penyuluhan kepada pemimpin/masyarakat di wilayah aktivitas mereka
dan menggugah nuraninya bahwa anak Bali adalah anak mereka juga.
Ia berpendapat, perlu pararem dalam upaya mengatasi masalah gepeng ini.
Uang adalah Segalanya Saat ini sekitar 300 anak
bekerja sebagai pengemis dan tukang suun secara paksa di Pasar
Badung. KPAID Bali bekerja sama dengan Bagian Psikiatri FK Unud/RS
Sanglah berhasil mewawancarai 31 anak yang termasuk dalam
eksplotasi ekonomi/sosial tersebut. Sekitar 25% usia
mereka berkisar 10 tahun. Anak-anak di bawah 5 tahun tidak bisa
dipantau, karena ibunya melarikan diri ketika didekati. Dari 31 anak
tersebut, laki-laki 6 dan perempuan 25 orang. Sebanyak 58% berasal dari
Desa Pedahan Kaja, 25% dari Desa Pedahan Klod, dan 16,12% dari Desa
Tianyar, Karangasem. Sebanyak 24 orang mengatakan tidak pernah
mengenyam bangku sekolah, 6 orang pernah sekolah dan bisa membaca, satu
orang bisa membaca karena belajar dari kakaknya.
Mereka di
Denpasar hanya tinggal di tempat kos ukuran 3 x 2 meter. Sebanyak 5
orang mengatakan tinggal sekamar dengan 2-4 orang, 7 orang tinggal
sekamar dengan 5-6 orang, dan 9 orang sekamar dengan 7 orang. Lokasi
tempat tinggal mereka di sekitar Jalan Kusuma Bangsa, Jalan Gunung
Batukaru, Banjar Monang-maning, dan Jalan Penjahitan Banjar Kerandan
Denpasar. Alasan mereka datang ke Denpasar, ingin membantu
orangtua membangun rumah di kampungnya. Ada juga yang beralasan bapaknya
sakit, atau mencari bekal untuk membeli keperluan upacara odalan di
kampungnya.
Mereka beroperasi 3 shift, dan tidak merebut lahan
saat mengemis. Jadwalnya, pukul 08.00-12.00, 14.00-18.00,
dan 18.00-21.00. Sebagian anak-anak ini pindahan dari Kuta. Mereka
mengaku, lebih sulit mengemis di Kuta karena banyak saingan.
Rata-rata penghasilan mereka Rp 20. 000, minimal Rp 5.000, dan
maksimal Rp 50.000. Jika tinggal bersama orangtua, hasil mengemis
diserahkan semuanya kepada orangtuanya. Jika mereka tinggal bersama
bibi/kakak, uang mereka dipotong 20% untuk biaya kos.
Dari 31
anak, 11 orang mengatakan tidak ingin sekolah, 14 orang mengatakan ingin
bisa membaca, menulis, berhitung, dan 6 orang ingin melanjutkan sekolah.
Ketika ditanya cita-citanya, ada yang ingin menjadi presiden.
Alasannya, presiden hidupnya enak. Ada yang ingin bercita-cita
menjadi guru, dokter, pengusaha, polisi, buka usaha foto, tukang masak,
sopir, buruh. Sudah tertanam dalam benak anak-anak tersebut uang
adalah segalanya. Ketika diwawancarai, mereka meminta uang untuk mau
mengobrol.
Anak-anak ini rentan tindak kekerasan yang dilakukan
teman mereka saat berebut penghasilan. Orangtua menjambak dan memukuli
mereka kalau nakal dan tidak mau bekerja. Kekerasan juga bisa
dilakukan orang dewasa yang merasa tersaingi dalam meraih rezeki dari
pengunjung pasar. Sebagian besar mereka tidak berani berobat ke
klinik di Pasar Badung, walaupun gratis. Mereka hanya membeli obat di
warung dan menggunakan loloh dan boreh. Tidak pernah ke puskesmas dengan
alasan uangnya nanti habis.
Ketua KPAID Bali Dokter Sri Wahyuni
berpandangan, mereka perlu pendampingan sebagai motivator agar mereka
percaya diri bahwa hidup adalah perjuangan. Mereka juga
membutuhkan bantuan pendidikan, keterampilan, kesehatan, penyediaan
lahan pekerjaan dan bantuan pangan selama masa transisi. Ketua
LPA Prov. Bali Nyoman Masni, S.H. menyarankan, dalam menangani kasus
gepeng jangan menindak anak-anak. “Mereka hanya korban. Menggepeng
bukan cita-cita mereka. Yang harus ditindak para bos dan yang memberi
tempat tinggal/menampung mereka,” ujarnya.
Perlu
Perda dan Perarem I Nengah Sukarta dari Satpol PP Badung
mengungkapkan, setelah ditangkap, gepeng diangkut ke Dinas Sosial
Badung, kemudian Dinas Sosial memulangkan mereka ke daerah asalnya.
Besoknya, mereka datang lagi. Begitu seterusnya. Satpol PP sudah
berkoordinasi dengan semua instansi terkait di masing-masing
kecamatan. Para gepeng ini setelah ditangkap dikarantina di Kantor Lurah
Kuta dan diberi pembinaan. Namun, kata Sukarta, upaya tersebut
masih belum maksimal. “Setelah titik strategis diawasi, mereka lari ke
Denpasar,” katanya.
Ia menganggap penting adanya peraturan
daerah. Dalam perda diatur sanksi kepada yang memberikan uang. “Kalau
para gepeng tidak mendapatkan uang dari mengemis, mereka pasti
akan tertarik mengikuti pelatihan yang diberikan beberapa LSM,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, di Jakarta ada fatwa MUI yang mengharamkan gepeng.
“Apakah itu bisa juga diterapkan di Bali?” ujar Sukarta.
Ketut Suparsa dari Dinas Trantib Kota Denpasar berpandangan,
penyelesaian gepeng sekarang ini masih sendiri-sendiri sehingga belum
tuntas. Di Denpasar ada kelompok anak jalanan punk. Usianya muda,
penampilannya kumuh, tidak pernah mandi, dan tidur di emper toko.
Mereka pernah ditangkap kemudian dikembalikan ke orangtuanya. Tetapi,
mereka tetap kembali ke jalanan. Ia pun berpendapat, diperlukan perda
yang ada sentuhan humanisnya. “Diatur pos penertibannya, ke mana mereka
akan dibawa. Harus ada penyaluran yang tepat agar mereka berhenti
menjadi anak jalanan. Setelah ada perda, kemudian dibuat pararem,”
katanya. |