Sepertinya cerita dibawah agak tercampur..mungkin perlu disertakan 
Referensi-nya dari mana (lontar-lontar yang digunakan)..

Misalnya Raja Ugrasena memerintah sekitar abad ke 9, sementara kok bisa 
disambungkan ceritanya dengan Reshi Markendya yang masuk ke Bali sekitar 5 abad 
sebelumnya yaitu abad ke 4.....

 

Cara-cara modern untuk meneliti suatu artefak tentu akan membantu mencari 
benang merah sejarah perkembangan Hindu di Nusantara,  tapi sepertinya sedikit 
sekali atau bahkan tidak ada yang melakukannya khususnya dari umat Hindu 
sendiri..cara-cara penelitian modern terhadap umur artifak contohnya  melalui 
test-radiasi isotop carbon atau bahan radioaktif lainnya..dengan cara ini bisa 
ditentukan umur artifak dengan lebih teliti..

 

Dengan penelitian umur batuan dan kondisi geologis di dasar laut selat Bali 
dihubungkan dengan penelitian batuan di Gilimanuk dan bagian timur Jawa Timur 
mungkin juga bisa menyimpulkan kapan Jawa terpisah dari Bali...tapi 
pertanyaannya siapa yang akan melakukan?? Atau adakah yang tertarik melakukan 
penelitian ini? Kalau ada dana-nya dari mana dsb....pemerintah tentu tidak akan 
melakukan penelitian seperti ini (dianggap tidak penting..)  

 

Rgds

Gede Ambara 

 

-----Original Message-----
From: bali-bou...@lp3b.or.id [mailto:bali-bou...@lp3b.or.id] On Behalf Of d M
Sent: Thursday, September 30, 2010 10:29 AM
To: bali@lp3b.or.id
Subject: [bali] Re: The Lost Bali

 

suksma bli,

 

sangat berguna bagi saya sekeluarga

 

dudik

www.dotpis.com
The real freedome is free from dome

--- On Thu, 9/30/10, willy himawan <willy_hima...@yahoo.com> wrote:


From: willy himawan <willy_hima...@yahoo.com>
Subject: [bali] The Lost Bali
To: bali@lp3b.or.id
Date: Thursday, September 30, 2010, 9:00 AM


semoga berguna :), 

Bungkulan-Kubutambahan, Gambaran Bali (Dunia) yang Hilang

 

Bungkulan-Kubutambahan sebagai "Bekas" Kota

Bungkulan adalah sebuah desa yang terletak di titik paling utara Pulau Bali. 
Sekilas, memang tidak banyak tampak hal-hal yang istimewa di desa ini, 
Bungkulan terlihat sebagaimana desa-desa di bali pada umumnya dan bahkan 
cenderung terlihat sebagai sebuah desa yang jauh dari kesan kota ataupun maju.

Namun, jika berkunjung ke desa-desa yang dekat dengannya, seperti Bila, 
Tamblang, Sawan, Tajun dll, sesepuh desa ataupun tradisi desa pasti akan 
menyebut Bungkulan sebagai kota. Tidak begitu aneh, jika mengingat peta kuno 
orang Belanda mengenai Pulau Jawa dan Bali, sebab di bagian Pulau Bali, hanya 
terdapat satu titik yang dinamai Boengkoelan yang terletak di bagian ter-utara 
Pulau Bali. 

Hal itu dikarenakan pintu masuk menuju Bali di masa lampau adalah Bungkulan, 
mengingat bentuknya yang bak semenanjung dan mengingat transportasi di masa 
lampau menggunakan perlayaran. Mungkin jika dibayangkan di masa lampau, 
bungkulan bak Denpasar dengan bandara Ngurah Rai-nya.

Jika mengunjungi wilayah ter-utara Bungkulan, sering disebut sebagai Kubu 
Kelod, berada dekat pantai, maka akan terdengar legenda-legenda (jika 
ditanyakan) mengenai tempat yang dikenal cukup angker yaitu tempat "labuh"nya 
kapal, yang berisikan kapal-kapal karam yang diperkirakan kapal-kapal Belanda. 
Dan keadaan pantai sepanjang Bungkulan terkenal memiliki kedalaman yang cukup 
dalam, tentu saja mendukung untuk terjadinya pendaratan kapal-kapal laut.

Di bagian selatan jalan raya dan sungai, jika jauh memasuki wilayah desa Abian 
kelod, menerobos "tumpukan/jajaran" bangunan-bangunan perumahan dan bangunan 
modern lainnya, maka dapat dilihat sesuatu yang sangat istimewa, yaitu 
"jajaran" pura-pura, mulai dari pura umum hingga pura keluarga yang sangat 
jarang dilihat di daerah lain di Pulau Bali, dan jika ditotal, jumlahnya pun 
tidak sedikit. "Jajaran" pura-pura ini sekilas terkesan seperti sebuah kota 
dari masa lampau, skilas seperti "jajaran" Pedharman di Besakih. Memang, konon, 
telah banyak juga pura yang hilang, yang sebagian besar, konon, diakibatkan 
oleh meletusnya Gunung Agung dan beberapa kebakaran hutan.

Hal yang menarik dari pura-pura yang hampir semua sekilas terlihat sederhana 
ini adalah, jika mencoba untuk masuk dan mengamati artefak-artefak berupa 
ukiran dan patung-patung, maka terlihat bahwa artefak-artefak itu spertinya 
sangat kuno dan berbeda dengan umumnya. Semua tentu "diperbandingkan" dengan 
artefak-artefak "umum" daerah Bali, berupa patung dan ukiran-ukiran yang banyak 
berkembang sekarang ini seperti terlihat di wilayah Kapal, Badung, atau di 
bagian Jalan. Prof. Mantra di daerah Sanur. Tidak jarang beberapa dari 
"artefak-artefak Bungkulan" ini bahkan terkesan sangat berbeda, kuno, 
menyeramkan dan sepertinya memiliki daya magis tertentu. 

Memang, Bungkulan jika ditelusuri dengan cermat, secara "penelitian" atau pun 
secara "spiritual", masih memliki banyak hal yang menakjubkan sekaligus 
misterius.

 

Bungkulan-Kubutambahan dan Sekitarnya, Sebagai Asal Mula Bali

  Melihat bungkulan, tentu saja tidak bisa terlepas dengan daerah-daerah 
sekitarnya. Desa-desa seperti Kubutambahan, Sawan, Bila, Tajun, Menyali dll.

Tentu saja tempat yang menarik untuk dikunjungi adalah tempat yang memiliki 
wisata alam, salah satunya adalah Kubutambahan. Di sana terdapat pemandian umum 
yang disebut Air Sanih. 

Namun, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa di masa lampau, daerah ini 
adalah istana. Gambaran kasarnya mungkin mirip dengan Summer Palace (Istana 
Musim Panas) nya Emperium China yang terletak di Beijing.

Tempat pemandian Air Sanih yang kita kenal sekarang ini, menurut para ahli, di 
masa lampau adalah Laguna yang cukup besar dengan dukungan dari 118 mata air. 
Dan tengok lah posisi Pura Penegil  di sebelah selatan jalan raya.

Menurut para ahli, Jajaran Pura di seberang pemandian Air Sanih ini dulunya 
adalah istana kerajaan. Dimulai sejak Gunung Merapi meletus hebat pada 910 
Masehi (± 150 tahun). Letusannya menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang 
berpusat di Candi Boko, Jawa Tengah. Raja Mataram Kuno I Sri Sanjaya meninggal 
karena bencana itu. Kemudian masyarakat setempat yang selamat dipimpin Mpu 
Sindok mencari tempat baru.
      Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru 
rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai 
itu, Mpu Sindok yang begelar Rakai Hino membangun kerajaan yang diberi nama 
Kahuripan. 
Sementara Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I tidak ingin 
turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, 
Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang 
Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali (nama Bali sebelum terpisah 
dengan Jawa) bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun kerajaan baru 
di tempat Beliau "melihat" pralingga tersebut di Prawali. Dibantu oleh Maha Rsi 
Markania (Markandea) akhirnya ditemukanlah lokasi pralingga tersebut berada di 
Gigir Manuk (Punuk Burung-ayam-tulang belakang, jika dilihat bentuk pulau Bali, 
memang daerah Bungkulan-Kubutambahan inilah yang tepat berada pada punuk 
manuk). Lalu beserta sebagian rakyat Mataram Kuno membangun kerajaan bernama 
Kawista, dan Ugrasena pun dinobatkan menjadi Raja bergelar Kesari Warmadewa. 

Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 
200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke 
laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang 
jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila 
Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya).

Generasi dinasti Warmadewa ini terus berkembang hingga kemudian tidak 
menghasilkan keturunan pada generasi Anak Wungsu yang mengakibatkan Kawista 
mulai hancur dan kemudian ditempati oleh kaum bajak laut.

Kisah berikutnya berlanjut pada 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda 
menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran 
bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni 
dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa 
Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan 
kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai 
raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga 
Negara dengan lambang singa bersayap. 

Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. 
Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara 
keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak 
dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, 
Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk 
dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus 
dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. 

Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah 
leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata "muloyo 
iki pusering jagat prawali". I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 
sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pemimpin 
di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. 
Kawista juga sudah ditempati para bajak laut yang merampok pedagang yang 
melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para 
penjahat itu.  Mungkin dari sini lah hikayat mengenai Singaraja itu bermula.

Dan demikian lah kisah besar mengenai Bali yang di awali oleh kerajaan Kawista, 
walaupun mungkin masih banyak perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama 
mengenai rangka tahun dan kejadian-kejadian, dan bagaimana kisah hidup mereka 
di Kawista ini. Namun bagaimana pun juga, gambaran akan Bali versi ini adalah 
gambaran Bali awal yang berbeda, sebelum masuknya pengaruh Majapahit pada tahun 
1400-1500an yang menjadikan Bali sebagaimana Bali pada hari ini. 

 

Mungkin kah Menjadi "Kota" kembali?

Tentunya, pertanyaan ini adalah pertanyaan retorik, yang tidak harus mendapat 
jawaban. Namun, sebuah pemikiran dapat dibalikkan pada masih banyaknya 
artefak-artefak, peninggalan, pura-pura yang patut untuk dilestarikan di daerah 
Bungkulan-Kubutambahan ini, mungkin dari sana akan dapat dijadikan sesuatu, 
seperti misalnya sebagai wahana atau kawasan napak-tilas bagi kaum spiritualis 
yang semakin hari semakin banyak komunitasnya akibat pencarian jati diri 
kemanusiaan di tengah gerusan modernisasi. Berikutnya, sebagai wacana 
geo-politis, meliputi pembelajaran geologi, antropologi, seni dan budaya, dan 
yang mungkin paling diharapkan, adalah dapat menjadi wacana pariwisata, mungkin 
yang bertemakan Kota Tua atau Istana Terlupakan, disisi lain mungkin sekedar 
wisata agro mengingat masih banyaknya sawah di daerah ini dan perkebunan di 
daerah yang lebih atas seperti Tamblang, serta wisata jurang dan lembah yang 
sangat indah seperti yang terdapat di Tajun.

Namun sedikit-tidaknya, dapat dimulai "tengok-tengok" di wilayah ini, mulai 
dari menengok artefak-artefak, legenda, kehidupan tradisional, geografis dan 
lain-lain, sebelum akhirnya alam dan manusia modern-nya mulai menggerus dan 
kembali mengganti kisah sejarah, tanpa tahu kisah yang ada sebelumnya. Dan 
tentu saja, jika itu terjadi, akan sangat membingungkan bagi generasi 
berikutnya, sebagaimana disebutkan dalam hikayat keagamaan, "Moha" atau 
kebingungan adalah salah satu musuh terbesar manusia.

 

 

Kirim email ke