Buat renungan saja ....

M. Tri Agus
----- Original Message ----- 
From: Ida arimurti 
To: [EMAIL PROTECTED] 
Sent: Monday, April 04, 2005 11:06 AM
Subject: This is Spam email:[idakrisnashow] ANAK


MENYAPA JIWA ANAK KAMI

Oleh Arwendita

Apa jadinya buah hati kita kelak, jika tak pernah disentuh jiwa-jiwanya. 

Sore itu saya mengajak Arwen, putri kami, dan suami berkunjung ke sebuah Plaza 
di wilayah Jakarta Selatan. Setelah berkemas-kemas dengan segambreng gembolan 
Arwen, kami memacu kendaraan menuju Plaza tersebut. Sesampai di sana, kami 
memutuskan untuk duduk-duduk sambil ngopi-ngopi saja di sebuah kedai kopi. 

Sambil menikmati secangkir Cafe Mocca panas, kami bercanda ria dengan putri 
kami, maklum Arwen sudah mulai senang bercanda dan tertawa-tawa. Tak lama 
kemudian, terlihat sepasang suami istri datang dengan dua anak, satu berusia 
sekitar 5 tahunan, yang satu lagi masih bayi, beserta seorang baby sitter-nya. 
Mereka memilih duduk di samping meja kami. Saya bertemu pandang dengan sang Ibu 
dan melemparkan senyum, ia pun membalas senyum saya. Mereka kemudian asyik 
dengan aktifitas masing-masing. Kami terhanyut kembali dalam "pembicaraan" 
dengan Arwen. 

Tiba-tiba saya terusik dengan suara tangisan bayi. Saya palingkan kepala ke 
meja sebelah, ternyata si bayi memang menangis dan tampaknya agak mengamuk. 
Lima belas menit berlalu, dan tangisan sang bayi tak kunjung mereda. Si baby 
sitter terlihat sibuk dan bingung menenangkan bayi mungil itu. Gendong sana, 
gendong sini, bujuk sana, bujuk sini. Sementara itu, tahu apa yang dilakukan 
Ibunda tercinta? Tak tampak raut wajah risau dari mimik mukanya, asyik 
menyeruput secangkir kopi panas dan berbincang-bincang dengan suaminya. Hanyut 
dalam urusan mereka sendiri. Lima menit kemudian, entah karena sudah selesai 
urusannya, atau karena tak enak bayinya menangis terus, mereka memutuskan 
pergi. 

Saya dan suami hanya melongo saja memandangi kepergian suami istri itu, dengan 
sang baby sitter yang menggendong bayi, mengikuti di belakang mereka. Saya 
kembali teringat, beberapa minggu yang lalu saya bersama suami berkunjung ke 
rumah rekan kerja suami saya. Sambutan tuan dan nyonya rumah cukup hangat. Sang 
istri dan saya terlibat pembicaraan khas ibu-ibu, biasalah soal rumah tangga, 
perawatan anak, dsb. 

Tiba-tiba terlihat putri kecilnya yang cantik berlari ke arah sang mama, 
bergelayut manja di pundak mamanya. Saya mengajak si kecil berbicara dan ia 
menjawabnya dengan mata berbinar. Tak lama, ia menarik-narik baju mamanya, 
minta diambilkan sepeda mini di sebelah mamanya. Si Ibu asyik berbincang dengan 
saya, sementara konsentrasi saya terpecah, merasa terganggu dengan rengekan 
sang anak yang tidak ditanggapi ibunya. "Minta sama suster sana!" Sontak saya 
kaget mendengar kata-kata itu keluar dari mulut sang Mama.

Saya bergumam dalam hati, "Hei, kamu Ibunya dan sepeda itu ada di sebelahmu! 
Apa susahnya mengambilkan sebentar untuk anakmu!" Yang membuat saya makin 
takjub, ia sempat berkeluh kesah, karena bayinya yang berusia 5 bulan sering 
rewel, sehingga membuatnya merasa pusing tak bisa tidur. Ia menyampaikannya 
dengan nada bicara seolah kehadiran sang bayi mengganggu kehidupannya. Tapi ia 
merasa beruntung memiliki baby sitter yang dapat mengurus dan mengatasi 
anak-anaknya. Ingatan saya kembali berputar ke beberapa waktu silam, saat saya 
bersama teman sedang kongkow-kongkow di sebuah mal. 

Pandangan saya terhenti pada seorang Ibu muda yang kerepotan membawa 
barang-barang belanjaan hasil berburu diskonnya. Dua meter di belakangnya 
seorang baby sitter mendorong kereta bayi dengan seorang bayi cantik di 
dalamnya. Sang Ibu menghardik si baby sitter untuk berjalan lebih cepat. 
Trenyuh hati saya, sang Ibu lebih rela berberat-berat ria dengan barang 
belanjaannya dibandingkan menggendong atau mendampingi bayinya sendiri. Dari 
kejadian-kejadian itu, yang terus berputar-putar dalam benak saya dan suami 
malam itu, hati saya tergelitik untuk melontarkan pertanyaan. Apakah ini sebuah 
kewajaran, menyerahkan sepenuhnya urusan anak kepada baby sitter, dengan asumsi 
mereka sudah membayar dan berhak menggunakan semaksimal mungkin jasa baby 
sitter? Istilah sekarangnya "ogah rugi." 

Seorang Ibu datang ke penyalur, minta baby sitter, bayar, pulang. Dan baby 
sitter bertugas mengurusi semuanya, dari mengganti popok, memberi makan anak, 
menenangkannya jika rewel dan mengamuk. Anak menangis, tinggal teriak, 
"suster!" dan suster pun datang. Instan sekali! Ibu hanya tahu beres saja. Lalu 
tugas Ibu sebagai orangtua di mana?

Apakah rasa cinta itu hanya ditunjukkan dengan mencukupi segala kebutuhan 
materi sang anak semata? Asal semua kebutuhan fisiknya cukup, ada baby sitter 
yang mengurus semua kebutuhannya, ya sudah! beres semua kan?! Ok, katakanlah 
mereka orang sibuk, sehari-hari bekerja, berangkat pagi dan pulang malam di 
kala dalam kedua waktu tersebut sang buah hati tertidur lelap. Tapi tak ada 
salahnya toh, di akhir pekan mereka meluangkan waktu yang sangat berharga itu 
dengan buah hati mereka tanpa sepenuhnya "direcoki" baby sitter? Apa susahnya 
sih mendekap bayi mereka sendiri dengan penuh cinta? Apa susahnya membelai 
dengan lembut kulit mereka yang halus? Mengisi jiwanya dengan canda tawa, 
menenangkan tangisannya dengan mata kita yang berbinar-binar, bersyukur 
memiliki anugerah terindah seperti mereka. 

Tidakkah terpikir dalam benak-benak mereka, akan jadi apa anak-anak mereka 
suatu hari nanti? sadarkah mereka bahwa anak-anak mereka tak pernah tersentuh 
jiwa dan fisiknya oleh orangtua mereka sendiri? Saya sendiri bukan pengguna 
jasa baby sitter, karena saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih untuk 
mengurus dan mengasuh anak saya sendiri. Pengorbanan yang sangat sangat berarti 
hasilnya bagi saya. Pengorbanan yang terbayar dengan senyum kecil yang 
menghiasi wajah our little precious. Akan tetapi saya juga tidak menyalahkan 
para orangtua yang karena suatu hal atau keadaan harus menggunakan jasa baby 
sitter. Hanya saja, sebaiknya kita menjadi bijaksana dalam mengasuh buah hati 
kita. Terlalu naifkah saya memandang semua ini, memandang ke-instan-an ini? 
Membayangkan suatu hari nanti generasi anak-anak kita menjadi orang-orang yang 
tak punya hati, generasi yang tidak "beres" tingkah lakunya. Jangan salahkan 
mereka, anak-anak ini! 

Dan malam itu, ketika peri kecil kami telah tidur, saya mengecup pipinya sambil 
berbisik dalam lelapnya, "Mommy tak akan membiarkan jiwamu hampa, Nak." "If we 
could raise one generation with unconditional love, there would be no Hitlers. 
We need to teach the next generation of children from Day One that they are 
responsible for their lives. Mankind's greatest gift, also its greatest curse, 
is that we have free choice. We can make our choices built from love or from 
fear." (Dr. Elizabeth Kubler-Ross) 

 



--------------------------------------------------------------------------------
Yahoo! Groups Links

  a.. To visit your group on the web, go to:
  http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/
    
  b.. To unsubscribe from this group, send an email to:
  [EMAIL PROTECTED]
    
  c.. Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. 

Kirim email ke