Pak Rahman,

Contohnya:

Pelayanan Farmasi

"15 Produsen makanan bayi langgar etika". Sebanyak 15 produsen makanan bayi
diduga telah melanggar kode etik pemasaran dan promosi produk yang telah
ditetapkan oleh WHA dan pemerintah Indonesia. Pelanggaran yang paling banyak
adalah memberikan produk susu formula dan makanan bayi secara gratis kepada
para
ibu yang baru saja melahirkan. Temuan Badan Kerja Peningkatan Penggunaan Ais
Susu Ibu yang disampaikan oleh Ketuanya Dr. Dien Sanyoto Besar SpA, hingga
tahun
2006 ini ditemukan sebanyak 15 produsen makanan bayi serta 16 produsen botol
dan
dot bayi telah melanggar Kepmenkes No 237 tahun 1997 tentang pemasaran
pengganti
ASI. (Hr. Media Indonesia 15/8/06)

ASI, Hak Anak yang Terkikis
Gizi.net - Kualitas hidup balita di Indonesia belakangan ini terpantau
menurun drastis. Itu tercermin dari banyaknya masalah pada balita yang
mencuat
di mana-mana. Seperti kasus kurang gizi, muntaber, dan berbagai penyakit
menular
lainnya. Bahkan, kondisi tersebut ditengarai erat kaitannya dengan penurunan
tingkat pemberian Air Susu Ibu (ASI). Setidaknya begitulah pandangan Agus
Pambagyo dari Koalisi LSM Peduli ASI. Pandangan ini diperkuat hasil
penelitian
Sentra Laktasi Indonesia dan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO). ''Bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif enam bulan akan memiliki kesehatan tubuh yang
lebih
baik,'' ungkap Agus.

Pemberian ASI eksklusif, lanjut Agus, terbukti mampu mencukupi kebutuhan
nutrisi
yang dibutuhkan bagi pertumbuhan otak bayi. Kecerdasannya, termasuk dari
segi
emosional dan spiritual, juga akan terjamin. ''Itu sebabnya mengapa
pemberian
ASI eksklusif termasuk hak dasar anak yang tidak dapat dicabut maupun
dikurangi
pemenuhannya,'' imbuhnya. Sayangnya, dalam tahun-tahun terakhir, tingkat
pemberian ASI eksklusif cenderung menurun. Berdasarkan Survei Dasar
Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 angka pemberian ASI eksklusif hanya 55,1
persen. Angka itu cenderung menurun menjadi 40 persen selama enam bulan.

Koalisi LSM Peduli ASI mensinyalir penurunan tingkat pemberian ASI eksklusif
dipicu maraknya promosi dan distribusi susu formula. Dampaknya, kebanyakan
bayi
yang baru lahir langsung dijejali susu formula. ''Aksi semacam ini jelas
melanggar kode etik WHO dalam hal pemasaran susu formula,'' cetus Agus.
Kondisi
jadi semakin parah lantaran terbatasnya pengetahuan tenaga profesional
kesehatan
dan para ibu. Pasalnya, ilmu laktasi memang masih tergolong baru.
''Mayoritas
dokter belum mendapatkan ilmu ini di bangku kuliah,'' tambah Dr Utami Roesli
SpA
dari Sentra Laktasi Indonesia.

Jika dilihat dari kaca mata medis, Utami menjelaskan keberadaan susu formula
tidaklah terlalu perlu dimasyarakatkan. Sebab, dari 1.000 ibu hanya satu
orang
saja yang ternyata benar-benar mengalami masalah produksi ASI. ''Untuk itu,
pemasaran susu formula harus diatur agar tidak mengintervensi pemberian ASI
eksklusif selama enam bulan,'' tegasnya. Terlebih, ASI tidak bisa digantikan
susu formula. ASI adalah cairan hidup yang kaya nutrisi dan mengandung
antibodi.
''Bahkan, pada ibu kurang gizi berat sekalipun ASI-nya masih tetap
mengandung
daya tahan tubuh yang dapat melindungi bayi dari infeksi. Kendati demikian,
jumlah produksi ASI-nya mengandung lebih sedikit lemak dan mikronutrien,''
papar
Utami. Utami meyakini persoalan kesehatan yang melanda bayi di berbagai
daerah
di Indonesia bisa diatasi dengan memperbaiki gizi ibu. Bukan dengan
memberikan
susu formula pada sang bayi. ''Beri makan ibu dan biarkan ibu menyusui
bayinya,'' cetusnya.

Aturan promosi

Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki perangkat hukum positif seputar
pemasaran susu formula. Yang ada hanyalah Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) Nomor 450 tahun 2004 tentang pemberian ASI eksklusif pada bayi.
''Sedangkan pengaturan susu formula yang diatur Kepmenkes Nomor 237 tahuun
1997
tentang pemasaran pengganti ASI masih bersifat administratif,'' kata Agus.

Akibatnya, pelanggaran terhadap kedua Kepmenkes tersebut tidak dapat
ditindak
secara hukum. Pemerintah hanya bisa memberikan teguran semata. ''Kami
memandang
perlu adanya peraturan pemerintah yang khusus mengatur pemasaran susu
formula,''
imbuh Emmy Lucy Smith dari Yayasan KAKAK. Desakan untuk menerbitkan
peraturan
pemerintah itu sebetulnya sudah diakomodasi Departemen Kesehatan. Sejak 27
Mei
2005 Departemen Kesehatan menelurkan naskah akademik rencana peraturan
pemerintah tentang pemasaran susu formula. ''Namun, kelanjutannya belum juga
ada,'' imbuh Emmy.

Koalisi LSM Peduli ASI bahkan mencermati adanya beberapa kelemahan dalam
naskah
akademik tersebut. Seperti perubahan kewenangan pemberian surat izin
peredaran
susu formula yang beralih dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan ke
Departemen
Kesehatan. ''Kami ragu apakah Departemen Kesehatan punya kelengkapan organ
yang
memadai untuk menjalankan tugas ini,'' kata Emmy. Selain itu, dipersoalkan
juga
informasi dan edukasi dalam konteks Konvensi Hak Anak maupun Undang-undang
Perlindungan Anak. Menurut Utami, semestinya dalam rancangan peraturan
pemerintah tentang susu formula disebutkan pemerintah berkewajiban
menginformasikan dengan tuntas keuntungan menyusui dengan ASI. Sedangkan
informasi mengenai susu formula menjadi tanggung jawab perusahaan.

Lebih jauh, masalah pelabelan juga dianggap perlu untuk dipertegas. Label
susu
formula semestinya mencantumkan petunjuk pemakaian yang menerangkan susu
tersebut cocok untuk bayi yang usianya di atas enam bulan. ''Bukan empat
bulan
seperti yang banyak diklaim produsen susu formula,'' tegas Emmy. Terkait
semua
persoalan itulah, Koalisi menilai pemerintah perlu menjelaskan siapa yang
bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan pemasaran susu formula.
Lantas, sanksi terhadap pelanggaran dan pemberi sanksi juga harus diatur
dengan
jelas. ''Kami berharap rancangan peraturan pemerintah tentang pemasaran susu
formula sejalan dengan perlindungan pemberian ASI eksklusif selama enam
bulan,''
jelas Emmy.

Menanggapi desakan Koalisi LSM Peduli ASI, Komisi IX DPR pun menyatakan
kesamaan
visi. Komisi IX bahkan mengusulkan agar pemasaran susu formula dimasukkan ke
dalam amandemen Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Sehingga,
bisa diharapkan, hak anak tak lagi terabaikan.

(rei )

Sumber: http://www.republika.co.id/



On 4/20/07, Rahman Gunawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Contohnya apa pelanggaran kode etik nya?


rgds,
rahman
info balita - http://www.balita-anda.com

email id: [EMAIL PROTECTED]
YM id: rahmanrr
mobile: +62817-RAHMAN

> -----Original Message-----
> From: Lif Rahayu [mailto:[EMAIL PROTECTED]
>
> hihihihihi.....kan saya berbicara susu formula untuk semua bayi, gak
cuma
> untuk 1 tahun. Kalo susu formula di bawah 1 tahun, waduh, coba baca deh
di
> blog2, banyak yg nulis ttg pelanggaran kode etik penjualan susu formula
di
> bawah 1 tahun, coba aja search di google. Nanti tahu sendiri dan bsa
> menyimpulkan sendiri.
>
> Endonesia gituuuu lho, justru di Eropa atau AMerika mungkin malah lebih
> strict aturan utk susu formula di bawah 1 tahun.


--------------------------------------------------------------
Beli tanaman hias, http://www.toekangkeboen.com
Info balita: http://www.balita-anda.com
Peraturan milis, email ke: [EMAIL PROTECTED]
menghubungi admin, email ke: [EMAIL PROTECTED]


Kirim email ke