Sekedar renungan di Hari Ibu....

Jangan pernah menyebut istrimu sebagai penganggur jika ia memang tidak
bekerja di luaran. Karena bahkan ketika ia kau sebut sebagai ibu rumah
tangga pun selalu terdengar nada rendah diri dalam suaramu. Karena selalu
ada kata ''cuma'' sebagai awalanmu.
>
Semua itu sebetulnya hanyalah gambaran sikap meremehkanmu atas status ibu
rumah tangga, atas seorang wanita yang sebetulnya tengah mengerjakan
pekerjaan besar, yang bisa jadi lebih besar dari profesimu sendiri.
>
Semua itu hanyalah gambaran betapa engkau sendiri masih terperangkap pola
berpikir kuno seperti yang dipakai orang-orang tua kita dahulu: bahwa hanya
orang yang berkerja di luar rumah yang layak disebut bekerja.
>
Inilah situasi yang membuat seorang kawan, yang telah lulus sarjana dan
membuka peternakan ayam di desanya, tetap didera penyakit rendah diri.
>
Karena, meskipun peternakan itu berjalan baik, telah sanggup menggaji
beberapa orang pekerja, dan si kawan sarjana ini mestinya telah berhak
memperoleh sebutan juragan, ia tetap memilih menghentikan usahanya.
>
Bukan karena usaha bangkrut, melainkan karena setiap hari orang tuanya
selalu menggerutu, kenapa ia juga belum memperoleh pekerjaan. Karena
orang-orang di desanya juga terus melontarkan rasa herannya,
bagaimana mungkin bersekolah begitu lama kalau cuma untuk kembali ke desa
dan menjadi peternak biasa.
>
Sekarang, di saat sebagian besar wanita sudah mulai bersemangat bekerja di
luar rumah, cemaslah atas suatu keadaan yang bisa jadi akan menimpa kita
semua: akan ada krisis ibu rumah tangga. Jika engkau berdua sama-sama
bekerja, ekonomi rumah tanggamu bisa jadi akan naik di tingkat yang sangat
baik, tapi diam-diam engkau juga
sedang berjudi dengan keadaan yang belum tentu engkau akan jadi pemenang.
>
Karena akan makin banyak anak-anak yang kesepian. Yang ketika mereka bangun
pagi, ketika mereka tengah sibuk bergiat hendak berangkat sekolah, mereka
akan sama sibuknya sepertimu yang juga bergiat hendak bekerja.
>
Engkau dan anak-anakmu akan sama-sama didera perasaan buru-buru. Anak-anak
itu tak sempat lagi punya kekuasaan meminta, dilayani dan disemangati di
saat paling rawan dalam hidupnya.
>
Ketika anakmu pulang sekolah dengan perasaan lelah, entah karena tekanan
lingkungannya yang keras, nilainya yang buruk, gurunya yang galak, atau
sekadar murung karena ia mulai jatuh cinta, di rumah ia tak menemukan
siapa-siapa, kecuali meja makan yang sepi. Ketika ia bersabar menunggu
engkau pulang dengan segenap keinginan butuh sentuhan dan kemanjaan, engkau
sendiri sudah dalam keadaan penat karena kerja seharian, karena sikap sinis
atasan atau iklim kerja yang tidak memuaskan.
>
Maka akan makin banyak anak-anak yang menjerit diam-diam. Anak-anak yang
jika mereka ingin berkata, tak ada yang sempat mendengarnya. Anak-anak yang
jika ingin kolokan, tak ada yang sempat memanjakan. Anak-anak yang jika
sedang murung dan peka, tak ada yang menggubrisnya.
>
Padahal kita pernah menjadi anak-anak. Yang jika kita sedang bicara
sementara orang-orang tak mendengarnya, kita akan merasa sangat sia- sia.
Marah dan tak berharga. Sungguh sebuah keadaan yang sanggup membuat manusia
akan jadi rapuh dan percuma. Keadaan tanpa apresiasi dan pujian adalah
sebuah medan yang sangat berbahaya, tidak Cuma bagi anak-anak, tapi juga
bagi semua dari kita.
>
Maka jika orang tua lupa waktu pada anaknya, jika pemimpin lupa berempati
pada rakyatnya, jika atasan lupa memuji bawahan, jika suami lupa menghargai
istri, sesungguhnya orang-orang ini sedang berada di rumah kosong. Rumah
semacam ititu pasti kering dan tidak produktif. Hidup di lahan kering
sungguh merupakan kutukan yang berat bagi seluruh anggota keluarga.
>
Selamat Hari Ibu yg selalu saya Rayakan



Kirim email ke